Masuk ke dalam Puri Batin, sebuah catatan retret delapan hari (8), Ruang ketujuh, Pernikahan rohani, selesai


Sahabat terkasih, Setelah melewati pembahasan yang sangat panjang pada ruangan keenam kitaakhirnya sampai di ruang ketujuh. Ruang terakhir dalam buku Puri Batin. Kita akan terus melangkah meskipun ada banyak kebingungan pada ruang-ruang sebelumnya. Misalnya mengenai berbagai fenomena mistik dalam ruang sebelum ini. Meskipun saya sudah mencoba membahasnya dengan cukup panjang, mungkin semakin membuat pembaca menjadi bingung. Kiranya Roh Allah sendiri membimbing Anda ketika membaca buku Puri Batin sehingga mampu memahami dengan lebih baik.
Sekarang kita akan melangkah ke dalam ruang ketujuh. Ada yang menarik untuk kita lihat sebelum masuk lebih dalam. Dalam ruang-ruang sebelumnya, dari ruang pertama hingga ruang keenam, seolah ada pintu yang menghubungkan tiap ruang. Orang harus melewati pintu itu untuk bisa masuk ke dalam ruang yang lebih lanjut. Namun berbeda dengan ruang keenam dan ketujuh. Teresa menjelaskan bahwa di sini tidak ada pintu penghubung itu. Saya membayangkan seperti aula yang panjang. Di ujung aula ada berbagai macam hiasan yang indah. Kita bisa berhenti di sana untuk menikmati hiasan-hiasan yang indah itu. Atau kita tetap melangkah masuk sambil menikmati berbagai hiasan itu hingga akhirnya sampai di ujung aula yang lain. Sampai di tempat Sri Baginda berdiam. Meskipun tidak ada pintu pemisah antara ruang keenam dan ketujuh, nyatanya tidak banyak jiwa yang sampai ke sana. Rupanya berbagai hiasan itu begitu menarik sehingga mampu membuat jiwa berhenti untuk menikmatinya. Hiasan-hiasan yang saya maksudkan di sini adalah berbagai anugerah fenomena mistik.

Persatuan : Pernikahan Rohani
                  Di sinilah ruang kediaman Tuhan Sang Raja Agung. Di sana Dia menjadikan jiwa hanya milik-Nya. Ada persatuan, ada pernikahan rohani Antara Allah dan jiwa yang mengasihi-Nya. Allah Tritunggal menetap di dalam jiwa seperti yang dikatakan dalam Injil Yohanes. “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia” (Yoh 14:23). Persatuan yang utuh dan mendalam. Menurut Teresa, pengalaman ini diperoleh dalam vision akal budi yang lebih terang dari pada pengalaman serupa di ruang sebelumnya. Anugerah ini tidak akan hilang lagi. Meskipun seluruh panca indera dan daya-daya batinnya sibuk dengan berbagai urusan duniawi, tetapi hatinya berada dalam pangkuan allah Tritunggal. Persatuan itu tidak terpisahkan lagi.
                  Pengalaman persatuan dengan Allah Tritunggal ini sungguh mengesankan. Mengapa demikian? Karena biasanya, ketika seseorang memulai bertekun dalam hidup rohani, mereka memulai dengan menjalin hubungan yang erat dengan satu pribadi dari Allah Tritunggal itu. Ada yang begitu dekat dengan Yesus. Ada yang memilih menjalin relasi yang akrab dengan Roh Kudus, atau dengan Allah Bapa. Pengalaman kejiwaan seseorang juga mempengaruhi relasinya. Namun, seiring dengan hidup doa yang semakin bertumbuh, relasi yang dijalin adalah dengan Allah Tritunggal. Dengan ketiga Pribadi Ilahi tersebut. Dalam jiwa yang semakin mendalam dalam hidup rohani, pengalaman Allah Tritunggal.
                  Inilah puncak dari seluruh anugerah yang mungkin diberikan oleh Tuhan, yaitu pernikahan rohani. Apakah yang dimaksud dengan pernikahan rohani ini? Yaitu sebuah persatuan yang mesra antara Allah dengan jiwa. Tuhan menunjukkan cinta-Nya kepada jiwa yang tulus tanpa pamrih, seperti di dalam surga. Semuanya untuk jiwa. Apa yang menjadi kepentingan jiwa adalah kepentingan Tuhan juga. Demikian pula sebaliknya, apa yang mejadi kepentingan Tuhan adalah kepentingan jiwa juga. Dengan bahasa yang lebih kasar, “apa yang menjadi milikmu adalah juga kepunyaanku, apa yang adalah kepunyaanku adalah milikmu juga”. Atau kita bisa mengutip apa yang dituliskan oleh Santo Paulus, “Barang siapa mengikatkan dirinya pada Tuhan menjadi satu roh dengan Dia” (1Kor 6:17). Atau di tempat lain Paulus menulis lebih lugas, “Bagiku hidup adalah Kristus, dan mati adalah keuntungan” (Fil 1:21). Paulus sudah mengalami persatuan dengan Allah ini. Maka tidak ada yang menarik lagi selain Allah. Bahkan kematian adalah jalan yang sederhana untuk mengalami persatuan seutuhnya. Hanya karena tugasnya di dunia masih ada, ia rela hidup lebih lama. Bahkan sekarang, kematianpun serasa tidak penting lagi, karena dalam hidup manusia sudah bisa bersatu dengan Allah. Maka baik hidup atau mati, semuanya untuk Allah.
                  Apakah buah-buah dari pernikahan rohani ini? Pertama-tama orang lupa akan kepentingan pribadinya. Dia hanya hidup meluku untuk Tuhan. Segala sesuatu dilakukan hanya untuk Tuhan. Dirinya seolah-olah sudah tidak ada lagi. Berikutnya, jiwa merindukan bahwa hanya kehendak Tuhan sajalah yang terlaksana di dalam dirinya. Bahkan penderitaan yang besar tidak ditakuti lagi, asal kehendak Tuhan bisa terlaksana. Sungguh sangat berbeda dengan keadaan jiwa di awal-awal pertumbuhan. Di sana masih ada rasa takut sakit, takut merugikan badan, dan seterusnya. Namun di sini semua tidak ada lagi. Penderitaan dan sakit bukanlah halangan bagi terlaksananya kehendak Tuhan.
Selanjutnya jiwa mengalami damai yang sangat besar, bahkan ketika dia disakiti dan dianiaya. Bahkan tidak ada rasa sakit hati apalagi dendam terhadap mereka yang menganiaya dia. Bahkan sebagai balasannya, ia mencintai orang-orang yang telah menyusahkannya itu. Mungkin kelihatan aneh. Namun kita bisa melihat contohnya dari beberapa orang kudus, misalnya Beato Yohanes Paulus II. Ketika beliau mengunjungi dan memaafkan pemuda yang menembaknya. Pemuda tersebut hampir membuat Paus meninggal, namun ia dimaafkan dan dicintai. Yang terakhir, kematian bukan impiannya, seperti yang dialami banyak orang di awal hidup doa. Sekarang jiwa ingin hidup lama kalau itu bisa menambah kemuliaan Allah. Ia ingin hidup lebih lama agar bisa menderita dan dengan itu menambah kemuliaan Allah. Apalagi jiwa melihat bahwa betapa sedikitnya orang yang sungguh melepaskan segala-galanya demi Allah. Boleh menderita bagi Allah adalah kurban yang berat sekaligus paling berharga dari jiwa.
                 
Maria dan Martha
                  Apakah yang akan terjadi setelah jiwa bersatu erat dalam pernikahan rohani dengan Allah? Masihkan ada tugas yang harus dilakukan? Ya, jiwa masih memiliki tugas, yaitu membalas kasih Allah yang tiada taranya itu. Bagaimana caranya? Dengan segala daya yang jiwa bisa. Dengan segala kemampuan yang mungkin ia miliki. Santa Teresa menasehati kita demikian.

“Oh suster-susterku, betapa jiwa-jiwa yang didiami Tuhan secara istimewa lupa mencari tempat istirahat, tidak peduli akan penghormatan dan bebas dari nafsu ingin dihargai! Karena hidupnya begitu bersatu erat dengan Tuhan, memang sudah sepantasnya bahwa dia tidak memikirkan diri sendiri. Dia hanya mencari cara yang terbaik untuk menyenangkan Tuhan, bagaimana dan dalam hal apa ia dapat menyatakan cintanya kepada Dia. Itulah tujuan doa dan itu jugalah maksud pernikahan rohani, yaitu agar menghasilkan perbuatan-perbuatan yang baik.” (VII,4,6).
                 
Dengan tegas Santa Teresa menekankan bahwa doa dan pernikahan rohani harus menghasilkan perbuatan-perbuatan baik. Mereka yang makin bertekun dalam hidup doa, masuk ke dalam alam kontemplasi harus juga semakin bekerja giat bagi Tuhan. Dalam Gereja juga kita jumpai tokoh-tokoh besar yang sangat aktif bekerja meskipun mereka orang-orang kontemplatif. Sebutlah Beato Titus Brandsma. Dia adalah seorang kontemplatif dan mistikus, namun sekaligus seorang pekerja keras. Dia bekerja aktif sebagai dosen,s ebagai wartawan, namun ia juga tidak kehilangan keheningan untuk tetap bersatu dengan Allah. Dalam kebisingan kereta api dia bisa mengalami kedamaian berduaan bersama Tuhan. Sungguh, buah doa dan pernikahan rohani adalah perbuatan-perbuatan baik. Tanpa itu doa harus dipertanyakan kualitasnya.
Pada bagian akhir refleksi ini kita bercermin dari sosok Maria dan Marta sebagai gambaran kesatuan antara doa dan karya. Maria dan Marta tidak bisa dipisahkan. Mereka harus ada bersama-sama untuk menjamu Tuhan di rumah mereka. Seandainya Maria hanya sendirian, Tuhan tidak dijamu dengan baik. Karena tidak ada yang melayani. Tidak ada yang menjamu dengan makanan dan minuman. Keramahtamahan manusiawi itu penting, namun duduk tekun menemai tamu juga luhur nilainya. Sebaliknya, Maria juga menderita karena mengambil bagian untuk mendengarkan Tuhan. Sebab duduk di kaki Tuhan itu membutuhkan pengorbanan, membutuhkan kerendahan hati.
Kerapkali ada sebagian orang yang berusaha untuk memisahkan Maria dari Marta. Ada yang berpikiran bahwa model Marialah yang lebih baik, karena Yesus mengatakan kalau dia telah mengambil bagian yang terbaik. Maka mereka yang cara hidupnya kontemplatif dan bertapa merasa diri lebih baik dari pada mereka yang bekerja bersama orang banyak. Pendapat ini tentu saja kurang tepat. Karena seperti kita lihat di atas bahwa kehadiran Maria kurang sempurna tanpa adanya Marta. Demikian juga kalau hanya ada Marta, kehadiran Tuhan kurang dihormati.
Hidup kontemplasi mesti dibarengi dengan karya bagi Tuhan dan bahwa kenikmatan anugerah Allah harus dibayar sebelum dan sesudahnya. Sebelumnya berarti kemauan untuk duduk mendengarkan, dan sesudahnya berarti bekerja, berkarya. Tugas dan karya ini adalah mengenalkan Tuhan kepada orang lain. Pengalaman persatuan dengan Tuhan ini membuat jiwa bekerja segiat-giatnya bagi jiwa-jiwa lain agar mereka juga mengalami Tuhan.
Doa dan karya tidak perlu dipisahkan. Karena semakin mendalam seseorang hidup dalam doa, semakin dia terbakar semangatnya untuk berkarya bagi Tuhan. Bukan sekadar sibuk beraktivitas. Namun bekerja keras mengenalkan Tuhan kepada banyak orang yang semakin meninggalkan Tuhan. Bekerja giat dengan cara hidup yang kita pilih. Entah sebagai biarawan ataupun awam. Bahwa hidup sebagai biawaran yang baik adalah kesaksian yang utama. Demikian juga dengan hidup berkeluarga, bahwa mereka hidup aktif di dalam masyarakat namun sekaligus kontemplatif di dalam keluarga. Suami dan istri harus memiliki sikap kontemplatif agar keluarga yang mereka bangun kokoh berdiri.
Maria dan Marta sebagai teladan bukanlah untuk dipilih, melainkan keduanya harus dihidupi bersama. Ada semangat yang begitu besar dalam diri untuk duduk mendengarkan Tuhan. Sekaligus ada gelora yang begitu hebat untuk berkarya bagi Tuhan. Ada semangat yang besar untuk mengenalkan Tuhan kepada banyak jiwa yang semakin menjauh dari Tuhan. Kedua semangat itu harus hidup bersama di dalam hati.
Hidup kontemplatif, hanya mau mendengarkan Tuhan saja dan kurang mau berkarya adalah sikap pemalas. Karena buah doa haruslah tertuang dalam karya dengan sesame. Sebaliknya, sibuk beraktivitas tanpa disertai kedekatan dengan Tuhan yang mendalam sangatlah kurang. Apakah yang diberikan dalam karya jika tidak dibarengi semangat mendengarkan Tuhan. Pastilah dirinya sendiri. Bukankah Tuhan yang harusnya diwartakan dan dibagikan?
Persatuan dengan Allah ini tidak akan hilang lagi. Seperti kayu api yang dibakar dan akhirnya menjadi bara yang menyala. Mungkinkah bara yang menyala itu kembali menjadi kayu kering? Pasti tidak bisa. Bahkan sulit dibedakan antara nyala dengan bara. Itulah jiwa yang sudah bersatu dengan Allah dalam pernikahan rohani. Persatuan itu tidak akan terlepas lagi. Sekaligus persatuan itu memberi daya yang istimewa untuk giat berkarya bagi banyak jiwa.

Pertanyaan Reflektif:
1.     Pada bagian ini sebenarnya tidak diperlukan banyak pertanyaan lagi. Keadaan puncak ini akan sangat baik kalau digunakan untuk hening, diam membiarkan anugerah Tuhan bekerja dan berkarya.
2.     (Jika masih diperlukan bimbingan untuk berefleksi, berikut ini bisa dipakai, tetapi tidak harus dipakai.) Dalam pernikahan rohani, apakah yang aku bayangkan? Perasaan apa yang dominan di dalam hatiku ketika membayangkan sebuah pernikahan rohani dengan Allah? Pantaskah aku menjadi mempelai-Nya? Bersediakah aku menjadi mempelai-Nya?
3.     Apakah penilaianku terhadap pribadi Maria dan Martha? Manakah yang lebih cocok dengan karakterku? Mungkinkah kedua karakter tersebut dipadukan? Apakah aku bersedia menghidupi kedua karakter tersebut dalam kehidupanku?

Comments

Popular Posts