Self HEALING : Romo SAKIT apa sih?
Romo sakit apa?
Pertanyaan itu saya dapat karena menulis catatan “self healing”.
Bukan soal judulnya, tetapi soal isinya yang menekankan bahwa catatan ini
secara khusus saya tujukan untuk diri saya sendiri. Karena catatan ini adalah
bagian dari proses yang sedang saya lakukan dalam menyembuhkan diri. Lalu ada
yang #kepo bertanya “Romo sakit apa?” Sebenarnya biasa saja sih, hanya saya
angkat di sini untuk melihat lebih jauh dan mungkin lebih dalam perihal sakit
yang sedang saya geluti.
Sakit itu tidak perlu dicari karena ia datang sendiri. Juga ketika
sakit itu adalah sakit batin, luka jiwa, bahkan yang sudah berkarat sekalipun.
Dia tidak perlu dicari, dia akan dengan sendirinya menampakkan wajah pahit
menusuknya. Pahit dan menusuk dengan begitu sadisnya.
Oh iya, aneka sakit itu akan kita jumpai tatkala kita meniatkan untuk
bisa hidup sehat. Sebaliknya kalau kita tidak peduli dengan kesehatan jiwa,
juga raga, kita tidak akan pernah menemukan luka-luka itu. Kalau tidak percaya mari
kita bandingkan dengan melihat kondisi rumah kita. Mengapa harus lihat rumah?
Sudahlah ikuti saja.
Kalau kita peduli dengan kebersihan rumah, maka kita akan dengan
mudah menemukan aneka kotoran yang beterbangan, yang melapisi buffet-bufet
hati, bertengger di korden jendela-jendela jiwa yang lama tak terjamah;
nyalakan saja lampunya maka akan kita temukan aneka sampah, minimal debu yang
mengendap entah berapa abad.
Bagi yang peduli dengan kebersihan, debu tipis saja sudah menjadi
kotoran yang harus segera dienyahkan. Bagi yang tidak peduli? Debu menumpuk
setebal 5 centi saja malah akan dijadikan alasan untuk berkebun jagung. Bagi
yang peduli kebersihan, menata rumah, menyapu dan mengelap apa yg kotor adalah
hal yang wajib. Kalau hanya duduk di sofa sepanjang hari, maka tak akan
terdapati lumut yang telah tumbuh di bawah dipan.
Demikianpun dengan luka-luka jiwa. Dia akan menampakkan diri
seketika kita mulai menyalakan lampu-lampu dalam relung hati. Terkadang
gejala-gejala yang dialami raga bisa menunjukkan apa yang tidak beres pada
jiwa.
Tidak perlu menguras tenaga dengan mencari-cari pengalaman pahit
untuk mendapati luka. Ingat saja pengalaman bahagia, pengalaman yang lebih
menyenangkan. Catat dan kumpulkan. Urutkan dalam deret waktu, dan temukan,
dalam satu tahun, berapa kali kita mendapati pengalaman yang membahagiakan?
Kalau tidak banyak berarti yang lebih banyak adalah pengalaman luka atau
pengalaman yang tiada rasa. Untuk lebih paham proses ini, tunggu catatan
mengenai STEPPING STONE. Intinya,
luka itu tidak perlu dicari-cari, tetapi proses pembersihan jiwa harus setiap
hari dilakukan; dalam doa dan usaha.
DICINTAI
Seperti saya ceritakan di atas, kalau seseorang ingin menjaga
rumahnya bersih, dia harus merelakan diri untuk menyapunya setiap hari. Tidak
bisa setiap minggu, apalagi sebulan sekali, jangan katakana setahun sekali.
Ndak tahu seperti apa jadinya. Demikianpun dengan kebersihan jiwa.
Menjaga kebersihan hati tak ubahnya menjaga kebersihan rumah. Butuh
ketelatenan dan kesetiaan terus menerus. Bahkan kalau sudah biasa kita lakukan,
membersihkan rumah tidak membutuhkan banyak tenaga. Kecuali kalau ada badai,
atau tiba-tiba ada sopir mabuk menabrak rumah kita. Pasti akan ada banyak
pekerjaan.
Demikian halnya membersihkan jiwa. Bukan sekadar membersihkan dosa,
tetapi juga menyembuhkan luka. Keduanya bisa dilakukan bersama tanpa menafikan
satu dengan yang lainnya. Pada akhirnya ragapun akan mendapat faidahnya.
Sebagai imam yang mendengarkan pengakuan; biasanya saya menandai
satu hal. Jika seseorang sudah tidak mengaku dosa cukup lama, biasanya mereka
akan kesulitan menemukan dosa-dosanya. Karena selama ini sulit membedakan mana
tindakan dosa dan mana yang bukan.
Sebaliknya, mereka yang secara rutin mengaku dosa dua minggu sekali
akan dengan jelas mengungkapkan dosa-dosa mereka. Mereka tahu mana tindakan
dosa dan mana yang bukan. Mereka ingin mengikuti Yesus tetapi kerap jatuh dalam
dosa. Maka proses pembersihan itu berlangsung selamanya.
Berkaitan dengan dosa ada baiknya kalau saya singgung sedikit bahwa
mereka itu ada kelompok. Pertama adalah pendosa yang sadar dirinya berdosa dan
tahu caranya kembali. Seperti kisah anak yang hilang. Yang kedua adalah pendosa
yang sadar dirinya berdosa tetapi tidak tahu caranya kembali. Mereka seperti
kisah domba yang hilang. Sedangkan yang ketiga adalah pendosa yang tidak sadar
kalau dirinya pendosa dan tidak tahu bagaimana akan kembali. Seperti kisah
dirham yang hilang.
Yang menarik adalah; mereka semua dicari oleh tuannya. Si gembala
rela meninggalkan 99 domba yang tidak sesat demi satu yg sesat. Si ibu itu
mencari dirhamnya yang hilang dengan menyalakan lampu, menyapu seluruh rumah;
demi sekeping dirham.
Setelah domba itu ditemukan, setelah dirham itu ditemukan;
kegembiraan yang dialami begitu besar. Surga bersukacita. Maka, satu hal yang
menggembirakan bagi pendosa adalah “dia
dicintai”. Dia dicari, walaupun dia tidak sadar kalau berdosa sekalipun.
Lalu?
Pertanyaan lain yang muncul adalah, “setelah kita mengetahui sakit-sakit kita, apa yang harus dilakukan?”
Ya yang jelas mengobatinya; itu kalau kita ingin sembuh. Karena ada orang yang
menikmati sakitnya. Kemana-mana bercerita soal sakitnya itu. Saya mengenal
seorang seperti ini. Begitu bangga dengan sakit-sakitnya.
Bagaimana mengobatinya? Ya mesti bertanya kepada yang ahli di
bidangnya. Kalau itu sungguh sangat parah sangat diharapkan untuk tidak
memproses sendiri. Kalaupun memproses sendiri, hendaknya ada orang lain yg
mengawasi, yang mensupervisi. Mungkin kita mengenal seseorang yang memiliki
ilmu untuk membantu proses ini; psikolog, imam atau suster yang paham soal
psikologi dan spiritualitas, sehingga bisa berproses seimbang.
Lalu? Romo sakit apa? Ya banyak, khan tidak harus disebut di sini. Sekian
dulu kali ini. Terima lemparan pisang goreng.
Salam.
Comments