Adu puasa
Sahabat, mungkin Anda heran bahwa ada orang melakukan adu puasa. Ini sungguh terjadi, bukan sulap bukan sihir, eh salah, maksud saya bukan gossip bukan rekayasa. Ceritanya begini, ada sekelompok anak muda sedang memperbincangkan soal puasa. Setelah perbincangan itu salah satu dari mereka melapor kepada saya, mengatakan bahwa puasa kita ini kalah jika dibandingkan dengan puasa kelompok lain.
Sahabat, mengukur dan membandingkan adalah salah satu sifat manusia. Termasuk mengukur kehebatan puasa, adalah salah satunya. Wahhhh, aku hebat nih, biasa puasa tuntas. Wahhh aku hebat nih, biasa berpuasa lebih hebat dari Si A atau Si B, dst.
Hal seperti ini terjadi dahulu dan sekarang. Jaman dahulu, misalnya waktu jamannya Yesus, mengukur puasa ini juga sudah terjadi. Pada waktu itu ada banyak 'perguruan' atau kelompok pemuridan. Ada kelompoknya Yesus, ada kelompoknya Yohanes Pemandi, ada kelompoknya Si Anu, dan seterusnya, pokoknya banyak. Kelompok murid yang berasal dari perguruan orang lain, bertanya kepada Yesus, mengapa murid-murid Yesus tidak berpuasa. Sebab mereka berpuasa. Mereka mulai membandingkan, menilai dan mengukur.
Yesus menjawab dengan sebuah perumpamaan. Bahwa dalam pesta pernikahan tidak boleh orang berpuasa. Teman-teman mempelai, apalagi teman-teman dekat mempelai tidak boleh berpuasa selama mempelai masih bersama mereka. Mereka harus bergembira. Nah, setelah mempelai pergi, mereka baru boleh berpuasa.
Apakah yang dimaksudkan oleh Yesus ini? Bagimana mengetrapkannya pada jaman sekarang ini? Siapakah yang dimaksud mempelai? Siapakah teman-teman mempelai ini? Di manakah posisi kita berada?
Untuk apa berpuasa
Jawaban Yesus itu adalah sebuah dasar yang harus dipegang ketika seseorang hendak berpuasa. Puasa adalah salah satu cara untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Tuhan di sini adalah Sang Mempelai, kita adalah mempelai perempuan, atau minimal teman-teman dekat-Nya. Biasanya Yesus adalah mempelai laki-laki, sedang Gereja adalah mempelai perempuan. Maka kalau kita berpuasa kita ingin menjalin kedekatan hati dengan Allah.
Maka menjadi sia-sia kita berpuasa sekian lama, 30 hari atau 40 hari kalau hati kita tidak sungguh terarah kepada Tuhan. Nabi Yesaya mengungkapkan kemarahan Tuhan kepada orang-orang yang berpuasa tetapi hatinya tidak dekat pada Tuhan. Dia berkata demikian, "sesungguhnya engkau berpuasa sambil berbantah dan berkelahi...."
Berpuasa yang dikehendaki Tuhan harus disertai sikap rendah hati. Menundukkan kepala, mengadakan hari yang berkenan pada Tuhan. Hanya melakukan yang menyenangkan Tuhan, bukan menyenangkan hatiku sendiri.
Berpuasa adalah agar memperoleh kedekatan dengan Tuhan. Agar hubungan dengan Tuhan terjalin makin mesra. Kuncinya, harus rela melepaskan keinginan-keinginan pribadi, melepaskan hasrat-hasrat pribadi. Termasuk keinginan untuk dipuji dan dianggap hebat, "hebat... Dia berpuasa 40 hati lamanya, badannya sampai kurus kering." Bukan ini yang dimaui oleh Yesus.
Kerendahan hati
Kerendahan hati adalah dasar untuk berpuasa, juga untuk melakukan kegiatan-kegiatan lainnya, juga yang kelihatannya bersifat rohani. Misalnya, mengadakan misa novena. Mengadakan novena keramihan ilahi, mengadakan kelompok doa rosario, mengadakan kelompok pujian dan persembahan, dll. Banyak kelompok dan kegiatan bisa dibuat, banyak aktivitas bisa diikuti, tetapi tanpa kerendahan hati semunya sia-sia.
Bagaimana melihat kerendahan hati ini? Salah satu cara terjitu adalah ketika niat kita tidak diterima. Kita memiliki niat baik untuk membantu, melakukan ini dan itu, tetapi ditolak. Bagaimanakah reaksi kita? Marah, kecewa, tetap melaksanakan ide kita di tempat lain: jelas kita tidak memiliki kerendahan hati.
Orang yang rendah hati rela pendapatnya ditolak dan dia tetap bekerja. Karena orang yang rendah hati hanya mencari Tuhan, bukan mencari kebesaran nama. Maka kalaupun dia tidak mendapat nama, dia tidak menjadi soal. Juga dalam hal berpuasa.
Ketika kita dianggap bahwa puasa kita ringan saja, tidak perlu marah. Karena yang tahu hanya kita dengan Tuhan. Kita berpuasa bukan mencari pujian bahwa kita hebat, tetapi hanya mau semakin dekat kepada Tuhan. Maka dibutuhkan kerendahan hati untuk menerima ejekan dan cibiran. Tersenyum saja, karena toh puasa tidak untuk diadu dan dipertandingkan.
Hong Kong, 6 Maret 2014, 10:55pm
Comments
Wuah, sesuatu banget, renungannya,Mo. Terimakasih renungan kali ini.
Semangat RENDAH HATI!!!
:)
Tuhan kemberkati