Perjalanan Panjang




(From Samarinda with Love part 1 - Journey of Kuliner in Borneo part 5)
Perjalanan Panjang
Perjalanan dari Banjarmasin menuju Samarinda merupakan perjalanan darat terpanjang kedua yang pernah aku lalui. Pertama kali dulu tahun 1999 ketika masih frater kami melakukan promosi panggilan di Jakarta, kami naik bis Malang-Jakarta pergi-pulang. Saya tidak tahu mana yang lebih jauh, mungkin perjalanan kali ini bisa lebih jauh, seandainya seluruh perjalanan darat saya mulai tanggal 1 kemarin hingga tanggal 13 nanti pastilah sangat jauh.
Senyampang masih bisa melihat, karena mentari masih bersinar, maka aku nikmati pemandangan di sepanjang jalan. Yang menarik adalah melihat Bandar udara Banjarmasin, dari bis terlihat jelas landasan pacu dan pesawat yang sedang landing. Rupanya arahnya sejajar dengan jalan raya. Tiadanya pohon tinggi yang rindang dan hanya pagar kawat sebagai pembatas membuat kami bisa melihat ruas landas pacu itu.
Selanjutnya perjalanan ini menjadi begitu monoton. Apalagi ketika hari mulai gelap. Tak ada yang bisa dilihat di sisi jalan, sehingga saya tidak tahu melewati kota apa saja. Saya berusaha tidur namun sulit karena guncangan bis yang begitu kuat. Meski demikian saya sempat terlelap beberapa saat. Ketika dini hari menjelang, bus berhenti di sebuah warung untuk memberi kesempatan penumpang makan. Saya memilih untuk tetap berada di bis melanjutkan tidur. 
Ketika hari hampir menjelang fajar kami sudah akan sampai di kota Balikpapan. Hal ini tidak pernah saya duga dan di luar rencana perjalanan saya. Tatkala melihat peta, yang saya lihat adalah jalur lurus dari Banjarmasin ke Samarinda. Saya tidak pernah tahu sebelumnya bahwa rutenya mesti melewati Balikpapan, bahkan mesti melewati laut. 
Saya keheranan ketika bis berhenti cukup lama, maklum saya baru terjaga dari tidur. Rupanya bis ini sedang antri untuk memasuki kapal fery guna menyeberang ke Balikpapan. Saya tidak tahu fery itu untuk menyeberangi sungai atau selat, yang pasti jaraknya cukup lebar. Setelah keluar dari dermaga sang fajar sudah menyiratkan sedikit warna merah di timur. Sekitar jam enam bis sampai di terminal Balikpapan. Banyak penumpang yang turun di sana dan hanya sedikit saja yang melanjutkan perjalanan ke Samarinda. 
Mentari yang sudah menyiratkan warna merah itu ternyata urung terbit. Mendung yang bergulung-gulung menghalangi sinarnya hingga rasanya siang tidak juga datang. Jalanan dari Balikpapan ke Samarinda cukup bagus sehingga bis melaju dengan kencangnya. Meski tidak lagi banyak guncangan, aku tidak berminat untuk tidur. Pemandangan di kiri bis lebih menarik perhatian. Saya berharap bisa melihat kota Kutai Kertanegara yang terkenal sebagai kabupaten paling kaya di Indonesia. Saya terus bertanya apa keistimewaannya. Tidak banyak yang sungguh menyolok mata, semua serba biasa. Mungkin PAD-nya yang besar sehingga disebut kabupaten terkaya di Indonesia. Jam delapan lewat kami memasuki Samarinda dan sampai di terminal Samarinda Seberang. Sungguh sebuah perjalanan darat yang panjang.
Rivalitas
Ketika berangkat menuju Samarinda saya sudah mengontak keluarga yang akan saya tinggali selama saya di sana. Saya belum kenal sebelumnya dengan keluarga ini. Yang saya tahu adalah anaknya dan sewaktu saya berada di Sampit saya mengontak anaknya dan melalui bantuan Pak Windi saya bisa menginap dan melakukan promosi sekolah di sana.
Rupanya kota Samarinda memiliki dua terminal bis, maka mereka tidak bisa langsung menemukan saya. Bahkan ketika mereka bertanya saya turun di terminal mana tidak bisa saya jawab. Begitu turun saya mencari tahu terminal apa saya turun. Setelah tahu di mana posisi saya baru mereka meluncur menjemput saya.
Selang sekitar 30 menit mereka datang. Suami istri Linda. Keluarga muda ini hanya memiliki dua anak. Yang pertama duduk di kelas 2 SMA, ia bersekolah di tempatku maka aku bisa menginap di rumahnya. Adiknya duduk di kelas 2 SMP. Seperti yang saya singgung sebelumnya, saya tidak kenal mereka. Maka pengenalan berikutnya merupakan kejutan-kejutan yang saya rasakan sebagai rahmat Tuhan.
Ibu Linda rupanya anggota atau mungkin ketua yayasan Sunodia yang memiliki sekolah dari TK hingga SMA Sunodia di Samarinda. Kebijakan yayasan menegaskan bahwa mereka tidak menerima SMA dari luar untuk melakukan promosi di SMP mereka. Hal ini tentu saja mengejutkan saya, karena tujuan saya ke Samarinda adalah untuk melakukan promosi sekolah. 
Tentu saja saya mesti mengikuti kebijakan yayasan, maka saya tidak melakukan promosi di sekolah mereka. Yang ‘mengharukan’ adalah mereka mengijinkan saya menggunakan rumah mereka untuk melakukan presentasi sekolah. ‘Persaingan’ untuk mendapatkan murid rupanya tidak menghalangi keramahtamahan. Mereka menjamu saya, mengantar ke manapun saya pergi, bahkan dalam beberapa hal mereka juga membantu saya mempromosikan sekolah. Putrinya bersekolah di tempat saya bekerja, tentu saja ia tidak akan menjelekkan, namun akan menunjukkan sesuatu yang objektif. 
Hal itu saya tangkap sebagai sebuah sikap persaingan yang sehat. Sebagai anggota yayasan ia mesti menjalankan aturan yayasan, namun sebagai pribadi ia juga memilih yang terbaik. Boleh dikatakan mereka bersikap professional. Mampu memilah urusan keluarga dan pekerjaan. 
Keluarga-keluarga itu
Selama tiga hari di Samarinda saya berjumpa dengan banyak keluarga, terutama orangtua siswa-siswi yang belejar di DEMPO. Hari pertama saya telah berjumpa dengan orangtua Suharyono. Ibu ini bercerita banyak hal mengenai anaknya dan keluarganya. Dulu saya hanya mengenal anaknya dan memberi penilaian terhadap anaknya sebagai pribadi yang kurang baik. Namun setelah berjumpa dan berbicara sendiri dengan orangtuanya kesimpulan saya itu semestinya berubah.
Malam hari kami dijemput oleh orangtuanya Aris. Bersama mereka turut serta orangtuanya Jessika Halim. Kami pergi dengan satu mobil saja meskipun kami pergi berenam, saya ayah dan ibunya Aris, ibunya Suha, ibunya Njes, dan Bu Linda. Ayahnya Seni tidak ikut karena kuliah sedangkan orangtuanya Hans sedang pergi ke Malang karena ada saudara yang sakit.
Kami pergi ke rumah makan special ikan. Berhubung saya pemakan segala, maka saya ikut saja terhadap setiap menu yang mereka pesan. Selama makan kami banyak mengobrolkan mengenai anak-anak mereka, entah yang sedang sekolah di DEMPO atau yang masih SMP. Rata-rata orangtua ini hanya memiliki dua anak. Kebanyakan dari mereka takut jika kedua anaknya akan meninggalkan mereka. Ada yang tidak rela jika anak laki-lakinya pergi jauh, ada yang tidak rela jika anak perempuannya yang pergi jauh, namun ada yang senang hati jika dua-duanya pergi untuk belajar mandiri.
Bertemu dengan keluarga-keluarga ini sungguh menyenangkan. Dari pembicaraan dengan mereka saya menemukan banyak hal dan pada akhirnya bisa memahami mengapa anak mereka menjadi seperti itu. Pola pendidikan yang meraka terapkan dan latar belakang lingkungan mereka telah menjadikan mereka seperti itu. Mengapa Njes begitu tomboy tidak lepas dari pola pembinaan yang memberi kebebasan dan pola pertemanan. Sejak kecil selalu bergaul dengan anak laki-laki membuatnya tomboy, juga warisan gen orangtuanya yang memang aktif dalam banyak bidang. Demikian juga dengan Aris, Suha, Seni, Yudit, dll. 
Hari kedua saya mengadakan presentasi kepada keluarga-keluarga yang mendaftarkan anaknya di DEMPO. Saya mencoba memaparkan kondisi sekolah sealami mungkin. Aspek positif dan negative yang ada saya coba untuk paparkan dengan alami agar tidak Nampak berat sebelah. Setelah preesentasi saya bersama dengan Ibu Linda meluncur ke tempat kerjanya orangtua Suha. Setelah melakukan kontak melalui telefon berkaitan dengan kondisi Suha di Malang saya berjanji untuk bicara secara langsung. Ada banyak hal yang ingin saya ketahui dan berikan. Malam harinya saya pergi dengan orangtua yudit
Siapa yang mesti berubah
Perjumpaan dengan orangtua Suharyono sungguh mengubah cara pandang saya terhadap perilaku anaknya. Berbagai masalah keluarga yang muncul sejak awal pernikahan membuat kondisi keluarga mereka tidak bisa dikatakan ideal. Bahkan hal itu sudah bermula dari pola pembinaan dalam keluarga sejak kecil. Hidup dimanja dengan banyak fasilitas dan perlindungan yang extra protective membuat ia tidak bisa berkembang menjadi pribadi yang seimbang. Bahkan ketika mesti mengemban tanggungjawab sebagai seorang ibu, ia tidak bisa menjalankannya dengan semestinya.
Tawaran di awal pernikahan yang tidak terealisasi serta istri yang kurang bisa mengatur rumah membuatnya tidak bisa menjalankan tugas sebagai seorang suami yang baik. Secara naluriah ia mendambakan seorang istri yang baik, yang bisa menata rumah dengan baik, lebih dari itu bisa menjaga penampilan dengan baik. Maka ketika semua itu tidak ditemukan di rumah ia mencari di tempat lain. Ketika ada pribadi yang bisa menawarkan dan memenuhi semua dambaan hati, tak kuasa ia untuk tidak menambatkan hatinya padanya, meski cibiran orang sekota menerpa. 
Kondisi seperti itu sudah menjadi rahasia umum. Maka anak-anak yang hadir dalam keluarga itu juga mesti menanggungkan dampak dari kondisi keluarga yang semacam itu. Secara tidak sadar mereka kerap mencari kompensasi yang oleh banyak orang dianggap perilaku nakal. Mereka juga kerap menuntut/memiliki permintaan yang melebih kemampuan orangtuanya. Toh orangtuanya tidak bisa menolak karena mereka sejatinya tidak bisa memberi teladan yang baik bagi anak-anaknya.
Saya tidak yakin bahwa situasi semacam ini hanya ada dalam satu keluarga. Bahkan saya sangat yakin bahwa banyak keluarga yang mengalami masalah serupa atau setara dengan mereka. Akibat yang nyata adalah perilaku yang kerapa dikategorikan nakal akan disematkan pada anak-anak mereka. Bahkan semakin lama saya semakin yakin bahwa anak-anak yang kerap membuat maslah di sekolah adalah anak-anak yang di rumahnya kurang mendaoatkan teladan yang baik dan kurang mendapatkan kasih saying yang selayaknya.
Siapa yang mesti berubah jika kondisinya adalah seperti ini? Semua mesti berubah. Orang tidak bisa menuntut pribadi lain untuk berubah. Diri sendiri kitalah yang mesti berubah. Jika istri mau berubah, suami mau berubah, dan anak-anak mau berubah, maka keluarga akan sangat menyenangkan dan sangat nyaman untuk ditinggali.
Pesan:
1. Bekal utama untuk menepuh perjalanan panjang adalah hati yang riang. Jalan berlubang, perut yang lapar tidak akan menjadi kendala jika hati riang. Bahkan pantatpun tidak akan menjadi panas, mata tidak akan lelah jika hati riang berbunga-bunga.
2. Bersaing secara sehat adalah kemauan untuk jujur dan terbuka tanpa menyimpan dendam dan sakit hati. 
3. Semakin kita bertemu banyak manusia, semakin kita menjadi manusia. Semakin kita mengenal banyak keluarga, semakin kita mengenal pola perilaku. Don’t judge the books by the cover. Memahami dan menyelami banyak pribadi akan membuat kita tidak akan mudah menghakimi. Dannnn……. menghakimi itu sampai kapanpun tidak ada faedahnya.
4. Menuntut orang lain selalu lebih mudah dibandingkan menuntut diri sendiri. Memulai perubahan dari diri sendiri selalu akan membuahkan perubahan yang sebenarnya dari pada selalu menuntut orang lain untuk berubah.

Mbatu, 31 Januari 2009 


Comments

Popular Posts