Drama Kisah Sengsara Tuhan (1)
Sahabat, Minggu Palma adalah pembuka dari Pekan Suci, satu masa yang
sangat istimewa dalam penghayatan iman kita. Karena hari-hari yang akan kita
lalui dalam sepekan itu sungguh mengajak kita bermenung lebih dalam. Mengajak
kita untuk semakin menyadari kedalaman iman kita. Mungkin kita tidak
menyediakan seluruh hari dalam sepekan untuk merenung, atau bahkan selama
seminggu ini kita akan sangat sibuk dengan berbagai pekerjaan.
Saya masih ingat ketika dulu di biara dan di tempat karya. Pekan Suci
bukan lagi menjadi masa yang sangat tenang untuk merenungkan iman, tetapi saat
yang sangat sibuk dengan perayaan. Latihan koor biasanya menyita banyak waktu
dan tenaga, bahkan untuk berdoa saja kurang, yang mudah adalah berdosa. Juga
persiapan yang lain, panitia ini panitia itu, semua sibuk-sibuk-sibuk dan
sibuk. Yang penting adalah acara berlangsung baik, meriah, banyak yang senang,
dst. Jarang terpikir untuk menyiapkan isi dari segala perayaan yang luar biasa
itu. Peristiwa iman ini menjadi jatuh sekadar perayaan. Show. Koor bagus,
panitia berpakaian rapid an baru berjajar bagus, makanan melimpah, dll.
Maka, sebelum semua terlambat, saya mengajak untuk memulai pekan ini
dengan permenungan. Mari kita bersama merenungkan drama kisah sengsara Tuhan.
Rasanya sangat kurang kalau kisah ini hanya kita renungkan selama 10-15 menit
dalam homily. Dibutuhkan waktu yang lebih lama, dan sebaiknya dalam kesendirian
dan keheningan. Merenungkan kisah yang mahahebat ini.
Saya menyebut kisah ini sebagai drama. Ada pemeran utama, ada pemeran
pembantu, ada pemeran figuran. Drama Minggu Palma ini yang menjadi penulis
naskah sekaligus sutradara adalah Matius. Pemeran utamanya masih Yesus. Pemeran
pembantunya ada banyak sekali, tiap babak memiliki pemeran pembantu sendiri.
Sedangkan figuran adalah rakyat. Peran rakyat sebagai figuran kerap
menggambarkan posisi kita sebagai pengikut Yesus. Kita juga bisa menempatkan
diri dalam peran-peran yang berbeda pada setiap babak. Mari kita simak drama
ini babak demi babak.
Prolog : Yesus masuk Yerusalem (Mat 21:1-11)
Perayaan Minggu Palma tidak boleh dipisahkan dengan perarakan Yesus
memasuki Kota Yerusalem. Diceritakan bahwa Yesus sudah tiba di Betfage di bukit
Zaitun. Saatnya sudah tiba bagi Yesus untuk menggenapi apa yang pernah
dinubuatkan oleh Nabi Yesaya.
Aneh
Nubuat nabi aneh, pemenuhannya juga aneh.
Apakah yang aneh itu? Yaitu tentang cara menunggung dua keledai, keledai
betina dan anaknya. Pada jaman dulu juga jaman sekarang, menunggang langsung
dua keledai adalah aneh. Tetapi itulah nubuat, itulah yang dipenuhi.
Bukan keanehan yang hendak dipenuhi, tetapi pesan yang hendak
disampaikan. Melihat Yesus memasuki Yerusalem dengan menunggang dua keledai
tidak bisa dipandang dengan mata lahir, namun harus menggunakan mata batin.
Yesus adalah raja yang penuh wibawa dan kuasa, namun dia juga utusan Tuhan yang
lemah lembut.
Yesus
Yesus berperan sebagai Raja yang lemah lembut, mengendarai keledai.
Keledai itu binatang yang susah dikendalikan. Kalau Yesus bisa mengendalikan, itu
hebat sekali, apalagi Yesus langsung mengendarai dua keledai. Aneh, tapi hebat.
Biasanya orang mengendarai keledai dengan satu orang menuntun di depan.
Sehingga keledai itu mudah dikendalikan. Di sini, tidak ada orang yang menuntun
keledai itu. Apalagi keledai ini belum pernah ditunggangi orang. Maka, lebih
sulit lagi mengendarainya. Apalagi dua keledai. Aneh, tapi hebat!
Pesan yang mau disampaikan: Yesus itu memiliki kharisma yang hebat.
Bahkan keledai yang belum pernah dikendarai orang takluk kepadanya. Keledai
yang biasanya sulit dikendalikan, ini menurut. Sebuah tanda bahwa yang
menunggang ini bukan tokoh sembarangan.
Sambutan
Rakyat menyambut hangat Yesus yang masuk Yerusalem. Mereka menghamparkan
apa saja di jalan yang akan dilalui oleh Yesus. Ada pakain, ada daun-daun.
Mereka juga melambai-lambaikan dedaunan. Yang disebut daun palma, juga daun
yang lain. Kalau sekarang mungkin akan melambaikan bendara, maka mereka
melambaikan baju dan dihamparkan untuk dijadikan karpet.
Rakyat menyambut hangat “RAJANYA” yang datang dengan kelembutan. Yesus
masuk tidak menggunakan kuda perkasa dan kereta kecana. Yesus masuk dengan
menunggang keledai. Yesus tidak masuk Yerusalem dengan menunjukkan kekuasaan
dan keperkasaan, tetapi sebuah kebijaksanaan. Kelemah-lembutan dan keagungan
budi serta kearifan budi. Itulah yang dirasakan oleh seluruh rakyat.
Keledai
Saya ingin mengajak untuk melihat si keledai, betina muda dan anaknya.
Yang belum pernah ditunggang orang. Inilah untuk pertama kali dia membawa
seseorang dalam punggungnya. Juga untuk pertama kali ada begitu banyak orang
yang menyambutnya di jalan.
Melihat seluruh sambutan itu, keledai itupun mulai berbesar hati.
Jalannya mulai megal-megol. Kepalanya mula mendongak sedikit, tidak menunduk
seperti tadi. Dia berusaha tampil gagah.
Keledai itu sangat yakin bahwa dialah yang disambut dan dielu-elukan. Dia
merasa sangat cantik dan gagah, maka semua orang menyukainya. Hingga saat itu
tiba. Saat perjalanan usai. Saat Yesus turun dari punggungnya. Saat dia kembali
diikat di pinggir jalan. Semua kembali sunyi. Orang-rang yang tadi ia piker
mengelu-elukan dia rupanya mengelu-elukan Dia yang menungganginya.
Bagian ini saya sedikit tertohok. Saya sering merasa
seperti keledai itu. Bangga dengan apa yang ada pada diri saya. Bangga dengan
banyaknya orang yang kagum kepada saya. Saya mulai berbesar hati, membusungkan
dada dan mendongakkan kepala. Padahal, segala kekaguman itu bukan karena saya,
tetapi karena Allah yang berkenan. Karena kebetulan saya dipinjam, dijadikan
keledai beban untuk sementara. Maka, saya tidak boleh sombong. Karena Allah-lah
yang pantas dimuliakan dan bukan saya.
#babak I :
Pengkhianatan, ketika uang bicara (Mat 26:14-16)
Siapakah
yang bisa melukai hati kita? Dia yang dekat dengan kita. Sahabat kita, kekasih
kita, kawan karib kita: merekalah yang bisa menusuk kita dari belakang,
merekalah yang bisa menjual kita. Jika kepentingan pribadi sudah berbicara,
apapun bisa dihalalkan.
Yudas
mengkhianati sahabatnya. Yesus bukan hanya guru, tetapi juga sahabat dekat.
Yudas Iskariot diberi jabatan bendahara dalam kelompok murid. Jabatan yang
hanya diberikan kepada orang dekat, orang yang dipercaya. Nyatanya, karena uang
jugalah Yudas menikam Yesus. Dia menjual sahabatnya kepada pemuga agama Yahudi.
Hmmm, saya juga sering menjual Tuhan saya.
Bahkan terkadang saya menjualnya murahan. Bukan demi 30 keping uang perak,
tetapi demi kemuliaan nama saya. Saya menjual, bukan hanya teman dan sahabat,
tetapi juga Tuhan bahkan saya jual. Hmmm, saya mestinya lebih celaka dari Yudas.
Karena cara menjual say alebih sadis, lebih berkelas. Saya menjualnya dalam
etalase, dalam kebaktian, dalam mimbar khotbah, dalam renungan-renungan.
#babak II :
Persiapan Paskah (Mat 26:17-19)
Waktunya telah tiba. Itu yang dikatakan Yesus kepada para muridnya. Waktu
untuk bersantap paskah bersama para muridnya. Inilah kesempatan terakhir
baginya untuk bersama orang-rang yang kasihi, bersama-sama sahabat merayakan
malam perjamuan paskah.
Karena ini perjamuan malam terakhir, maka semua
harus dipersiapkan dengan baik. Maka saat para sahabatnya datang dan bertanya
perihal tempat itu, Dia sudah tahu apa yang hendak dilakukan. Dia memerintahkan
para murid untuk pergi ke rumah si anu dan menyiapkan segalanya di sana. Semua
sudah dipersiapkan, well prepared.
Ah Tuhan, aku jadi malu. Engkau menyiapkan
segalanya. Sedangkan saya, saya tidak menyiapkan apa-apa untuk menyambut Paskah
ini. Saya lebih sibuk denga urusan yang tidak penting. Saya selalu sibuk dengan
kerikil-kerikil, dengan bunga-bunga, dengan dahan-dahan. Saya tidak menyibukkan
diri dengan Engkau. Tidak benar-benar membersihkan hati untuk menyambut-Mu.
#babak III : Duduk bersama pengkhianat (Mat
26:20-25)
Yesus tahu segalanya. Yesus tahu bahwa aka nada yang menikamnya dari
belakang. Akan ada yang menciumnya demi sekantong uang. Tetapi Dia tetap duduk
di sampingnya.
Pada saat makan bersama Dia hanya berkata, “sesungguhnya seorang diantara
kamu akan menyerahkan Aku.” Kemudian masing-masing berkata, “Bukan aku ya
Tuhan.”
Yesus menegaskan lagi, bahwa dia yang akan menyerahkan Yesus akan mencelupkan
tangannya ke dalam pinggan. Kemudian dia yang akan menyerahkan dia berkata,
“bukan aku ya Rabi!”
Mengapa dia menyebutnya Rabi? Mengapa dia tidak menyebut “Tuhan” seperti
yang lain? Dia sudah menurunkan derajat sebutan Tuhan menjadi Rabi. Dia sudah
menyadari, bahwa dia berada di luar kelompok.
Saat makan itu adalah saat yang sacral. Tidak boleh berbicara
keras-keras, maka jawaban yang diberikan murid-murid juga tidak ada yang tahu.
Juga jawaban Yesus kepada Yudas, “kamu sudah mengatakannya!”
Saya kagum kepada Yesus. Dia tahu ada yang akan
berkhianat, bahkan dia masih bersikap manis. Tetapi Yesus masih duduk di
sampingnya, masih berbicara dengan dia. Kalau saya mungkin sudah tidak bisa.
Kalau tahu ada orang berbuat jahat kepada saya, biasanya saya tidak sanggup
untuk dekat dengannya. Tetapi Yesus berbeda, Dia tetap duduk dekat dengan si
pengkhianat.
Saya juga kerap tidak lebih baik dari pada si
pengkhianat ini. Masih bersikap manis kepada Tuhan padahal sudah kerap kali
melukai Dia, entah dengan perkataan atau perbuatan, dengan kelalain dan
pikiran. Dosa segunung tetapi senyum terus menggembung. Itulah saya.
bersambung
bersambung
Comments