Makan Tuh CINTA
Entah kebetulan atau tidak, tetapi obrolan kami di meja makan
dengan obrolan saudari-saudari yang menunggu momongannya di halaman gereja kok
sama. Yaitu tentang sebuah pengorbanan.
Ceritanya begini, pastor kepala paroki mengeluh bahwa kadar gula
darahnya memiliki kecenderungan tinggi, padahal menurut beliau, beliau sudah
mengurangi banyak sekali makanan yang manis-manis. Lalu kami yang muda-muda ini
mulai gentian memberi nasihat dan petuah. Saya sebagai yang paling muda adalah
yang paling kencang memberi petuah. Kapan lagi memberi petuah pastor paroki
yang usianya hampir dua kali lipat dengan saya.
Mulai dari melarang makan buah mangga. Kebetulan tukang masak kami
membeli 5 biji buah mangga. Saya katakan, “buah ini kandungan gulanya tinggi
sekali, jangan pernah tergoda memakannya.” Beliau menurut, karena toh masih ada
buah yang lain.
Lalu tadi pagi saya mulai membongkar kulkas. Satu persatu saya
tunjukkan kandungan gula yang ada dalam makanan tersebut. Roti yang biasa kami
makan, meski disebut roti tawar, kandungan gulanya adalah 6.6, lalu selai
kacang, selai blueberry, madu yang beliau suka, dll. Sebagai penutup, saya
meminta beliau menemui dokter yang lebih tahu, atau menemui ahli gizi untuk
berkonsultasi perihal makanan yang boleh
dikonsumsi dan mana yang menjadi pantangan.
Pastor paroki agak kurang setuju dengan usulan saya untuk
bertanya kepada dokter atau bertanya kepada ahli gizi. Bahkan beliau berkata,
“aku percaya padamu, mana yang boleh dimakan dan mana yang tidak boleh
dimakan.”
Hadew, ini buah simalakama. Karena pada dasarnya saya suka
makan, jadi tidak bisa menjadi pedoman. Maka saya pun mengeluarkan senjata
andalan. “Sedikit berkorbanlah, berkorban waktu untuk bertanya kepada dokter
atau ahlinya.” Lalu saya pura-pura cepat pergi.
Bagaimana dengan obrolan cece-cece atau mbak-mbak yang nongkrong
di depan gereja? Apakah saya juga ikut nimbrung nggosip? Tentu saja tidak.
Bahkan mereka tidak menyadari bahwa saya mengerti apa yang mereka obrolkan.
Begini salah satu contoh obrolan mereka.
“Loukungku iku lho
mbak, kok yo nemene, gak ngerti pengorbananku blas. Duwet sepiro-piro mesti
entek. Karepku ki yo sitik edeng, ojo opo seng dari karepe mesti dituruti.”
Temannya menimpali, “lha
loukung sampeyan kerjo opo, mbak?” dan seterusnya. Oh iya arti percakapan
itu kurang lebih, si embak ini agak kecewa dengan suaminya karena suaminya
kurang bisa menahan diri, kurang bisa berkorban. Apa saya yang diingini mesti
terpenuhi.
Lantas, apa kaitan perbincangan saya dengan pastor paroki dengan
obrolan cece-cece tadi? Seperti yang sudah saya singgung, ini soal
berkurban/berkorban. Yah, ini akan sedikit seperti menjawab soal ujian, “apakah
kurban/korban itu?” Tak apalah saya catatkan sedikit. Kalau kalian sudah merasa
akan bosan dengan catatan ini, jangan lanjutkan membaca. Kalau penasaran, ya
silahkan saja diteruskan.
Mungkin secara gampang orang akan membedakan antara kata kurban
dan korban. Meskipun sebenarnya sama saja, hanya rasa bahasanya itu berbeda.
Misalnya, “banyak teman-teman di desa menjadi korban penipuan agen PJTKI”.
Korban artinya menjadi pihak yang dirugikan bukan karena keinginan sendiri.
Rasa bahasa yang ada adalah negatif.
Sedangkan kata kurban memiliki rasa yang lebih positif.
Contohnya, “Pak Kwek memberikan 5 ekor sapi sebagai kurban persembahan”. Di
sini ada unsur religius di dalamnya bahwa sesuatu yang “dikurbankan” itu
adalah sesuatu yang baik. Sesuatu yang mesti dilakukan untuk tujuan yang lebih
baik.
Kalau misalnya membandingkan dengan kata yang dipakai dalam
bahasa Inggris, mungkin akan ditemui arti yang sedikit jelas. Di sana, minimal,
ada tiga kata, sacrifice, victim, atau offering. Sacrifice memiliki makna yang dekat dengan hal-hal yang
religius. Misalnya mengorbankan binatang dalam upacara keagamaan. Atau
mengorbankan diri untuk tujuan tertentu. Sesuatu yang disadari segala
risikonya.
Offering, adalah sesuatu yang dikurbankan, yang dipersembahkan
kepada yang ilahi. Saat ini yang menjadi persembahan adalah benda-benada atau
uang. Tetapi pada zaman dulu bahkan manusia juga menjadi persembahan.
Sedangkan victim mestinya sudah sangat jelas maknanya. Yaitu
orang yang menjadi korban. Tidak pernah
victim menjadi bagian dari upacara religius. Misalnya korban KDRT tidak bisa
dikatakan sebagai persembahan kepada Tuhan agar rumah tangga baik-baik saja,
maka dipukuli diam saja. Memberikan diri sepenuhnya menjadi sansak pasangan
yang gila.
Hadew, kok catatan ini rasanya benar-benar kering. Sudahlah,
kepalang tanggung, saya teruskan saja. kalau kalian ingin berhenti membaca,
sudah saya persilahkan dari tadi. Sekarang saya akan menghubungkan perkatan
“korban” yang saya sampaikan kepada pastor paroki dan yang dikatakan mbak-mbak
di depan gereja.
Korban di sini bukanlah victim.
Bisa sesuatu yang dekat offering tetapi
lebih kepada sacrifice. Saya meminta
kepada pastor paroki untuk berkorban sedikit waktu untuk memeriksakan diri
kepada dokter. Berkorban juga dalam hal menahan diri untuk tidak makan
makanan-makanan yang dia sukai agar gula darahnya tidak naik. Pastor paroki
harus melakukan beberapa sacrifice demi mendapatkan kesehatan yang baik.
Demikian juga dengan kata korban yang diucapkan cece tadi. Dia
berharap suaminya bisa menahan diri sejenak untuk tidak memenuhi semua
keinginannya agar sesuatu yang lebih besar, lebih baik bisa diraih. Demikianlah
kira-kira.
Oh iya, kalau itu berkaitan dengan relasi suami istri, atau
relasi pertemanan, atau juga persahabatan, manakah yang tepat untuk dipakai?
Yang pasti jangan pernah menjadi atau menjadikan pasangan kita sebagai victim.
Anda juga jangan mau menjadi victim. Anda harus lapor polisi.
Tetapi dibutuhkan sacrifice dalam menajlin relasi yang baik.
Kata teman saya, orang kalau mencintai akan menyukai apa disukai oleh
pasangannya dan menjauhi apa yang tidak disukai oleh pasangan yang sangat
dicintai.
Contoh, pasangan kumbang dan mawar. Kumbang tentu saja si lelaki
dan Mawar adalah si perempuan. Mereka saling mencintai. Mawar tidak suka bau
rokok, maka pastilah si Kumbang tidak akan merokok kalau berada di dekat Mawar
atau bahkan pelan-pelan akan berhenti merokok. Sebaliknya Kumbang suka sekali
nasi goreng, maka meskipun Mawar tidak pandai masak, dia akan belajar membuat
nasi goreng. Bener begitu khan? Hei, iya kalian yang berkasih-kasihan itu,
bener khan?
Bagi si Kumbang, berhenti merokok itu bukan victim, tetapi
sebuah sacrifice karena dia sangat mencintai Mawar. Demikian juga dengan
Mawar, usaha kerasa belajar memasak,
belajar membuat nasi goreng yang enak bukanlah victim, tetapi sebuah sacrifice
agar relasi mereka makin hangat dan mesra.
Berkoban dalam menjalin hubungan, dalam keluarga, itu tak ubahnya perjalanan mendaki gunung; akan sakit di kaki, capek, lelah, tapi akhirnya menikmati keindahan yang warbiasah, dan kita akan berseru, wooowww..."
Tetapi ada yang bertanya, “sampai kapan aku harus berkorban? Sampai kapan menahan sakit? ini sudah bukan lagi lecet di kaki, ini sudah patah jari. Sampai kapan?”
Ini bisa dijawab dengan singkat namun bisa juga dengan panjang. Kalau dijawab
singkat, “sampai cinta itu tidak ada lagi.” Atau “sampai pasangamu mati”. Kok
rasanya kasar ya? Terkadang kejujuran itu memang menyakitkan. Tetapi satu hal
yang pasti, kalau memang saling mencinta, berkorban demi pasangan itu tidak
begitu terasa. Kecuali cinta itu telah lama sirna.
Kejujuran yang kedua adalah, cinta ada di rasa bukan di kata. mask dikatakan seribu kali sehari kalau tidak diwujudnyatakan dia tidak akan pernah sampai di dada yang bisa dirasa.
Ah, cukup dululah, ini nanti bisa melebar ke mana-mana dan saya bisa
dilempari pisang goreng tetangga sabelah sambil teriak, "makan tuh cinta". Khan saya jadi harus berkorban memakannya, berkorban
menjadi gendut. Ini sebuah pengorbanan.
Salam.
Comments