Masuk ke dalam 'Puri Batin', sebuah catatan retret (1) : Sekilas Riwayat Hidup St. Teresa Avila
Sahabat, pada hari pertama retret saya merenungkan riwayat
hidup Santa Teresa Avilla, terlebih masa mudanya. Khususnya awal panggilannya
ke Karmel, untuk saya jadikan cermin bagi awal panggilan saya sendiri ke
Karmel. Kemudian secara lebih mendalam saya diajak untuk merenungkan apa yang
menarik dari hidup dan karya beliau yang sangat fenomenal. Karya dan hidupnya
kemudian tidak bisa dipisahkan dari semangat pembaharuan yang telah dia
lakukan. Di sini saya sendiri ditantang untuk melihat lebih dalam, apakah yang
perlu saya perbaharui dalam diri saya.
Sebagai pembuka seluruh peziarahan rohani ini, saya mendapat
paparan mengenai hal-hal manusiawi Teresa Avilla. Bahkan tidak banyak hal yang
sangat fantastis yang diuraikan. Hal ini saya tangkap dengan sederhana, bahwa
santa yang oleh Gereja diangkat menjadi guru doa ini juga manusia biasa.
Memiliki daya afeksi dan emosi yang sama dengan manusia yang lain. Beliau bisa
sakit, bahkan sangat rapuh secara fisik. Namun perlahan dan itu pasti, kita
dibawa kepada satu kenyataan yang membedakan dia dengan yang lain, yaitu rasa
takut yang begitu besar kepada Allah dan kerinduannya yang teramat besar untuk
bisa bersatu dengan Allah.
Masa Kecil
Teresa lahir pada 28 Maret 1515 dengan nama Teresa de Cepeda y Ahumada di Avilla.
Ayahnya, Alonso Sanchez de Cepeda
adalah seorang pedagang dan masih memiliki darah Yahudi. Hal ini disembunyikan
oleh Teresa demi keselamatan mereka. Karena situasi politik di Spanyol waktu
itu kurang baik bagi orang atau warga keturunan Yahudi. Ibunya, Beatriz de Ahumada adalah istri kedua dari
Alonso karena istri pertamanya, Catalina
del Peso y Henoo meninggal setelah melahirkan dua orang anak bagi Alonso.
Teresa sendiri adalah anak ketiga dari 10 anak yang dilahirkan Beatriz bagi
Alonso. Teresa sudah menjadi piatu pada usia 11 tahun.
Pengalaman menjadi piatu di usia yang sangat muda, dengan
adik yang sangat banyak rupanya mempengaruhi perkembangan spiritual gadis
remaja ini. Dia yang oleh ayahnya ‘diserahkan’ ke dalam perlindungan Bunda
Maria ini, sejak kecil memiliki kerinduan besar untuk bersatu dengan Allah. Ada
sebuah cerita mengenai hal ini ketika Teresa baru berusia tujuh tahun. Dia dan
kakaknya Rodrigo ingin menjadi martir. Mereka memiliki pemikiran yang sangat
sederhana; menjadi martir adalah jalan yang paling sederhana dan singkat untuk
bisa bersatu dengan Allah.
Maka mereka merencanakan perjalanan ke tanah Moro untuk menjadi
martir di sana. Waktu itu orang-orang Moro sangat tidak menyukai orang-orang
Kristen, bahkan banyak orang Kristen yang dibunuh. Maka kalau mereka pergi ke
sana, mereka juga akan dibunuh. Pemikiran yang sangat polos dan sederhana dari
dua anak kecil yang memiliki kerinduan besar untuk bersatu dengan Allah.
Rencana besar tersebut mereka jalankan. Mereka pergi
meninggalkan rumah dan berjalan ke arah utara, di mana orang-orang Moro
tinggal. Di perbatasan kota mereka berjumpa dengan pamannya. Pamannya heran
mengapa dua kemenakannya tersebut bisa berada di perbatasan kota. Dia dibuat lebih
terkejut lagi oleh alasan dua bocah tersebut yang ingin menjadi martir di tanah
Moro. Tentu saja usaha dua kaka beradik ini tidak disetujui, dan mereka dibawa pulang
kembali ke rumah.
Peristiwa kecil ini mungkin kelihatan konyol dan tanpa makna.
Akan tetapi hal itu menunjukkan bahwa Teresa dan kakaknya telah mengerti apa
yang mereka mau. Kiranya tidak banyak anak kecil yang mengerti dengan sadar
keinginan terdalamnya, terlebih keinginan spiritual mereka. Mungkin kebanyakan
orangtua bertanya perihal cita-cita kepada anak-anak mereka. Jawaban yang
diberikanpun biasanya akan berkembang seturut perkembangan usia dan pemahaman
si anak. Misalnya, banyak anak-anak kecil jika ditanya keinginan terbesarnya
akan menjawab ingin menjadi dokter, atau insinyur, atau presiden. Namun jika
mereka beranjak remaja, keinginan itu bisa berubah. Dan setelah menjadi pemuda
atau pemudi, mereka malah kebingungan hendak menjadi apa, kebingungan akan
keinginan terbesarnya. Juga dalam hal hidup rohani.
Inilah hal istimewa yang bisa dirasakan dari sosok Teresa sewaktu
kecil. Hal itu mengingatkan akan sosok Yesus kecil di usia 12 tahun (lih. Luk
2:41-52). Waktu itu, seperti kebiasaan orang-orang Yahudi pada hari Paskah,
mereka pergi ke Yerusalem untuk mengikuti perayaan. Waktu itu Yesus dan
orangtuanya tinggal di Nazareth, cukup jauh dari Yerusalem. Setelah perayaan
usai Yosef dan Maria, serta rombongan yang lain bergegas pulang. Yesus tidak
bersama mereka tetapi tinggal di Yerusalem. Orangtuanya tidak mengetahui hal
ini. Mereka berpikir bahwa Yesus berjalan bersama sanak saudara yang lain.
Setelah berjalan sehari lamanya, mereka mulai mencari Yesus.
Tetapi mereka tidak menemukannya, maka kembalilah mereka ke Yerusalem. Rasa
khawatir, takut dan cemas pasti melanda hati kedua orang tersebut. Akhirnya
mereka menemukan Yesus duduk diantara kaum cendekiawan dan ahli Kitab Suci di
Bait Allah. Yesus tidak duduk diam, tetapi aktif berbicara, bertanya dan
memberikan jawab. Bahkan semua orang yang hadir di sana tercengang dan
terheran-heran melihat kecerdasan Yesus kecil. Sungguh sesuatu yang sangat
mencengangkan, bahkan bagi para ahli dan alim ulama waktu itu.
Maria dan Yosef yang mendapati anaknya berada di dalam
kumpulan kaum terpelajar tersebut tentu saja sangat terkejut. Dibalut rasa
cemas dan takut, Maria menegur Yesus, “Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian
terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” Jawaban Yesus
lebih mengejutkan lagi, meskipun mereka tidak memahami apa yang dimaksudkan,
“Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam
rumah Bapa-Ku?”
Maria dan Yosef tidak memahami apa yang dikatakan oleh Yesus.
Bahkan ketika Yesus mengatakan, “tidakkah kamu tahu?”, sejujurnya mereka tidak
tahu. Mereka belum memahami rahasia Allah yang begitu besar. Akan tetapi nanti
perlahan-lahan mereka akan menyadarinya dan mulai mengerti. Dulu Maria dan
Yosef mendengar rahasia Allah melalui malaikat yang pernah mendatangi mereka.
Rahasia yang waktu itu hanyalah gambaran gelap, bahwa ia kan mengandung dari
Roh Kudus. Sekarang setalah lebih dari sepuluh tahun waktu berjalan, ia seperti
diingatkan lagi bahwa anaknya tersebut bukanlah anaknya. Dia memiliki tugas,
Dia hadir bukan tanpa maksud. Dia dan Yosef hanyalah alat yang dipilih dan
dipakai Allah untuk melaksanakannya. Peristiwa hari itu menyadarkan kembali
Maria dan Yosef bahwa tugas mereka sebagai orangtua tidak boleh menyimpang dari
rencana Allah. Anak mereka harus berada di rumah Bapa-Nya.
Membaca dan merenungkan masa kecil Teresa telah meloncatkan
refleksi saya akan masa kecil Yesus. Teresa sudah menyadari tugas dan
panggilannya, keinginan terbesarnya. Bagaimana dengan saya sendiri? Apakah di
masa kecil dulu telah paham akan apa yang hendak saya capai? Apakah saya sudah
memahami apa yang saya cari? Saya tidak tahu pasti. Tetapi ada beberapa kisah
yang kiranya menarik untuk saya bagikan di sini. Sampai dengan usia 12 tahun,
saya telah berpindah rumah sebanyak 3 kali. Tentu saja saya mengikuti orangtua
saya yang berpindah-pindah. Ketika dilahirkan, orangtua saya belum memiliki
rumah. Mereka masih menumpang di rumah kakek nenek saya. Pada usia 3 tahun
orangtua saya mulai membangun rumah mereka sendiri. Proses membangun rumah bukanlah
waktu yang singkat. Toh demikian saya selalu dibawa. Mereka tidak memiliki
kendaraan, jadi saya selalu digendong, karena jaraknya cukup jauh.
Di rumah baru inilah saya menghabiskan masa kanak-kanak
hingga sekitar usia 9 tahun. Saya tidak tahu pasti berpa lama kami tinggal di
rumah baru itu. Kemungkinan hanya sekitar 5 atau 6 tahun saja. Karena ketika
saya kelas 3 SD kami pindah lagi. Entah apa alasan yang mendasar, orangtua saya
kembali membangun rumah di dekat rumah kakek nenek saya.
Meskipun kami hanya tinggal sekitar 6 tahun di rumah baru,
namun saya telah menjalin persahabatan dengan Nanang, tetanga depan rumah.
Usianya setahun lebih tua dari saya, namun kami sangat akrab. Setiap hari
bermain, tidak jarang sampai malam hari. Dia anak kedua, sedangkan saya anak
pertama. Kakaknya seorang perempuan, dan saya waktu itu memiliki adik laki-laki
yang pada usia 7 bulan sudah diadopsi oleh paman.
Setiap anak memiliki cita-citanya sendiri. Ada yang wajar ada
yang tidak masuk akal. Ada yang membanggakan ada yang menggelikan. Demikian
pula dengan kami. Nanang bercita-cita menjadi pengamen, sedangkan saya
bercita-cita menjadi petani yang memiliki gubuk di sawah. Cita-cita yang sangat
sederhana. Bahkan saya sempat melupakan cita-cita saya tersebut sampai paman
saya mengingatkan saya akan cita-cita itu di hari tahbisan saya.
Mengapa saya bercita-cita menjadi petani yang memiliki gubuk
di sawah? Mengapa sahabat kecil saya memiliki cita-cita menjadi seorang
pengamen? Tentu alasannya sangat lucu dan sentimental sekali. Kakek saya
memiliki sawah yang cukup luas. Bahkan ia menyewakan beberapa petak kepada
orang lain, termasuk bapak saya menyewa sepetak untuk digarap. Hal yang
menyenangkan saya adalah menjaga padi yang bulir buahnya mulai berisi dari
serbuan burung-burung. Dengan membawa bekal makanan, saya bisa menghabiskan
seharian bermain-main di sawah sambil mengusir burung-burung yang mencoba
mencuri padi-padi kami. Di sanalah ada gubuk, rumah kecil tempat kami
beristirahat jika lelah datang. Tak jarang saya tertidur di sana.
Memiliki sawah dan gubuk itu menyenangkan. Bisa bermain dan
beristirahat sungguh menggembirakan. Apakah cita-cita saya itu kemudian
terwujud, tidak dalam arti harafiah, namun terwujud dalam makna symbol. Saya
sekarang menjadi seorang imam, yang tidak memiliki sawah dan gubuk. Namun saya
memiliki ‘sawah’ yang lebih luas untuk digarap. Saya juga memiliki ‘gubuk’ yang
cukup luas untuk orang-orang datang mencari kelegaan. Banyak orang datang
berbagi kepenatan dan menumpang sejanak untuk berisitirahat. Boleh dikatakan,
saya telah membangun sebuah ‘gubuk’ untuk banyak orang yang lelah. Sedangkan ‘sawahnya’
sangat luas bahkan tak terbatas.
Kisah ini sepertinya saya buat-buat belaka. Bahkan saya
tertawa geli ketika mengingat dan memikirkannya. Namun saya yakin bahwa apa
yang kita inginkan dengan jujur di masa kecil dulu, bisa terwujud sekarang ini.
Seperti juga sahabat saya, Nanang. Dia juga telah mewujudkan cita-cita masa
kecilnya dulu. Yaitu menjadi seorang pengamen. Dia tidak menjadi pengamen yang
berkeliling dari rumah ke rumah atau dari satu bis ke bis yang lain. Dia menjadi
pengamen dari satu hajatan ke hajatan yang lain. Bersama ayahnya, dia memiliki
usaha ‘entertainment’ ala kampung dengan menyewakan sound system bagi
orang-orang yang berpesta. Bukankah itu juga mengamen? Bukankah kalau demikian cita-cita
masa kecilnya juga sudah terwujud?
Masa Remaja
Masa remaja Teresa dihabiskan di asrama. Seperti yang saya
tuliskan di atas bahwa Teresa telah menjadi seorang piatu di usia yang sangat
muda, yaitu 11 tahun. Teresa remaja bertumbuh layaknya remaja yang lain, mulai
suka bersolek dan berdandan. Juga buku-buku cerita percintaan mulai dibacanya. Hal
yang wajar bagi remaja. Namun tidak bagi bapaknya. Maka dimasukkannyalah dia ke
asrama suster-suster St. Agustinus. Dengan harapan Teresa mendapatkan
pendidikan yang baik di sana. Rupanya pada waktu itu sangat umum bahwa
orang-orang kaya menitipkan anak gadisnya di asrama agar ‘tidak tercemar’
pergaulan bebas di luar sana. Selama di asrama dia berkenalan dengan Sr. Maria
Briceno. Dengannya Teresa banyak melakukan percakapan rohani, yang kemudian
mendorongnya untuk masuk biara. Tidak banyak hal yang bisa saya katakan
mengenai masa remaja dan masa muda Teresa, selain kehidupannya di asrama.
Ada satu hal yang menarik hati saya, yaitu dia dikatakan lari
dari rumah dan masuk Biara karmel Inkarnasi. Pasti ada alasan yang sangat
mendasar baginya untuk masuk biara. Sayang ia tidak diijinkan oleh orangtuanya,
maka dia melarikan diri dari rumah dan masuk biara. Apakah alasannya yang
begitu kuat itu sehingga memampukan dia untuk kabur dari rumah? Ternyata adalah
neraka. Teresa sangat takut masuk neraka, maka dia ingin menjadi biarawati. Peristiwa
ini menyentuh hati saya, karena hal yang sama terjadi dengan diri saya sendiri.
Bukan perkara takut masuk neraka, tetapi perihal lari dari rumah. Alasan paling
jujur saya masuk seminari adalah lari diri dari rumah. Tentu hal ini tidak pernah
saya ceritakan kepada para romo pembimbingdi seminari. Begini ceritanya.
Kebanyakan remaja, di masa akil balignya senantiasa
menginginkan kebebasan. Mereka biasa memberontak terhadap orangtuanya. Ada yang
berani melakukan dengan frontal, ada yang tidak. Ada yang berhasil pergi dari
rumah, ada yang terpaksa tinggal dengan menggerutu. Saya sendiri mengalami rasa
jenuh tinggal di dalam rumah orangtua. Ada keinginan untuk bebas, untuk pergi
jauh. Tetapi harus ada alasan yang tepat sehingga saya bisa pergi dengan
‘baik-baik’. Kebetulan ada pengumuman masuk seminari. Nyala terang bersinar di
kepala saya. Akhirnya saya temukan alasan itu, alasan untuk pergi dari rumah.
Yaitu masuk seminari.
Jika saya hanya ingin sekolah di kota, pasti orangtua saya
akan menolak. Tidak ada cukup dana untuk membiayai sekolah dan tempat tinggal.
Sedangkan alasan masuk seminari pasti diterima. Pikiran saya sederhana,
‘bagaimana mungkin keinginan luhur bisa ditolak?’. Ternyata usaha inipun tidak
berjalan mulus. Pada awalnya ibu saya keberatan kalau saya masuk seminari.
Beliau menawarkan hal lain agar saya tidak pergi dari rumah. Tetapi saya
bersikeras masuk. Sebuah pemikiran ‘licik’ yang di kemudian hari saya sadari
telah dipakai oleh Allah sendiri. Toh ada banyak kisah dalam Kitab Suci yang
menceritakan hal yang kurang lebih sama.
Ambillah kisah mengenai Yakub yang mendapatkan berkat dari
ayahnya, Ishak (bdk. Kej 27). Berkat itu seharunya diberikan kepada Esau. Namun
Ribka, istri Ishak menghendaki agar Yakublah yang mendapatkan berkat dari
ayahnya. Maka dibuatlah usaha tipu daya. Sesuatu yang sangat buruk. Sebuah
contoh yang tidak baik bagi generasi yang berikut. Namun itulah yang terjadi,
dan itulah kemudian yang dipakai Tuhan. Ada sesuatu yang kerapkali tidak masuk
akal manusia, namun digunakan Allah untuk melaksanakan kehendak-Nya.
Saya menyadari alasan awal mengapa saya masuk seminari. Bukan
karena mendengar panggilan Tuhan. Bukan sebuah kerinduan yang sangat mendalam
untuk bisa melayani Tuhan. Bukan sama sekali. Namun sebuah pelarian. Rasa bosan
di rumah, kemarahan akan sikap ayah yang keras, dan keinginan untuk bisa
bersekolah di kota telah melahirkan sebuah ‘pelarian’.
Alasan itu saya terima, namun di kemudian hari alasan
tersebut saya perbaharui. Ketika memasuki tahun ketiga di seminari, saya
melakukan refleksi. Alasan utama saya masuk seminari muncul kembali. Namun saya
menemukan alasan sederhana yang membuat saya bertahan, “alasan saya masuk
seminari adalah sebuah pelarian, toh bukan pelarian yang buruk”.
Apakah saya sama sekali tidak memiliki keinginan untuk
menjadi imam? Ternyata keinginan tersebut pernah ada. Ketika masih duduk di
bangku sekolah dasar, beberapa kali saya ditanya mengenai kenginan terbesar
kalau sudah besar nanti. Jawaban yang kerap saya berikan adalah, ‘ingin menjadi
pastor’. Bukankah itu luar biasa? Tetapi itu semua lenyap ketika saya masuk
sekolah menengah pertama. Tidak ada lagi keinginan untuk menjadi seorang imam.
Keinginan yang terbesar adalah mencari pacar, yang gagal saya dapatkan sampai
saya lulus SMP. Hanya keinginan dan keinginan belaka. Tidak ada hasilnya.
Hal lain yang mungkin boleh dihitung adalah rasa suka saya terhadap sekolah minggu. Bahkan sejak
rumah saya jauh dari Gereja, saya memiliki kerinduan yang besar untuk bisa ikut
sekolah minggu. Orangtua saya tidak memiliki pengetahuan yang luas mengenai
iman katolik. Mereka, terutama ibu, memiiki kesabaran dalam mengajar berdoa,
tetapi tidak mengenai pengetahuan yang lain. Maka sekolah minggu adalah saat
yang senantiasa saya nantikan. Ada sesuatu yang begitu kuat menarik saya, yang
tidak mampu saya jelaskan. Saya tidak pernah membolos sekolah minggu. Rasanya
sangat rugi kalau sampai saya tidak datang. Saya akan melewatkan kisah-kisah
hebat yang hanya bisa saya dengar di sana. Saya merasakan bahwa melalui sekolah
minggu Tuhan telah menanamkan sesuatu di dalam diri saya. Kenangan manis
sekolah minggu terus melekat di hati.
Masuk Karmel
Teresa masuk Karmel pada usia 20 tahun, dikatakan sebagai
pelarian dari rumah. Sedangkan saya masuk Karmel pada usia 18 tahun menjelang
19 yang bagi saya adalah satu-satunya pilihan. Teresa masuk biara Karmel
Inkarnasi yang berisi 180 suster. Saya masuk biara Karmel Ratu Para Rasul (Regina
Apostolorum) Batu yang berisi 39 frater dan tiga imam serta dua bruder kalu
kekal. Saya adalah yang termuda di sana. Mengapa saya masuk Karmel? Mengapa
saya katakan bahwa itu adalah satu-satunya pilihan? Apakah yang saya cari di
sana? Apakah sekarang saya telah menemukan apa yang saya cari tersebut? Dulu
saya tidak begitu memikirkan hal ini sampai Fr. Kent, MGL menanyakan hal
tersebut kepada saya seusai misa Krisma di Katedral Melbourne.
Mengapa saya memilih Karmel dan bukan tarekat yang lain?
Karena memang hanya Karmellah tarekat religius yang saya kenal pada waktu itu. Pilihan
lain adalah menjadi imam Projo. Tetapi mengapa saya memilih Karmel, alasannya
sederhana, karena persaudaraan. Saya merasa tidak bisa hidup sendiri. Saya
membuthkan komunitas dan saudara. Karmel menawarkan hal tersebut. Maka saya
memilihnya.
Saya tidak mengenal tarekat yang lain, karena di paroki dan
seminari yang ada hanya imam Karmel. Baru di kemudian hari saya ketahui bahwa
ada banyak tarekat di dalam Gereja. Kemudian saya juga mengetahui bahwa di
Karmel bukan hanya ada persaudaraan, tetapi juga ada doa dan pelayanan. Dan
bahwa ketiganya harus dijalankan bersama.
Pertanyaan berikutnya, apakah saya sudah mendapatkan apa yang
saya cari? Apakah persaudaraan yang dulu menarik saya ke Karmel sungguh saya
dapatkan? Saya sulit menjawabnya. Karena persaudaraan adalah sesuatu yang harus
saya usahakan, bukan sesuatu yang begitu saja bisa saya raih. Mengusahakan
persaudaraan itu mesti dilakukan bersamaan dengan mengupayakan hidup doa dan
melakukan karya pelayanan. Semuanya menjadi satu kesatuan. Hidup dalam semangat
persaudaraan itu juga bukan berarti hidup tanpa konflik, yang tidak ada
perbedaan pendapat. Hidup semacam itu tetap ada, dan manusiawi sekali. Bahkan
ada pertengkaran yang membawa kepada permenungan yang lebih mendalam akan makna
hidup bersaudara.
Sekarang setelah 16 tahun hidup di dalam Karmel, 9 tahun
berkaul kekal dan 7 tahun sebagai imam, semangat persaudaraan, hidup doa dan
pelayanan harus terus diupayakan. Apalagi jika diukur dengan kriteria yang
dibuat dalam RIVC, sungguh saya masih berada di tempat yang sangat jauh. Ada
kalimat kecil yang menjadi penghibur, saya masih seorang karmelit, minimal
terus berusaha menjadi karmelit yang baik. Meskipun kriteria baik itu sangat
sulit mengukurnya. Karena kerapkali sangat subjektif.
Memang ada saat di mana semuanya berjalan dengan baik, namun
tak jarang bahwa hal tersebut begitu berat untuk dilakukan. Kesulitan datang
namun bukan menjadi alasan untuk menyerah. Keberhasilan juga bukan alasan untuk
bermegah dan berhenti memperbaiki diri. Ada banyak yang telah saya ketahui,
namun ada lebih banyak hal lagi yang tidak atau belum saya ketahui. Berpuas
diri dan berhenti belajar hanya akan membawa kepada keterpurukan. Tetap rendah
hati dan terus belajar kiranya sangat penting untuk bisa sungguh menghayati
hidup sebagai karmelit.
Pembaharuan
Teresa adalah pembaharu Karmel, bahkan Gereja. Dia hidup pada
jaman di mana kehidupan menggereja sungguh buruk. Biara Inkarnasi di mana dia
tinggal berisi 180 suster. Sungguh tidak kondusif untuk bisa menghayati hidup
Karmel yang sejati. Terlalu bising dan terlalu duniawi. Bahkan tidak jarang
suster-suster yang berasal dari keluarga kaya masuk dengan membawa pembantu. Mereka
memiliki ruang tersendiri dan bisa masak memasak dengan bebas. Suster yang
berpenampilan menarik dipakai untuk menarik banyak tamu yang berkonsultasi,
termasuk Teresa. Keadaan itu makin lama membuat Teresa jengah. Dia menghabiskan
banyak waktu di ruang tamu, berbicara dengan banyak orang, yang menurutnya
tidak berguna sama sekali. Itu hanya mengurangi kesempatan berbicara dengan
Tuhan.
Akhirnya keadaan tersebut tidak bisa ditahan lagi. Setelah
cukup lama hidup suam-suam kuku, Teresa mengambil keputusan yang tegas. 24
Agustus 1562 ia mendirikan biara pertama hasil pembaharuan. Biara dengan jumlah
suster yang tidak banyak, sekitar 12 orang. Juga menekankan kemiskinan dan
kesderhanaan hidup. Biara tersebut dipersembahkan kepada St. Yosef. Kebetulan
Teresa memiliki devosi yang sangat kuat kepada suami Bunda Maria tersebut.
Pengalaman disembuhkan melalui doa St. Yosef membuat cintanya kepada bapa
angkat Yesus ini begitu besar. Atas dukungan Bapa Suci dan pemimpin tertinggi
Ordo, Teresa juga memulai pembaharuan terhdap Karmel pria. Bersama Sr. Yohanes
Salib tugas tersebut membuahkan hasil yang gemilang. Bukan hanya bagi Ordo,
namun juga bagi Gereja universal. Apakah hal tersebut tidak mengalami tantangan
dan kesulitan? Tentu saja ada banyak halangan dan kesulitan, entah dari dalam
diri Teresa, Ordo maupun dari pihak luar. Banyak pemikirannya tidak dipahami,
tidak sekali ia dikatakan sebagai nenek sihir. Toh ia terus berjalan sampai
akhirnya ia mendirikan 17 biara pembaharuan.
Bagaimana dengan saya? Apakah semangat pembaharuan yang saya
bawa? Apakah ada dalam diri saya yang membutuhkan pembaharuan? Jika dijawab
dengan sederhana maka seluruh hidup saya harus diperbaharui. Ada banyak
kebobrokan di sana. Ada banyak hal yang sungguh tidak selaras dengan regula dan
hukum cinta kasih. Ada terlalu banyak hal duniawi yang telah memengaruhi
seluruh hidup saya. Karena ada begitu banyak, seperti rumah yang telah rusak,
tentu menimbulkan kebingunang untuk memperbaikinya. Akan lebih mudah dibongkar
total dan dibangun dari awal. Apakah manusia bisa seperti itu? Apakah manusia
bisa seperti computer yang jika telah terkena banyak virus tinggal diformat dan
diisi program baru? Bukankah manusia tidak seperti itu? Lantas bagaimana
membuat dan memulainya?
Hal dasar yang saya temukan inspirasinya dari Teresa adalah
menemukan arah dasar yang tepat dan mengembalikan arah yang melenceng. Arah
yang melenceng di sini adalah berbagai kehendak dan keinginan. Termasuk di
dalamnya adalah minat-minat. Menyadari tugas dan panggilan dasar seorang imam,
seorang biarawan, seseorang yang diharapkan lebih dalam hal rohani. Apakah yang
diperlukan? Persahabatan yang mendalam dengan Allah. Itulah yang utama dan
perlu. Maka segala hal yang menghalangi hal tersebut mesti disingkirkan. Jika
tidak bisa langsung bisa bertahap. Namun jika bertahap hanya akan menghambat,
maka babat saja dalam sekejap. Teresa juga menyadari kelebihannya, dan ia
memakainya untuk membawa jiwa-jiwa kembali kepada Tuhan. Seperti dia memakai
daya tariknya untuk membawa kembali pastor yang hidup dalam dosa untuk kembali
mencintai Allah.
Ada beberapa kesadaran yang telah saya miliki, kalau boleh
dikatakan sebagai awal sikap membaharui hidup. Pertama, mengindari keriuhan
dunia maya. Dulu saya sangat aktif di dunia maya, yaitu facebook. Meskipun banyak orang berkata mendapat manfaat dari sana,
tetapi itu merugikan saya. Di sana saya banyak sekali berbicara tentang Tuhan.
Setiap hari saya melakukan, dari bangun tidur hingga menjelang tidur. Mulai
dari membaharui status hingga membuat renungan-renungan. Semuanya bersifat sangat
rohani. Semuanya tentang Tuhan. Namun jika ditanyakan lebih dalam, apakah
aktivitas berbicara tentang Tuhan itu sebanding dengan aktivitas saya berbicara
dengan Tuhan? Jawabannya adalah Tidak! Bahkan kesibukan berbicara tentang Tuhan
itu telah menyita sekian banyak waktu untuk berbicara dengan Tuhan. Maka dengan
kesadaran penuh saya menutup akun FB pada tahun 2010, sebuan menjelang hari
ulang tahun.
Kedua adalah minat pribadi. Dulu saya tidak tahu apa yang saya
minati, hampir setiap hal saya sukai. Bidang sosial kemanusiaan saya senang,
seni dan budaya saya masuki, olah raga dan politik juga saya bacai, bahkan
aktivitas fotographi juga saya terjuni. Istilahnya, orang mengatakan apa saja
saya bisa menyambungnya. Namun jika dilihat lebih lanjut, tidak ada yang
benar-benar saya pahami. Semua saya mengerti dengan sangat mendangkal saja.
Juga akan kegemaran saya membeli buku. Ada banyak sekali buku-buku
yang saya koleksi, semua berasal dari berbagai segi. Tidak jelas apa yang saya
kehendaki, semua saya maui, sungguh tidak tahu diri. Ada sastra ada politik.
Ada lingkungan ada Kitab Suci. Ada masalah social ada masalah pendampingan
rohani. Semua saya beli. Ini benar-benar tidak sehat. Maka perlahan-lahan saya mulai
menentukan arah, manakah yang hendak saya daki. Karena kalau saya menghendaki
semua, maka tak satupun yang saya bisa; saya harus menentukan satu yang sungguh
saya suka. Maka berhentilah saya berkeliling toko buku. Jika kebetulan saya di
sana, semakin jelas apa yang saya mau. Hanya buku-buku yang berkaitan dengan
Kitab Suci dan hidup rohani yang saya beli. Ini baru langkah awal sekali. Dan
retret ini adalah bagian dari proses pembaharuan diri tersebut.
Menerima anugerah Tuhan untuk memakainya sebagai sarana membawa
jiwa-jiwa kembali kepada Tuhan adalah langkah pembaharuan yang lain. Dalam
testimony yang ditulis oleh umat KKI Melbourne menjelang kepulangan saya ke
Indonesia, saya menemukan sesuatu yang baru mengenai diri saya. Mungkin bukan
sesuatu yang baru sama sekali, tetapi saya baru saja menyadarinya. Tuhan
mengaruniakan kepada saya kemampuan untuk berbicara/berkhotbah, mengajar juga
menulis. Banyak dari mereka terkesan dengan khotbah saya. Banyak hati yang
tersentuh untuk kemudian berefleksi. Ketika membaca satu persatu tulisan
tersebut terbersit satu pertanyaan, apakah mereka menulis tentang saya atau
tentang orang lain. Sepertinya saya masih jauh dari apa yang dikatakan oleh
orang-orang tersebut. Di sini saya belajar untuk menerima anugerah Tuhan.
Seperti juga Teresa menerima anugerah Tuhan dan memakainya demi kemuliaan
Tuhan.
Semoga saya semakin mengenali diri saya sendiri. Melihat
aneka kelebihan dan kekurangannya. Kemudian semoga saya bisa memakai segala
anugerah Tuhan tersebut demi kemuliaan-Nya. Membawa banyak jiwa kembali kapada
Allah. Terlebih lagi, semoga semua ini membuat saya semakin dekat dengan Tuhan
serta semakin mencintai-Nya.
Pertanyaan
reflektif:
1.
Apakah saya memiiki kerinduan akan Allah di masa kecil, masa
remaja dan pada saat ini? Apakah yang saya lakukan untuk memenuhi kerinduan
akan Allah tersebut?
(Catatan selanjutnya: Ruang pertama)
Comments