KEKECILAN
Sahabat, apa yang Anda bayangkan dengan kata kekecilan? Baju kekecilan? Celana kekecilan? Sepatu kekecilan? Bagaimanakah kalau kita mengenakan sesuatu yang kekecilan? Pasti rasanya tidak enak. Baju kekecilan pasti menyiksa sekali, apalagi sepatu kekecilan, pasti sangat tidak nyaman.
Tetapi yang hendak saya bahas bukan itu. Kekecilan di sini berkaitan dengan hati, berkaitan dengan pikiran. Bukan juga soal berkecil hati, atau pendek pikir, bukan juga itu. Lalu mengenai apa?
Tetapi yang hendak saya bahas bukan itu. Kekecilan di sini berkaitan dengan hati, berkaitan dengan pikiran. Bukan juga soal berkecil hati, atau pendek pikir, bukan juga itu. Lalu mengenai apa?
Kekecilan yang saya maksdukan adalah nilai dari sesuatu yang kecil. Siapakah yang kecil itu? Ya diri kita. Kalau menggunakan bahasa asing dikatakan SMALLNESS. Dan saya bingung hendak menerangkan makna smallnes tersebut, maka saya menggunakan kata kekecilan.
Yang kecil itu indah
Saya sudah lama memahami bahwa yang kecil itu indah. Orang mengatakan small is beautiful. Pertanyaan lanjutannya adalah, kecil yang bagaiamanakah yang indah itu? Kecil yang seperti apa? Apakah semua hal yang kecil? Apanya yang kecil? Nah, saya pun semakin bingung.
Mari kita kembali ke ungkapan kekecilan. Kekecilan, seperti saya katakan bukan soal ukuran. Tetapi soal sikap. Sikap yang kecil. Kalau saya boleh meminjam kata yang lain, sikap yang sederhana, sikap yang tulus, sikap yang polos.
Ketika kita berjumpa dengan orang yang sederhana, yang tulus dan lurus pemikirannya, tidak berlapis-lapsi; biasanya kita akan senang. Tetapi kalau berjumpa dengan orang yang rumit pribadinya, tidak jelas pangkal ujungnya, selalu berkembang kharakternya, tidak pernah sama arah bicaranya; kita pasti bingung.
Maka, yang kecil itu indah. Yang sederhana, yang polos, yang tidak rumit, yang apa adanya, itulah yang indah. Apakah Anda pernah mengunjungi candi Borobudur? Candi kebanggan bangsa Indonesia? Saya beberapa kali ke sana. Ini yang hendak saya ceritakan; kalau kita menyusuri detail candi dari tingkat bawah sampai tingkat atas, kita akan menjumpai kenyataan seperti ini. Pada bagian bawah, dinding candi itu berisi ukiran yang sangat ramai. Gambaran kehidupan manusia. Semakin ke atas, ukiran pada dinding candi itu semakin berkurang, pada pada puncak stupa tidak ada lagi ukiran. Pada puncak candi yang ada adalah kepolosan.
Tuhan melihat yang kecil
Manusia melihat kerumitan, Tuhan melihat kesederhanaan. Mari kita belajar dari sikap Tuhan yang memilih Daud sebagai raja. Daud itu secara fisik bukan orang gagah, tetapi hanya remaja penggembala kambing. Masih anak-anak, amsih sekya kata orang jakarta. Tetapi dia dipilih oleh Tuhan.
Ternyata Daud itu bukan hanya fisiknya yang kecil, namun hati dan pikirannya juga kecil (baca sederhana). Daud itu sederhana pikirannya. Kehendaknya hanya menjalankan perintah Tuhan.
Bahkan hari ini, ketika dia mengalahkan Golliat yang berbadan besar, Daud mengalahkan dalam nama Tuhan. Dia tidak membawa senjata hebat, dia hanya bersenjata ketepel dan keyakinan bahwa Tuhan membantu dia. Dia memnita Saul merestui agar Tuhan juga menyertai. Betapa sederhananya keyakian itu.
Nanti, Daud menjadi raja yang hebat. Nanti, Daud jatuh ke dalam dosa. Tetapi Tuhan tetap mencntai Daud karena kepolosan hati Daud. Daud segera mengaku dosa. Dia bersujud di hdapan Tuhan dan mengakui semua dosanya. Kesederhanaan hati inilah yang meruntuhkan hati Tuhan.
Daud menyadari kekecilan dirinay di hadapan Tuhan. Dia memang raja besar, tetapi dia menajdi raja karena dipilih oleh Tuhan. Tanpa Tuhan dia tidak ada apa-apanya. Maka semuanya dia kembalikan kepada Tuhan. Juga ketika dia berdosa, dia mengaku di hadapan Tuhan.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita juga menjaga kepolosan hati di hadapan Tuhan? Ataukah kita masih memiliki hati yang berlapis-lapis di hadapan Tuhan? Bukankah Tuhan langsung melihat hati kita? Melihat kesederhanaan kita? Kalau hati kita dipenuhi ambisi; apalagi kalau ambisi itu mengatasnamakan Tuhan; jelas Tuhan tidak akan senang.
Sekali lagi, sudah jelas bahwa Tuhan melihat hati, tetapi kita masih meriias diri dan tidak memerhatikan penampilan hati. Sudah jelas Tuhan melihat kesederhanaan hati, tetapi kita semakin memperumit tampailan hati.
Seperti catatan saya ini. Saya kira awalnya akan sederhana, nyatanya malah mbulet tidak karuan. Itu tanda sederhana bahwa cara berpikir saya juga belum sederhana. SAya belum menghayati kekecilan saya. Maka kalau kalian bingung membaca catatan ini, bukan salah Anda, tetapi jelas salah saya yang tidak mampu menampilkan sesuatu dengan sederhana.
Semoga Tuhan memebrkati Anda.
Hong Kong, 22 Januari 2014
Comments
Radiman, monggo dishare, bagaimana keadaan keluarga? Baik dan sehat khan ya?