Masuk ke dalam 'Puri Batin', sebuah catatan retret (2) : Ruang pertama, Pertobatan
Memasuki gerbang puri dengan Doa dan renungan
Sahabat, setelah sekilas mengenal St. Teresa Avilla dan
menjadikannya sebagai cermin sekaligus pembimbing dalam peziarahan rohani ini,
kita bersiap memasuki puri. Seperti sudah jamak diketahui bahwa Teresa membuat
gambaran jiwa manusia itu seumpama puri yang terbuat dari intan permata yang
amat jernih. Gambaran puri dibuat karena itulah yang dialami oleh Teresa. Dia
hidup di kota Avilla - Spanyol pada abad ke-16 di mana ada banyak puri. Kota
Avilla sendiri seumpama puri yang sangat besar, yang dikelilingi oleh benteng
tinggi. Ada jembatan yang menghubungkan kota tersebut dengan ‘dunia luar’. Jika
jembatan itu diangkat, dia menjadi penutup bagi pintu gerbang kota. Dan dengan
sendirinya kota itu menjadi terisolasi. Pengalaman hidup di dalam kota yang
menyerupai sebuah puri atau castil inilah dia menulis buku mengenai perkembangan
hidup doa dengan gambaran puri.
Di dalam puri tersebut terdapat banyak ruangan, tepatnya ada
tujuh ruangan. Tipa ruangan juga memiliki ruangan-ruangan lagi, bukan hanya
satu ruangan saja. Jiwa mesti melewati ruangan demi ruangan, dari ruangan
pertama hingga ketujuh untuk bisa berjumpa dengan Allah. Teresa menyebut Allah sebagai
Sang Raja Agung / Sri Baginda. Allah bersemayam di ruangan ketujuh dan tetap
berada di sana. Jiwa yang ingin bersatu dengan Sri Baginda harus mendatangi-Nya,
artinya berjalan menuju ke ruangan ketujuh. Untuk sampai ke sana, jiwa mesti
melewati ruangan yang lebih luar terlebih dahulu. Tidak dimungkinkan untuk
meloncat dari pelataran luar hingga langsung masuk ke dalam ruangan ketujuh.
Jiwa harus melangkah setahap demi setahap.
Kini jiwa memasuki ruangan pertama. Syarat yang dibutuhkan
untuk bisa masuk ke dalam ruang pertama adalah doa dan renungan akan Tuhan.
Teresa tidak menjelaskan doa seperti apa, hanya dikatakan doa dan renungan.
Bagi Teresa, doa yang serius adalah doa yang disertai renungan. Tanpa itu doa
bukanlah doa, tetapi sebuah rapalan tanpa makna. Hanya aktivitas menggerakkan
bibir, menyampaikan kata-kata tanpa memahami apa yang dikatakan.
Mungkin kita memiliki pengalaman seperti ini, merapalkan
kata-kata doa tanpa memahami apa yang kita doakan. Saya pernah ditegur oleh
seorang kawan ketika mendoakan doa Kerahiman Ilahi. Dia menegur saya karena
berdoa terlalu cepat, terburu-buru. Waktu itu kami berada di rumah sakit. Saya
berpikir bahwa kami tidak bisa berlama-lama di sana, maka saya memimpin doa
dengan cepat. Kebetulan tidak ada teks doa yang bisa membantu sehingga yang
lain hanya mengikuti dari apa yang saya katakan. Teman saya mengatakan bahwa ia
sama sekali tidak mengerti doa apa yang saya panjatkan, karena begitu cepat dan
terburu-buru. Hari berikutnya, ketika saya kembali ke rumah sakit dan mendoakan
orang yang sama, saya berdoa dengan lebih lambat. Sehingga mereka yang ikut
berdoa tahu doa apa yang sedang dipanjatkan. Mereka juga terbantu untuk bisa
ikut berdoa dan meresapkan doa itu dalam hati. Inilah contoh sederhana yang
dimaksud oleh Teresa sebagai aktivitas doa yang bukan doa. Hanya mengeluarkan
kata-kata saja tetapi tidak berdoa.
Bagaimana seseorang bisa masuk ke dalam hidup doa? Teresa
menjelaskan satu syarat yaitu dia harus bertobat. Hanya dengan pertobatan orang
akan bisa berdoa dengan sungguh-sungguh. Pertobatan secara sederhana berarti
berbalik kepada Allah. Orang menyesali segala bentuk perbuatan yang salah dan
tidak ingin mengulangi lagi. Pertobatan seperti ini juga berlaku untuk hidup
rohani. Orang menyadari telah melalaikan banyak hal dan menyia-nyiakan banyak
kesempatan yang seharusnya bisa digunakan. Maka pertobatan berarti berusaha
lebih serius dalam hal rohani.
Hal ini berdasar pengalaman Teresa sendiri. Dia
bertahun-tahun hidup suam-suam kuku saja. Sebagai biarawati yang taat, dia
menjalankan semua aktivitas biara juga aktivitas doa. Namun tanpa kedalaman,
semuanya mengalir begitu saja. Sampai akhirnya pada pertobantannya yang kedua,
yaitu pertobatan dalam hidup rohani (pertobatan orang yang sudah dibaptis) dia
berubah. Dia lebih serius bahkan lebih radikal dalam berdoa. Di sanalah hidup
doanya mulai berkembang.
Setiap orang memiliki pengalaman pertobatan yang berbeda. Ada
peristiwa-peritiwa dalam hidupnya yang membuat mereka mengalami pertobatan
kedua, pertobatan rohani. Saya alami ketika melayani umat KKI di Melbourne,
saya berjumpa dengan beberapa pribadi yang mengalami fenomena aneh. Awalnya
tidak bisa saya pahami dengan pemikiran saya bahkan ada usaha untuk menolaknya.
Namun karena fenomena itu hadir dan ada di depan mata, maka saya mulai berpikir
ulang. Saya mulai mencoba mendengarkan dan mengerti apa yang mereka alami.
Tidak mudah karena saya tidak pernah mengalami apa yang mereka alami, yaitu pergulatan
dengan roh-roh kegelapan. Peristiwa itu sungguh memaksa saya untuk membenahi
hidup doa dan hidup rohani saya. Namun pengalaman itu belum sungguh-sungguh
membawa saya kepada pertobatan yang radikal. Peristiwa lain yang menjadi
pelecut ke arah pertobatan adalah kekecewaan dalam pelayanan. Di sana saya
diajar untuk melihat kembali apa itu baik, sukses, dan gagal dalam pelayanan.
Mengenal diri : Mengenal
Allah
Ruang pertama juga berbicara mengenai keagungan jiwa manusia sebagai
tempat kediaman Allah. Jiwa manusia itu agung kalau murni dan jujur. Jiwa
manusia itu agung jika dirahmati. Maka Teresa menekankan perlunya mengenal diri
agar mampu melihat rahmat Allah yang sungguh besar ini. Perempuan Spanyol yang
hidup pada abad keenambelas ini sungguh luar biasa. Ketika ilmu psikologi belum
lahir, ia sudah berbicara mengenai aspek psikologi dalam berdoa, yaitu
pengenalan diri. Bagi Teresa pengenalan diri ini penting agar jiwa berkenan
kepada Tuhan.
Bagaimana seseorang bisa mengenal dirinya dengan lebih baik? Teresa
menjelaskan bahwa pengenalan diri itu akan didapat kalau jiwa mau mengenal
Tuhan terlebih dahulu. Pemahaman ini kelihatannya bertentangan dengan pemahaman
psikospiritual yang akhir-akhir ini banyak berkembang, di mana jiwa diajak
mengenal diri sedalam-dalamnya terlebih dahulu baru melangkah untuk mengenal
Tuhan. Hidup pribadi ditata sedemikian rupa sehingga hidup rohani bisa
berkembang.
Bagi Teresa yang terpenting adalah pengenalan akan Tuhan.
Mengapa Teresa berpendapat bahwa yang terpenting adalah mengenal Allah terlebih
dahulu? Pemikirannya sangat sederhana.
“Dengan merenungkan
keagungan-Nya, kita dapat melihat kenistaan diri kita sendiri. Dengan
merenungkan kemurnian-Nya, kita menyadari ketidakmurnian kita. Dengan
merenungkan kerendahan hati-Nya, kita sadar betapa kurang rendah hatinya kita.”
(I, 2-9)
Pengalaman melihat sesuatu yang agung dan besar kerap kali
membantu kita untuk berefleksi. Misalnya melihat gunung yang menjulang tinggi,
kita disadarkan akan kekecilan kita. Melihat bintang-bintang di waktu malam
yang tak terhitung jumlahnya, kita juga terbantu untuk melihat betapa tak
berartinya kita. Kita masih bisa menambahkan contoh konkrit dari kehidupan
sehari-hari. Namun pertanyaan yang penting adalah, bagaimana kita bisa mengenal
Allah yang agung itu?
Teresa menjelaskan bahwa kita bisa mengenal Allah melalui
Putera-Nya, yaitu Yesus Kristus yang menjadi manusia. Bukankah Yesus sendiri
juga mengatakan hal yang sama ketika ditanya oleh Filipus mengenai cara
mengenali Allah? Yesus mengatakan bahwa barang siapa melihat Yesus ia telah
melihat Allah/Bapa, karena Yesus tinggal di dalam Allah dan Allah tinggal di
dalam diri Yesus (bdk. Yoh 14:8-12). Lebih lanjut Teresa menegaskan bahwa kita
bisa mengenal Yesus Kristus melalui Injil. Pemikiran Teresa ini merupakan
sesuatu yang luar biasa untuk zamannya. Pada waktu itu belum banyak pemikiran
mengenai kemanusiaan Yesus. Maka sesuatu yang hebat ketika dia mengatakan bahwa
kita mengenali Allah melalui Putera-Nya yang menjadi manusia.
Teresa sangat menyadari bahwa manusia membutuhkan teladan
untuk bisa maju, juga dalam hidup rohani. Dan hal itu sangat benar, bukan hanya
dalam hidup rohani, dalam hidup sehari-haripun teladan orang lain yang telah
berhasil akan mendorong orang lain untuk lebih giat berusaha. Misalnya
pengusaha yang sukses kerap menjadi teladan bagi pengusaha yang lain untuk
meraih sukses. Atau olahragawan yang sukses juga menjadi inspirasi banyak orang
lain untuk meraih sukses yang sama. Manusia membutuhkan sosok yang nyata untuk
dilihat, didengar dan diraba. Tidak cukup jika manusia hanya diberi contoh yang
abstrak.
Bagi Teresa, teladan yang sempurna untuk dijadikan contoh
dalam hidup rohani adalah Yesus sendiri, juga para kudus yang lain. Melihat
kehidupan Yesus di dalam Injil, juga kehidupan para kudus akan memotivasi kita
untuk bisa memulai hidup rohani secara lebih sungguh. Kita bisa memilih tokoh
santo atau santa yang kita kenal untuk kita jadikan teladan. Misalnya santo
atau santa pelindung kita. Jika santo/santa pelindung baptis kita tidak memiliki
banyak informasi untuk diteladani, kita bisa memilih figur yang lain. Misalnya,
Beata Teresa dari Calcuta banyak dijadikan teladan bagi mereka yang melakukan
karya kemanusiaan. Santo Yohanes Bosco dijadikan teladan oleh mereka yang giat
mendampingi kaum muda. Juga Teresa Avilla sendiri, bersama Santo Yohanes dari
Salib banyak dijadikan teladan bagi mereka yang bersungguh-sungguh dalam hidup
rohani dan hidup doa. Dan masih banyak yang lain lagi.
Menjadikan orang kudus sebagai teladan ini dimulai dengan
mengenali kemanusiaan mereka. Mengenali jatuh dan bangunnya, usahanya yang juga
tidak mudah. Banyak santo dan santa juga kerap mengalami kejatuhan, memiliki
kerapuhan, namun memiliki usaha yang begitu besar untuk bangkit dan berjalan.
Inilah yang penting bagi kita yang ingin serius dalam hidup doa. Bahwa
kejatuhan dan kerapuhan itu tetap ada.
Lebih lanjut Teresa menekankan pentingnya memandang Yesus dan
merenungkan hidup, ajaran dan sengsaranya agar kita tidak sesat karena hanya
melihat kekurangan dan keterbatasan diri. Kerapkali ada kekeliruan ketika
seseorang diajak untuk mengenal diri. Di mana mereka hanya melihat
kekurangannya saja. mereka berputar-putar pada pengertian bahwa dirinya kurang
ini, tidak bisa begitu, dan seterusnya. Hal ini tidak baik dan bahkan sangat
berbahaya. Orang perlu melihat sesuatu yang positif. Di sini kita juga melihat
bahaya jika seseorang hanya menganalisa pribadi dari sisi psikologi tanpa aspek
spiritual. Misalnya, setelah melakukan test psikologi, seseorang diberi hasil
yang ternyata sangat negatif. Misalnya kurang ini atau kurang itu. Hal itu akan
berpengaruh kepada pertumbuhan kepercayaan diri dan perkembangan
kepribadiannya. Seseorang sungguh perlu melihat hal yang positif dalam dirinya
untuk berkembang. Terlalu melihat kelemahan diri sendiri akan membuat jiwa itu
kecil hati dan mudah putus asa.
Bagaimana dengan saya sendiri? Merenungkan uraian Teresa
bahwa untuk memasuki hidup doa yang sungguh-sungguh, seseorang perlu mengenal
diri: saya diajak untuk bertanya, apakah saya sudah mengenal diri dengan baik?
Untuk menjawab pertanyaan ini saya harus berjalan seperti Teresa kehendaki,
yakni dengan mengenal Allah. Apakah saya sudah mengenal Allah? Apakah saya
sudah mengenal Yesus Kristus Putera-Nya? Apakah saya sudah mengenal Injil yang
adalah wadah untuk mengenal Yesus Kristus? Melalui itu semua saya diajak untuk
mengenal diri secara utuh. Mengenal diri yang merupakan gambaran wajah Allah
(bdk. Kej 1:26).
Secara kasar boleh saya katakan bahwa saya belum mengenal secara
sungguh siapa diri saya. Karena saya juga belum secara sungguh mengenal Allah.
Ada kalanya saya merasa mengenal Allah, tetapi sebenarnya saya tidak mengenal
Dia. Saya tidak benar-benar tahu bagaimana Dia, apa yang Dia mau, sedang apa
Dia, dan seterusnya. Saya masih terpusat pada diri saya sendiri, yang lemah,
yang tidak bisa ini dan tidak bisa itu. Saya belum benar-benar memandang Allah
secara utuh untuk mengenali diri saya sendiri secara menyeluruh. Belum
benar-benar menjadikannya sebagai cermin untuk berefleksi. Meski demikian saya
harus mengucap syukur kepada Allah, betapa Dia sungguh luar biasa. Dari sedikit
yang sudah saya pahami, saya bisa melihat betapa Dia telah melakukan banyak
pekerjaan besar dalam hidup saya. Satu hal yang saya kenali sekarang adalah Allah
begitu mengasihi saya. Artinya, saya adalah pribadi yang dikasihi.
Rendah hati
Proses pengenalan diri yang mendalam, yaitu dengan terus
menerus memandang Kristus akan membawa kita kepada sikap yang rendah hati. Bagi
Teresa, kerendahan hati adalah kunci untuk bisa memasuki ruangan yang
berikutnya. Kerendahan hati menunjukkan kepada jiwa keadaan yang sebenarnya.
Bahkan lebih lanjut beliau menegaskan bahwa selama kita hidup di dunia ini
tidak ada yang lebih penting dari pada kerendahan hati.
Ada sebagian orang yang menafsirkan kerendahan hati secara
salah. Mereka beranggapan bahwa sikap rendah hati adalah tidak mengakui
keberhasilan, menolak pujian dan seterusnya. Misalnya, seorang pastor berkhotbah
dengan baik. Seusai misa pastor tersebut mendapat ucapan selamat dari umatnya,
namun pastor tersebut menolak dengan mengatakan, “ah, tidak.” Pastor tersebut
mengira telah bersikap rendah hati dengan berkata demikian, padahal tidak.
Mengapa dia tidak menjawab “terimakasih”? Karena jawaban terimakasih
sesungguhnya menjadi pengakuan kepada Allah yang telah melakukan karya besar
melalui pastor tersebut. Dengan menolaknya, berarti dia juga menolak Tuhan yang
telah melakukan karya besar dalam dirinya.
Bisa menerima pujian dengan rendah hati memang membutuhkan
proses. Di sini kita sungguh bisa belajar dari Bunda Maria yang menerima pujian
dari Elizabeth saudarinya. Dengan lugas dia mengarahkan pujian itu kepada Allah
dengan mengatakan, “aku mengagungkan Tuhan, hatiku bersukaria, karena Allah
telah melakukan karya besar dalam hidupku…” (bdk. Nyanyian Pujian Maria, Luk
1:46-56). Maria tidak menolak pujian itu sekaligus mengarahkan pujian itu
kepada Allah. Sikap yang dengan jelas menunjukkan kerendahatiannya. Sebaliknya,
sikap menolak pujian itu bisa menjadi sebuah kerendahatian yang semu, tidak
sungguh mengalir dari hati. Ada kalanya orang takut dikatakan sombong dengan
mengakui sanjungan.
Untuk belajar rendah hati dengan sungguh Teresa mengajak kita
untuk terus mengarahkan pandangan kepada Kristus. Kita bercermin dari hidup
Yesus, juga dari hidup para kudus. Usaha untuk bercermin dari hidup Yesus dan
para kudus akan membuat kita mengerti diri kita lebih utuh. Terlebih lagi kita
akan dibebaskan dari rasa kecil hati dan ketakutan-ketakutan. Hal ini dikatakan
Teresa untuk menyemangati kita, karena ada bahaya kalau di ruangan awal kita
sudah kehilangan semangat dan berkecil hati, kita tidak akan mampu meneruskan
perjalanan menuju ke ruang berikutnya.
Godaan
Jiwa yang memulai serius dalam hidup doa bukan berarti bebas tanpa
godaan. Bahkan di sini setan masih banyak dan tidak membiarkan jiwa-jiwa
berjalan menuju Allah. Setan ini akan memakai berbagai cara untuk menjebak
jiwa-jiwa sehingga mereka gagal. Bahkan setan-setan itu berkeliaran seperti
singa yang siap menerkam mangsanya (lih. 1 Ptr 5:8-9). Teresa mengingatkan agar
kita tetap waspada, karena setan akan berusaha mengajak manusia keluar dari
ruangan ini dan kembali hidup di luar puri.
Ada beberapa contoh upaya setan untuk menjebak manusia.
Bujukan yang sepintas seperti perbuatan yang baik, sesungguhnya tidak. Misalnya
sikap mati raga yang berlebihan dan tidak mendapat ijin. Di dalam biara, sikap
mati raga harus mendapat persetujuan dari pimpinan. Misalnya berpuasa, tidur
tidak menggunakan kasur, memukul-mukul badan sebagai silih, dan seterusnya.
Jika olah matiraga ini tidak diijinkan oleh pimpinan, bisa jadi akan menjadi
keterlaluan. Akibatnya yang sudah sering terjadi adalah badan menjadi sakit dan
tidak bisa melakukan berbagai kegiatan biara yang lain. Nasihat kuno mengatakan
bahwa sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.
Sikap berlebih-lebihan ini bukan hanya dalam sikap mati raga,
tetapi juga dalam hidup sehari-hari yang lain. Misalnya seorang pastor begitu
giat melayani umatnya, pagi siang malam dia terus berkeliling mengunjungi
umatnya, bahkan makanpun tidak sempat. Dia memiliki keinginan untuk bisa
menjadi pelayan yang baik, maka seluruh tenaga dia curahkan dan lupa
memperhatikan kesehatan sendiri. Akhirnya setelah beberapa bulan dia jatuh
sakit dan tidak bisa melayani sama sekali.
Atau contoh yang lain, sikap yang digunakan setan untuk
menjerat manusia adalah mengawasi dan menilai. Orang yang baru memulai serius
dalam hidup doa dan hidup rohani, dia akan digoda untuk mengawasi sesamanya.
Dia akan menegur atau melaporkan kepada atasan, sesamanya yang tidak melakukan
tugas dengan baik dan benar. Sikap ini membawa perpecahan dan ketegangan. Dia
sendiri, karena terlalu terpusat kepada orang lain akhirnya lupa memerhatikan
diri sendiri. Hasilnya seperti yang dikatakan dalan Injil, dia melihat selumbar
di mata sesamanya tetapi balok di mata sendiri tidak ia lihat (bdk. Mat 7:3).
Bagaimanakah sikap yang tepat agar terhindar dari jebakan si
setan? Yaitu dengan mengembangkan cinta. Bahwa kesempurnaan itu terletak dalam
sikap cinta kepada Tuhan dan sesama. Sungguh suatu sikap yang tepat, karena
cinta kepada Tuhan dan sesama dalam paparan Teresa ini menjadi satu kesatuan.
Jika kita ingat perintah Yesus bahwa kita harus mencintai Tuhan lebih dari
segala sesuatu dan mencintai sesama seperti mencintai diri sendiri. Maka
keduanya akan bisa dilakukan bersamaan. Untuk bisa mengenal diri, kita terlebih
dahulu dajak mengenal Allah. Dan kita menemukan identitas diri kita di dalam
Allah, yaitu di dalam kasih Allah. Demikian juga dengan identitas sesama kita
berada di dalam kasih Allah. Jika kita mencintai Allah lebih dari yang lain
dengan tulus, maka kita akan ditolong mencintai sesama seperti diri sendiri
dengan mudah.
Pertanyaan reflektif
1. Dalam hidup doa. Bagaimana
saya mengolah hidup doa? Apakah saya memiliki hasrat untuk bisa bertumbuh dalam
hidup doa? Ataukah saya sudah merasa cukup dengan hidup doa saya? Apakah
kendala yang kerap muncul dalam memupuk hidup doa?
2. Pengenalan diri. Sejauh
mana saya mengenal diri sendiri? Sejauh mana saya mengenal Allah melalui Yesus
dalam Kitab Suci? Apakah saya melihat keagungan Allah dalam hidup sehari-hari?
3. Kerendahan hati. Bagaimana
saya memupuk kerendahan hati dalam kehidupan sehari-hari? Apakah saya berani
mengandalkan Tuhan dalam seluruh aspek hidup saya? Sejauh mana saya berani
berserah? Kendala apa yang kerap saya jumpai dalam mengusahakan kerendahan
hati?
4.
Godaan. Apakah godaan yang kerap muncul dalam hidup doa saya?
Bagaimanakah saya mengatasinya?
Comments