Membantu JIWA-JIWA


Setiap orang niscaya memiliki pengalaman memberi juga menerima, menolong juga ditolong, membantu juga dibantu. Sejauh sebagai manusia, tak ada satupun yang lepas dari tindakan memberi dan menerima. Bahkan Yesus pun sebagai manusia juga menerima banyak bantuan dari orang lain.
Memberi, membatu, dan menolong tentu saja sebuah tindakan mulia. Tiada yang akan membantahnya. Lebih mulia lagi ketika tindakan itu dilakukan dengan hati yang tulus, tanpa niatan mendapat imbalan atau bahkan sekadar pujian.
Kemarin saya bercerita mengenai Dr. Prajak Arunthong yang tenar dalam sebuah iklan seluler di Thailand. Pengalaman menerima kebaikan telah membuatnya menjadi dokter yang juga ringan tangan dalam membantu mereka yang kesusahan.
Membantu sesama bahkan ketika sesama itu tidak tahu bahwa kitalah yang membantunya, akan memberikan kegembiraan yang lebih ketika melihat mereka tersenyum bahagia, hati kitapun merekah. Setidaknya itu yang saya alami ketika membantu sesama, ketika mereka tidak tahu bahwa kita membantunya. Kegembiraan itu terasa lebih indah.
Bukan berarti ungkapan terimakasih tidak diperlukan. Kalau saya menerima bantuan, saya akan sangat senang kalau bisa mengucap terimakasih kepada siap yang membantu saya. Kalau saya tidak tahu siapa yang memberi, saya percaya mereka adalah kepanjangan tangan Tuhan yang menolong saya. Dan ungkapan syukur kepada yang Kuasa sebagai imbalan rasa terimakasih yang bisa saya haturkan.
Di antara semua kegiatan membantu sesame yang sungguh kesulitan, ada satu hal yang dengan senang hati saya buat, mendoakan arwah. Mereka adalah saudara-saudari yang sudah tidak bisa menolong diri mereka sendiri. Kesempatan untuk menolong diri sendiri sudah tidak ada. Pemurnian yang mereka perlukan sungguh datang dari saudara-saudarinya yang dengan tekun rela memanjatkan doa bagi mereka, bagi pengampunan dosa-dosa mereka.
Terkadang kita bertanya, sampai kapan mesti membantu mereka, mendoakan mereka? Saya tentu tidak bisa menjawab harus sampai kapan mendoakan mereka. Setidaknya senyampang kita bisa mendoakan, mengapa tidak kita doakan. Toh berdoa tidak meninggalkan kerugian apa-apa. Paling kalau mau dihitung dengan waktu, hanya butuh beberapa menit. Atau kalau dalam sebuah Ekaristi hanya memerlukan waktu setengah jam saja. Tidak pernah rugi.
Bagaimana kalau mereka sudah bahagia bersama Bapa di surga? Kalau mereka sudah berbahagia bersama Bapa pastilah mereka tidak membutuhkan doa-doa kita lagi. Bahkan mereka akan menjadi pendoa bagi kita, mereka yang telah berbahagia itu akan gentian membantu kita. tetapi kita tidak tahu kapan. Maka daripada pusing dengan persoalan sampai kapan, mengapa tidak mendoakan saja. sekali lagi, tidak ada ruginya.

Bagaimanakah mendoakan mereka dengan benar? Tentu sebagai sebuah doa, kalau itu dilakukan dengan cara yang benar dan  sikap hati yang benar, semua doa adalah baik. Hanya saja berdoa bagi arwah itu memiliki keunikan sendiri. Kalau ingin doa-doa kita itu berbuah, mesti dibarengi dengan “sedekah”. Sedekah ini bukan sekadar sedekah. Baiklah saya beri keterangan sedikit.
Ketika kita mendoakan “arwah”, sejatinya kita menggantikan posisi “orang tersebut” di hadapan Allah. Membayar apa yang dahulu lalai dilakukan oleh mereka. Ketika mereka dulu lalai berbagi, kita membayarkannya, ketika mereka dahulu lalai mati raga, kita membayarkannya, ketika mereka dahulu lalai berdoa dan ikut Ekaristi, kita menggantikannya.
Maka, berdoa bagi arwah mesti dibarengi dengan tindakan-tindakan nyata atas nama mereka. Maka sebenarnya, mendoakan satu intensi untuk satu arwah akan jauh lebih efektif. Di kesempatan lain mendoakan yang lain lagi.
Hal kedua, akan lebih baik kalau doa untuk arwah itu dilakukan oleh imam. Karena dia mengorbankan Ekaristi. Dia bisa mengorbankan untuk beberapa intensi. Sedangkan kita yang hadir dalam perayaan Ekaristi itu mesti melakukan “tindakan iman” seperti yang saya sebut di atas.

Bagaimana dengan mendoakan arwah pada tanggal 2 November? Apa bedanya kalau saya mendoakannya pada hari-hari yang lain? Ada yang sama da nada yang berbeda.
Pada tanggal 2 November, seluruh Gereja memiliki satu intensi yang sama, mendoakan para arwah. Tentu lebih “kuat” jika dibandingkan dengan yang dilakukan oleh satu orang atau sekelompok orang saja. Maka, tanggal 2 November adalah kesempatan yang sangat baik untuk mendoakan arwah, karena seluruh Gereja melakukan hal yang sama. Tetapi mendoakan arwah pada hari yang lain juga tetap baik dilakukan.

Catatan:
Ada orang yang menyerahkan diri untuk mendoakan arwah. Tentu sangat baik sekali, membantu sesama yang tidak bisa menolong dirinya sendiri. Sebuah tindakan yang sangat terpuji. Meski demikian haruslah hati-hati. Mengapa?
Karena ketika kita mendoakan arwah, ada yang tidak rela. Setan tidak rela bahwa “calon kawan” mereka akhirnya bergabung dalam kemuliaan  bersama Bapa. Mereka akan berusaha mengganggu. Maka kita mesti menyiapkan diri, membentengi diri dengan “senjata rohani”.
Jangan mengharapkan keuntungan ekonomis dan popularitas kalau memang niatan kita sungguh membantu jiwa-jiwa tersebut. Bahkan kerapkali akan dianggap aneh. Itu risiko yang mesti dijalani dengan senyuman. Semakin banyak senyum, akan semakin kita dianggap aneh. Apalagi kalau senyum-senyum sendiri.

salam

Comments

Tanpa bermaksud kepo, sebenernya kepingin tau juga pengalaman-pengalaman Romo saat mendoakan arwah. Apakah ada suatu pengalaman tertentu yg menarik? Terima kasih.

Popular Posts