Masuk ke dalam Puri Batin, sebuah catatan retret (5), Ruang ke empat, Anugerah
Banyak
Mencinta
Sahabat, perjalanan kita
sudah sampai pada ruang keempat. Ruang ini merupakan ruang transisi dari ruang asketis menuju ke ruang mistik. Karena
jika boleh dibagi menurut pemahaman perjalanan rohani tradisional, ruang-ruang
dalam puri batin ini bisa dibagi menjadi dua bagian atau bahkan tiga. Ruang
pertama hingga ruang ketiga adalah ruang asketis. Ruang keempat dan kelima
adalah ruang iluminatis. Sedangkan ruang keenam dan ruang ketujuh disebut ruang
unitatis. Atau jika diringkas menjadi dua bagan, ruang pertama sampai ketiga
adalah ruang asketis sedangkan ruang keempat sampai ruang ketujuh adalah ruang
mistik.
Pada ruang asketis, yaitu tuang pertama hingga ke ruang
ketiga, usaha manusia memegang peran penting. Sedangkan nanti pada ruang mistik
peran Allah mengambil alih usaha manusia. Ruang keempat adalah ruang transisi,
peralihan dari asketis kepada mistik. Di ruang keempat ini manusia sudah memasuki
ruang mistik, meskipun belum sepenuhnya namun sudah semakin terasa bahwa usaha
manusia sudah tidak terlalu besar lagi. Usaha yang dibutuhkan adalah mencinta.
Karena semuanya adalah anugerah Tuhan semata.
Ruangan ini sudah dekat dengan
tempat Sri Baginda berdiam. Ruangan ini cukup indah disertai suara-suara yang
terdengar merdu membuat hati betah, namun budi tidak mampu menjelaskannya.
Mereka yang sudah mengalami akan bisa mengerti. Seperti seorang yang jatuh
cinta, ada sesuatu yang bergolak di dalam hatinya, dia tidak bisa
mengungkapkannya. Semuanya terasa indah, dan mereka yang pernah jatuh cinta
pasti mengerti akan hal ini. Seperti itulah gambaran suasana di ruang keempat
itu, ada keindahan yang luar biasa.
Jiwa yang berhasil masuk ke dalam ruang keempat ini adalah
jiwa-jiwa terpilih. Dia sudah kuat, bahkan tipu muslihat setan sudah tidak
berpengaruh lagi. Dia sudah bisa membedakan mana tipu muslihat setan dan mana
karya Roh Tuhan. Godaan-godaan dari setan tetap ada, tetapi jiwa tidak menyerah
melainkan melawannya dan mengalahkannya. Di sini Teresa menjelaskan
anugerah-anugerah yang diberikan Tuhan kepada jiwa-jiwa yang dengan tekun
mengolah hidup batin.
Pertama-tama Teresa menjelaskan perbedaan antara kepuasan dan
kenimatan yang dialami jiwa. Pada ruang ketiga kita sudah melihat adanya
kekeringan dalam doa. Bahwa doa tidak menarik lagi, semuanya terasa hambar. Doa
yang dulu begitu menggebu sekarang kering tidak terasa. Tidak ada lagi
kenikmatan dan kenyamanan dalam doa. Tidak ada penghiburan lagi dalam doa,
meskipun itu bukan tujuan dan tidak perlu untuk diharapkan. Boleh dikatakan,
hiburan dan kenyamanan dalam doa adalah bonus yang menumbuhkan semangat.
Baiklah kita lihat perbedaan antara kepuasan dan kenikmatan seperti yang
dijelaskan oleh Teresa.
Kepuasan secara sederhana bisa kita pahami sebagai hasil
usaha manusia. Kepuasan itu berasal dari kodrat manusia dan mengalir serta
bermuara pada Allah. Usaha-usaha manusia dalam doa, renungan-renungan tentang
Tuhan, semuanya mendatangkan kepuasan. Untuk
memahami ini saya mencoba membayangkan seperti seseorang yang telah
menyelesaikan pekerjaan besar dan ia puas akan hasilnya. Misalnya, seseorang
telah menyelesaikan novena selama sembilan minggu, dia merasa puas karena bisa
menyelesaikan tanpa ada yang alpa. Atau misalnya sebuah kelompok menyelenggarakan
acara konser doa, yang hadir sangat banyak dan sebagian besar dari mereka
merasakan sentuhan Tuhan. Melihat ini smeua panitia merasakan kepuasan.
Kepuasan ini sungguh berasal dari usaha manusia. Sedangkan kenikmatan adalah
sesuatu yang berasal dari Allah dan dapat dialami oleh kodrat manusia. Karena
kenikmatan adalah anugerah, maka tidak bisa diukur dan diharapkan. Misalnya,
apakah seorang yang telah menjalankan doa novena dengan lengkap tanpa alpa akan
memperoleh kenikmatan yang lebih besar daripada seseorang yang hanya berdoa
Rosario setiap sore? Tidak ada yang tahu. Kenikmatan itu sungguh-sungguh hak
Tuhan untuk memberikan kepada siapa.
Saya tergoda untuk memberi contoh dari sesuatu yang sangat
sekuler sifatnya, yaitu soal mengolah makanan dan menyantap makanan. Misalnya
dalam hal memasak soto, seseorang bisa merasa puas karena telah berhasil
memasak soto untuk diberikan kepada 100 orang gelandangan. Semuanya bisa makan
dengan kenyang, dia puas. Kepuasan itu berasal dari keberhasilannya memasak
soto untuk dibagikan kepada orang lain. Sedangkan kenikmatan makan soto bisa
berbeda setiap orang. Tidak ada ukuran yang sama. Bahkan ada yang tidak
mendapatkan kenikmatan saat menyantap soto. Kenikmatan bukanlah usaha
manusia. Dia timbul dari dalam. Ketika
seseorang menyantap soto, dia tidak harus mendapatkan kenikmatan, yang pasti
dia akan mengalami kekenyangan. Demikianpun dalam hidup doa. Kenikmatan tidak
harus dialami, namun seseorang akan terus maju jika dia tekun melakukannya.
Pada bagian ini Teresa memberi peringatan praktis kepada
mereka yang biasa mengukur kualitas doanya. Karena sudah bertekun dalam doa
batin sekian lama, ada godaan untuk melihat sudah sampai di ruang ke berapakah
dia. Itu tidak penting karena hal itu benar-benar menjadi urusan Tuhan. Sungguh
hanya kebebasan Tuhan untuk menentukan kita masuk ke ruang yang mana. Kalau
kita setia dan tekun, kita akan terus maju. Tetapi kalau kita terjebak godaan
setan, kita akan terseret lagi ke ruang yang lebih luar. Apakah yang
diperlukan? Yang perlukan hanya satu, yaitu terus mencinta. Tidak perlu
memikirkan dan menafsirkan keadaan kita ada di mana, tetapi yang terpenting
adalah banyak mencinta.
Pikiran melayang
Pikiran melayang-layang dan
tidak bisa berkonsentrasi adalah gejala yang umum dialami oleh mereka yang
hendak memulai doa batin/hening. Teresa menghibur kita bahwa hal seperti itu
sangat wajar. Bahkan kita diajak untuk bersyukur jika masih memiliki pikiran
melayang. Karena itu berarti kita masih manusia.
Bagaimana menghadapi pikiran
melayang ini? Karena memang banyak orang yang gagal untuk masuk ke dalam doa hening
karena terjebak di dalamnya. Teresa tidak memberi saran yang muluk-muluk.
Teresa menganjurkan agar kita tidak memerhatikan pikiran melayang tersebut. Dia
memberi contoh seperti kita menghadapi orang gila. Pikiran melayang itu seperti
orang gila yang ada di sekitar kita. Terkadang perhatian kita ditarik
kepadanya. Namun itu tidak akan lama, karena kita akan segera mengacuhkannya.
Kita akan kembali fokus kepada apa yang sedang dikerjakan. Orang gila itu tidak
perlu kita usir. Dia tetap ada di sekitar kita, hanya tidak kita perhatikan.
Demikian juga dengan
pikiran melayang. Dia akan tetap ada. Tetapi tidak akan menggangu lagi kalau
kita tidak memperhatikannya. Namun sekali kita memberi perhatian, maka dia akan
menguasai kita. Sampai pada akhirnya kita menyerah dan berhenti berdoa. Sekali
lagi Teresa mengingatkan agar kita tidak perlu cemas dengan berbagai pikiran
melayang. Karena hal itu adalah tanda kodrati, tanda bahwa kita hidup. Yang
terpentinga dalah kita tetap berada di hadirat Allah.
Pertanyaannya adalah, bagaimana kita tetap berada di hadirat
Allah jika terus dibayangi pikiran melayang? Kita bisa menggunakan beberapa
pertolongan sederhana dalam berdoa. Ada berbagai metode doa yang cukup
sederhana dan baik yang bisa kita pakai. Misalnya metode doa meditasi
Kristiani. Dalam metode doa tersebut, pikiran melayang ditanggulangi dengan
cara berkonsentrasi mendoakan mantera “ma-ra-na-tha”. Pikiran melayang tetap
ada, tetapi pusat perhatian kita adalah kata maranatha. Seperti halnya orang
gila yang terus ada dalam hidup kita, namun kita tidak mengindahkannya.
Anugerah “doa istirahat”
Bagaimana bisa tetap tenang di
hadirat Allah jika banyak gangguan? Di sinilah Allah menganugerahkan “doa
istirahat”. Untuk memahaminya kita akan melihat kembali sepintas mengenai
kenikmatan dan kepuasan. Di atas saya mencoba menjelaskan mengenai kepuasan dan
kenikmatan itu. Jika boleh disingkat, kepuasan adalah hasil dari usaha manusia
sedangkan kenikmatan adalah anugerah Allah. Pada bagian ini ‘kenikmatan’ dalam
doa itu dibahas kembali untuk memahami di mana letak anugerah Allah berada.
Karena ada banyak kecenderungan bahwa sebagian orang mengejar ‘kenikmatan’ ini.
Sebelum melangkah lebih jauh
ada baiknya kita ketahui apa yang katakan Teresa mengenai kedua hal ini,
kepuasan dan kenikmatan. Teresa memakai gambaran sumber air. Ada dua buah
kolam. Yang satu diisi air dari luar, menggunakan pipa-pipa yang mengalirkan
air dari sumber di luar kolam. Sedangkan kolam yang lain airnya membual dari
dalam kolam. Ada sumber air di dalam kolam tersebut. Untuk memenuhi kolam yang
pertama diperlukan usaha yang tidak ringan. Terkadang gagal karena kendala
teknis, misalnya pipa bocor, disabotase orang, dll. Sedangkan kolam yang kedua
tidak membutuhkan banyak usaha. Bahkan kolam itu akan cepat terisi dan airmnya
membual dan meluber sampai ke mana-mana.
Dalam doa, ketika jiwa sudah tinggal di hadirat Allah,
janganlah kehendak dan akal budi dipaksa membuat renungan. Biarkan dia
‘beristirahat’ di dalam Allah. Karena kalau waktunya telah genap, Tuhan sendiri
yang akan berbicara kepada jiwa. Sedangkan jiwa hanya akan mendengarkannya.
Jiwa hanya membiarkan Tuhan bekerja. Sedangkan seluruh kemampuan indrawi
seperti kehendak, akal budi, pemikiran, perdebatan, semuanya diarahkan untuk
‘beristirahat’. Seperti kolam yang membiarkan dirinya diisi air dari dalam.
Tidak ada upaya apa-apa. Hanya diam dan berserah.
Membiarkan Allah mencurahkan anugerah-Nya itu juga tidak
mudah. Kerap budi manusia tetap berusaha menguasai. Di sini usaha manusia, jika
boleh disebuat usaha adalah membiarkan jiwa dikuasai ketenangan dan damai. Jika
harus ada kata-kata atau tindakan hanyalah cinta. Maka bisa dimengerti jika
Teresa menyebut anugerah ini sebagai “doa istirahat”. Karena seluruh daya batin
tidak bekerja lagi. Anugerah ini hanya mungkin didapat jika jiwa sudah berada
dalam suasana doa terus menerus, menghayati kehadiran Allah sepanjang hari.
Artinya, jiwa telah sungguh masuk ke dalam alam kontemplasi. Sanggup melihat
kehadiran Tuhan dan kehendak-Nya di dalam segala pengalaman hidup sehari-hari.
Kerendahan hati
Kerendahan hati merupakan
kunci utama untuk bisa melewati setiap pintu dalam puri batin. Saya sudah
membahasnya di ruang pertama, kalau di sini saya menuliskan lagi itu karena
saya merasa ‘tertohok’ dengannya. Jika seseorang memiliki kerendahan hati yang
benar-benar tulus, ia seperti memiliki kunci master untuk memasuki semua
ruangan. Ia bisa dengan mudah dan cepat sampai di ruang terakhir di mana Sri
baginda bertahta. Apakah kerendahan hati yang tulus itu? Bagaimanakah kita
memperolehnya?
Ada beberapa hal kriteria
untuk bisa disebut memiliki kerendahan hati. Hal pertama yang ditekankan oleh
Teresa adalah perihal mencintai Tuhan dengan sepenuh hati tanpa ada usaha
mencari kepentingan sendiri. Hal ini bisa diketahui jika jiwa jujur kepada diri
sendiri. Kerapkali jiwa bisa mengelabuhi orang lain, namun tidak kepada diri
sendiri. Hal ini sungguh mengingatkan saya akan pertanyaan Yesus kepada petrus
sebelum memberikan tugas pelayanan. Petrus hanya ditanyai perihal mencintai
Tuhan. Setelah Petrus ditanya sampai tiga kali, hatinya luluh dan menangis. Di sana
ia dibawa untuk berhadapan dengan dirinya sendiri. Apakah ia sungguh mencintai
Allah atau masih tersisa usaha mencari keuntungan pribadi seperti yang
sudah-sudah.
Hal kedua berkaitan dengan
banyaknya anugerah yang dikaruniakan oleh Tuhan. Teresa menegaskan
suster-susternya, kemudian juga kita yang membaca bukunya, untuk tidak pernah
memohon anugerah itu dari Allah. Ada banyak alasan mengapa Teresa begitu tegas
dalam hal ini. Namun akan diuraikan lebih jauh dalam ruang berikutnya. Di sini
hanya Teresa hanya menandaskan bahwa semuanya itu melulu pemberian Tuhan. Jika
Dia berkenan maka akan diberikan. Jiwa diharapkan untuk tidak berbesar kepala
dengan berusaha meraihnya.
Larangan meminta dan
mengupayakan sendiri untuk mendapat anugerah Allah tidak sama dengan usaha
menyiapkan diri menerima rahmat Allah. Bagian ini harus secara hati-hati
dipahami. Yakni jiwa mempersiapkan diri dengan pantas untuk mendapat
anugerah-anugerah itu. Dan anugerah-anugerah yang terbesar adalah menderita dan
mengikuti Kristus di jalan salib. Mengapa saya mengatakan bahwa bagian ini
harus dipahami dengan hati-hati? Karena ada sebagian orang yang sedang
mengupayakan hidup doa kerap tergoda untuk meminta mengalami sedikit saja
penderitaan Kristus. Saya pernah berjumpa dengan beberapa dari mereka. Dalam
doanya mereka mengatakan, “Tuhan kalau boleh aku ingin merasakan
penderitaan-Mu”. Sikap seperti ini bukanlah sikap yang rendah hati. Siapakah
kita sehingga pantas meminta seperti itu? Yang diperlukan hanyalah
memperisiapkan diri. Jika Tuhan menganugerahkan kita bersyukur. Jika tidak juga
tidak menjadi soal. Bahkan dalam Kitab Keluaran Yahwe sudah mengingatkan
umat-Nya bahwa kasih karunia itu hanya akan diberikan kepada siapa diberi-Nya.
Tidak ada kriteria. Semuanya menjadi hak privelegi Allah (lih. 33:19b).
Apakah buah dari jiwa yang
rendah hati? Ketenangan. Ya buah kerendahan hati adalah ketenangan yang dialami
oleh jiwa. Jiwa menjadi lebih lapang dan luas. Ia tidak terikat dengan hal-hal
yang remeh dan tidak terikat kaku dengan peraturan. Ia hanya mengabdi Tuhan dengan
kebebasan yang lebih besar. Ia akan melakukan sesuatu yang hanya sungguh
mendatangkan kebahagiaan kekal. Hal-hal sederhana semacam ancaman sakit dan
menderita secara fisik tidak digentari lagi. Misalnya latihan bermatiraga
dengan mengurangi makan atau bahkan berpuasa, tidak lagi menakutkan.
Seperti yang sudah dibahas di bagian awal, pengenalan diri
dicapai dengan usaha mengenal Allah. Karena itu jiwa yang yang sudah mengenal
kebesaran Allah, maka ia lebih menyadari kerapuhannya. Mereka biasanya sudah
semakin maju dalam kebajikan. Meski demikian mereka tetap harus waspada.
Seperti dikatakan oleh Santo Paulus bahwa karunia Allah yang besar itu dibawa
dalam bejana tanah liat yang mudah pecah (bdk. 2Kor 4:7)
Doa hening
Pada ruangan keempat ini
Teresa juga menjelaskan mengenai keheningan sebagai anugerah Allah. Sesuatu
yang bersifat adikodrati. Mari kita pahami lebih dalam keheningan ini yang
berbeda dengan keheningan yang lain. Misalnya, ketika di malam hari tidak ada
cahaya lampu sama sekali juga tidak ada suara-suara. Di sana juga ada
keheningan. Namun keheningan itu berasal dari luar. Keheningan yang kerap
menghadirkan rasa takut. Keheningan yang dialami jiwa di ruangan ini bukanlah
seperti itu.
Keheningan yang dianugerahkan
Allah ini berasal dari dalam. Perlahan ia membuat jiwa memejamkan mata dan
ingin masuk dalam kesendirian (solitudo). Di sinilah doa hening itu terwujud.
Pertama-tama bukan soal keheningan dari luar, yang diciptakan dengan
menghadirkan suasana tanpa suara dan tanpa cahaya sama sekali. Tetapi
keheningan yang beraasal dari dalam. Keheningan yang membawa jiwa untuk masuk
ke dalam kesendirian, hanya bersama Allah. Sungguh sangat sederhana.
Bagaimana memahami keheningan
semacam ini? Di sini jiwa masuk ke dalam dirinya dan mengatasi dirinya. Tuhan
menganugerahkan rahmat kepada jiwa sehingga ia mencari Dia di dalam dirinya. Di
sana jiwa bisa menemukan Tuhan dengan lebih baik jika dibandingkan dengan
melihat kepada ciptaan-ciptaan yang lain. Pemahaman ini mengingatkan saya
kepada cerita Dewa Ruci di dalam kisah pewayangan. Di sana dikisahkan bahwa Wrekudara
atau Bima berguru kepada Pendeta Durna. Dalam tahap akhir pembelajaran, Bima
harus menemui Dewa Ruci. Dia mengembara ke mana-mana sampai akhirnya bertemu
dengan Dewa Ruci, yang sebenarnya perwujudan halus dari Bima. Setelah ebrjumpa
Bima menanyakan di mana ia bisa mendapatkan ilmu keselamatan itu. Dewa Ruci
meminta Bima untuk memasuki dirinya. Tentu saja Bima keheranan, karena badannya
besar, padahal Dewa Ruci kecil. Namun Dewa Ruci menjawab bahwa dunia dan
seisinyapun bisa masuk ke dalam tubuhnya. Akhirnya Bima masuk dan dia berjumpa
dengan dirinya sendiri. Keheningan yang berasal dari dalam akan membantu
seseorang berjumpa dengan dirinya yang sesungguhnya. Jika hal itu terjadi, dia
akan sangat terbantu untuk bisa berjumpa dengan Tuhan. Di sini keheningan itu
melulu anugerah Tuhan, manusia hanya menyiapkan diri untuk menerimanya.
Bagaimanakah menyiapkan diri
agar pantas menerima anugerah keheningan ini? Teresa mengajarkan bahwa jiwa
yang pantas mendapatkan anugerah ini adalah yang sudah terbebas dari kelekatan
akan barang-barang dan perkara-perkara duniawi. Anugerah ini harus
disyukuri. Rasa syukur dan terimakasih
akan memampukan jiwa untuk siap menerima anugerah yang lebih besar lagi.
Ada godaan bahwa kita
berpikir. Akal budi kita terus berusaha untuk memikirkan bagaimana semuanya ini
bisa terjadi. Hal ini harus dicegah. Segala perhatian harus diarahkan kepada
karya Allah di dalam diri kita, bukan memikirkannya. Satu hal yang terus
dilakukan adalah terus berusaha hadir di hadirat Allah dan menikmatinya. Aneka
kesibukan budi hendaknya disingkirkan. Jika harus mengucapkan kata-kata
cukuplah dengan ungkapan terimakasih dan ungkapan cinta kepada Allah atas
anugerah ini.
Pertanyaan reflektif:
1. Banyak mencinta. Apakah
dalam perjalanan doaku ada keinginan untuk melihat sudah sejauh mana aku
melangkah atau aku tetap bertekun dalam doa dan tidak memedulikan sudah berada
di tahap mana? Apakah aku bertekun dalam unsaha mencintai Allah dengan terus
menerus mengolah batin dan membersihkan hati untuk menerima kasih Allah?
2. Pikiran melayang. Apakah
aku sering mengalami gangguan pikiran melayang pada saat berdoa? Apakah yang
aku lakukan ketika gangguan itu datang? Apakah aku sibuk dengan pikiran
melayang tersebut atau terus berdoa tanpa mengindahkannya?
3. Anugerah “doa istrahat”.
Apakah Tuhan menganugerahiku rahmat doa istirahat? Apakah aku merasakan adanya
‘kenikmatan’ yang keluar dari hati? Apakah tanda-tandanya?
4. Kerendahan hati. Pada
tahap ini, seberapa pentingkah sikap rendah hati membantu dalam bertumbuh dalam
doa? Godaan dan gangguna seperti apa yang sering aku alami berkaitan dengan
kerendahan hati tersebut?
5.
Doa hening. Apakah aku memahami keheningan yang dianugerahkan
Allah dalam jiwaku? Bagaimana aku memahaminya? Bagaimana aku mengolah dan
bersikap terhadapnya? Bagaimana peran akal budi pada tahap ini?
Comments