Lukisan Belas Kasih Allah (3)


Bapak dan dua anak
Pada lukisan yang ketiga, Yesus menggambarkan kisah mengenai seorang bapak yang berusaha berjumpa kembali dengan uda anaknya yang hilang. Cerita ini sudah sangat terkenal. Biasanya kita mengenalnya sebagai ‘kisah bapak yang baik hati’, atau dulu dikenal sebagai kisah ‘kembalinya si anak hilang’. Kisah ini sungguh mendalam karena memang berkaitan erat dengan hidup sehari-hari. Kisah ini bukan hanya soal anak bungsu, karena pada kenyataannya juga berkisah mengenai anak sulung dan bagaimana sang bapak berusaha mendapatkan kembali kedua anaknya kembali. Catatan lain yang pantas kita lihat adalah kenyataan bahwa perumpamaan ini berada di tengah-tengah Injil Lukas. Seolah menjadi inti dari seluruh ksiahnya.
Pada bagian awal, Yesus menggambarkan bagaimana si bungsu mengambil keputusan. dia memutuskan untuk meminta bagian harta warisannya. Sang ayah membagi sama rata antara dia dan bagian kakaknya. Ayah itu tidak membedakan sehingga salah satu mendapatkan lebih banyak. Ayah itu membagi begitus aja hartanya menjadi dua bagian.
Yesus berkata lagi: "Ada seorang mempunyai dua anak laki-laki. Kata yang bungsu kepada ayahnya: Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku. Lalu ayahnya membagi-bagikan harta kekayaan itu di antara mereka.
Hal ini bisa dilihat lebih jauh. Bahwa Bapa kita di surga akan membagi-bagikan ‘harta warisan’ kepada semua anaknya dengan sama besar. Entah katolik atau bukan, mereka menerima sama besarnya. Hanya saja cara mengelola ‘harta warisan’ itu bisa berbeda-beda. Si bungsu segera menjual seluruh harta warisannya dan menggunakannya seturut kesenangannya. Dia segera melupakan ayahnya. Dia bersenang-senang sepuas hatinya. Sedangkan si anak sulung tidak mengambil bagiannya. Dia tetap tinggal di rumah tersebut bersama ayahnya. Dia tetap bekerja seperti biasa.
Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya.
Pada saat itu, pada saat kisah ini diceritakan, anak sulung dipahamis ebagai orang-orang Yahudi yang setia tinggal di rumah Allah. Sedangkan anak bungsu adalah mereka yang berasal dari bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal Allah. Tentu saja pada saat ini kita bisa bertanya, siapakah anak bungsu itu, dan siapakah anak sulung itu? Atau jangan-jangan keduanya ada di dalam diri kita. Siapa tahu!
Kisah selanjutnya adalah kepanikan si anak bungsu. Dia telah menghabiskan seluruh harta warisan itu. Dia telah berdosa! Sekarang dia harus membayar semuanya. Sekarang dia mengalami kesulitan yang sangat besar. Untuk makan saja tidak bisa, bahkan makanan babipun tidak boleh ia makan. Dia stress. Dia teringat ratusan karyawan di rumah ayahnya hidup dengan sangat layak. Mereka bisa makan dan minum dengan cukup. Sedangkan dia sekarang lebih buruk dari pada babi. Sungguh sangat menyedihkan.
Setelah dihabiskannya semuanya, timbullah bencana kelaparan di dalam negeri itu dan iapun mulai melarat. Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan di negeri itu. Orang itu menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya. Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorangpun yang memberikannya kepadanya. Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan.
Kesadaran bahwa para karyawan di rumah bapaknya hidup dengan sangat berkecukupan sungguh menyesakkan hatinya. Dia melihat dirinya sendiri yang sangat terpuruk dan hina. Dia merenung dan akhirnya mengambil keputusan. Dia akan kembali ke rumah ayahnya. Kenyataan hidup yang lebih buruk dari binatang sungguh memberinya semangat untuk bangkit dan kembali.
Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa.
Setelah merenung dan mengambil keputusan, dia berdiri dan melangkah pulang. Dia tanggalkan seluruh harga dirinya. Memang akan sangat memalukan, tetapi dia tidak memedulikannya. Dia buang jauh-jauh segala prasangka dan ketakutan. Ia tidak takut lagi diejek orang-orang sekampungnya, dan pada kenyataannya dia pantas diejek. Dia tidak mengharapkan sesuatu yang lebih. Dia hanya ingin bertahan hidup. Dia hanya ingin kembali ke rumah ayahnya sebagai karyawan, seperti halnya ratusan karyawan yang tinggal di rumah ayahnya.
Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya.
Sejak anaknya pergi, sang bapak kerap sedih. Dia sangat mencintai anak-anaknya. Dia ingin anaknya kembali. Dia kerap duduk termenung di teras rumahnya. Matanya menatap jauh hingga ke ujung jalan. Ada harapan bahwa suatu hari nanti anaknya akan muncul di ujung jalan itu. Dan hari itupun tiba.
Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia.
Si anak bungsu ini bertemu dengan ayahnya yang merindukannya. Pada saat itu ada aturan bahwa anak yang telah bersikap durhaka, dia dianggap bukan anak lagi. Jika dia kembali dia tidak pantas dianggap sebagai anak, dia hanya bisa diterima sebagai karyawan, sebagai hamba. Si anak bungsu mengetahui hal tersebut maka dia mengungkapkan bahwa ia sudah tiak pantas lagi disebut sebagai anak, dia lebih pantas dijadikan karyawan.
Tetapi bapaknya bersikap lain. Dia tetap menerima anaknya, bahkan dia mengembalikan martabatnya yang telah hilang. Anak bungsu itu datang kepadanya dalam keadaan yang sangat hina, bahkan lebih hina dari pada binatang. Ayah tersebut ingin mengembalikan martabatnya yang hina tersebut. Kaki yang telanjang diberinya sepatu. Baju yang compang-camping digantinya dengan baju yang hangat, dan pad ajarinya diberinya cincin. Tanda bahwa kini dia kembali menjadi seorang anak yang memiliki kuasa. Pada jaman tersebut tanda kekuasaan berada dalam rupa cincin. Setiap meterai senantiasa ditindas dengan cincin, agar kelihatan kuasa orang yang mengirimkannya.
Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa. Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya.
Sukacita sang ayah begitu besar. Telah lama dia menantikan itu. Telah kita lihat bersama bagaimana dia merangkul anaknya, mencium pipinya dan memberinya pakaian yang pantas sehingga dia memiliki lagi martabat sebagai seorang anak. Kegembiraan sang ayah seolah berlebihan. Apalagi itu dilakukan terhadap anaknya yang durhaka, anaknya yang telah menghabiskan seluruh harta warisannya. Tetapi itulah yang terjadi. Bapak itu begitu mencintai anaknya. Dia tidak lagi memperhitungkans egala kesalahannya. Bahwa dia melihat kembali anaknya masih hidup, itu sudah cukup. Bahwa ia melihat kembali anaknya yang pulang itu sudah bisa menjadi alasan untuk berpesat.
Itulah kegembiraan yang diwartakan oleh Yesus. Kegembiraan yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang pernah mendapatkan pengampunan. Kegembiraan karena mendapati kembali mereka yang telah mati. Itu tidak dirasakan oleh orang-orang Farisi yang mengkritik Yesus. Tetapi itu dirasakan oleh orang-orang berdosa yang senantiasa berkumpul bersama Yesus. Mereka merasakan sukacita karena diterima sebagai manusia. Bagaimana dnegan kita? apakah kita tiak ingin ambil bagian dalam pesta suka cita itu?
Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria.
Pada saat pesta suka cita itu berlangsung, si anak sulung sedang bekerja di ladang. Ketika dia pulang dia mendengar ada suara musik yang meriah datang dari rumahnya. Dia tidak mau masuk, dia memanggil salah seorang hamba dan menanyakan apa yang terjadi. Ketika mengetahui alasan adanya pesta, anak sulung itu sangat marah. Dia melihat dirinya sendiri dan melihat kondisi adiknya. Dia tidak bisa menerima bahwa adiknya yang begitu jahat dipestakan dengan begitu meriah. Dia tidak bisa mengerti alasan ayahnya bersuka cita atas itu semua.
Hal ini memberi kita satu petunjuk. Anak sulung tersebut tidak sungguh-sungguh mengenal bapaknya dengan baik meskipun mereka tinggal bersama. Anak sulung itu tidak mampu menangkap derita batin yang selama ini dia tanggung karena hilangnya si anak bungsu. Dan sekarang dia juga tidak mampu menangkap kegembiraan si ayah karena mendapati kembali anaknya yang telah hilang.
Anak sulung ini adalah anak yang baik. Dia selalu mendengarkan perintah ayahnya, dan dia berusaha untuk tidak melanggarnya. Satu hal yang kurang dari padanya adalah mengenal ayahnya dengan baik. Hal ini kerap terjadi pada orang-orang yang berusaha mengenal hukum Tuhan dan menjalankan hukum Tuhan dengan baik, ada bahaya bahwa mereka terlalu terikat dengan hukum Tuhan sehingga mereka malah melupakan Tuhan.
Kisah itu juga menunjukkan bahwa si anak bungsu lebih mengenal ayahnya daripada kakaknya. Buktinya sangat sederhana. Anak bungsu itu mau datang dan masuk kembali ke rumah ayahnya. Sedangkan kakaknya tidak mau masuk ke rumah ayahnya. Si kakak  juga tidak mau menerima adiknya kembali, bahkan dia tidak mau menyebut dia sebagai adik (brother). Dia menyebut adiknya sebagai orang itu (that man). Si sulung ini sungguh tidak menyadari bahwa sikapnya itu bisa membuat sang ayah kehilangan kegembiraannya lagi. Karena dia ingin menerima mereka berdua sebagai anak.
Tetapi anaknya yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian. Lalu ia memanggil salah seorang hamba dan bertanya kepadanya apa arti semuanya itu. Jawab hamba itu: Adikmu telah kembali dan ayahmu telah menyembelih anak lembu tambun, karena ia mendapatnya kembali dengan sehat. Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk.
Hamba yang tadi dipanggil oleh si anak sulung kembali ke rumah dan memberitahu ayahnya soal itu. Tentu saja ayah itu kecewa dengan sikap sang kakak. Dia segera keluar dan menjumpai anaknya yang sulung dan meminta anaknya itu untuk masuk. Tetapi anaknya itu menjawab ayahnya dengan menunjukkan semua dosa adiknya. Bahwa dia telah menghabiskan semua hartanya denga para pelacur. Kemudian dia membandingkand engan dirinya sendiri yang selama bertahun-tahun senantiasa menuruti perintah ayahnya. Dia tidak pernah membantah perintah ayahnya. Dia juga ingin bergembira bersama teman-temannya. Tidak bersama ayahnya apalagi dengan adiknya. Dia tidak mau lagi mengakui dia sebagai adik. Bahkan ketika menyinggung adiknya di hadapan ayahnya dia berkata ‘anakmu itu’. Sungguh kasar. Si sulung ini juga sangat kasar dalam ‘menafsirkan’ kehidupan adiknya, yang dalam matanya sangatlah berdosa.
Sikap serupa kerap kita jumpai di kalangan umat. Ada sekelompok umat yang merasa dirinya suci, tidak pernah melanggar perintah Tuhan dan karenanya berhak menghakimi umat lain yang dalam mata mereka ‘kurang suci’. Mereka sungguh kurang memahami Allah dengan baik, sama halnya dengan si sulung yang aggal dalam memahami ayahnya. Ayahnya itu menerima kembali anaknya yang bungsu, tetapi dia juga tidak mau kehilangan anaknya yang sulung. Keduanya adalah bagian dari keluarganya. Yang satu tidak boleh menghilangkan yang lainnya. Sikap itu gagal dipahami oleh si sulung.
Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia. Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia.
Sang bapak tidak menanggapi alasan yang diungkapkan oleh anak sulungnya itu. Hal itus ama halnya ketika dia tidak menanggapi alasan yang diungkapkan oleh anak bungsunya. Dia mengatakan kepada anaknya bahwa dia selalu bersamanya, maka seluruh hartanya adalah harta anaknya juga. Bahwa sekarang ada perayaan, karena adiknya yang hilang dia dapati kembali, adikknya yang mati telah hidup kembali. Alasan itu sudah cukup untuk mengadakan perayaan.
Si sulung itu sungguh tidak memahami apa yang dirasakan oleh ayahnya. Bahkan ungkapan, “semua milikku adalah milikmu juga” tidak menyadarkannya. Bahwa sang bapak itu ingin menyertakan seluruh anaknya dalam kegembiraannya. Dia tidak amau ada yang tersisih.
Memang kita tidak mendengar apa jawaban dari si sulung atas penegasan ayahnya. Seolah kita semua diajak merenungkan, bahwa kita juga seperti si sulung. Merasa diri baik dan taat kepada Allah. Apakah di sini kita juga peka dengan kegembiraan Allah, mau menerima saudara kita yang berdosa dan kembali kepada Allah? Apa jawaban kita?
Kata ayahnya kepadanya: Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali." (bersambung)

Comments

Popular Posts