Cerita "Mencari Kekasih"
Hari ini banyak orang merayakan hari kasih sayang atau valentin. Banyak teori dipaparkan untuk menguatkan cerita hari kasih sayang itu. Setiap tahun selalu ada dua upaya menanggapinya. Pertama mendukung, yang kedua menolaknya. Masing-masing dengan berbagai alasannya.
Catatan ini bukan bermaksud membela salah satu pihak atau dua belah pihak. Catatan ini hanya akan berkisah mengenai kisah mencari kekasih. Kisah jatuh cinta. Jatuh itu sakit. Cinta itu tidak jelas rasa dan bentuknya. Maka kisah jatuh cinta adalah kisah sakit yang tidak jelas bentuk dan rasanya.
Bermula dari indera
Cinta bermula dari indera. Karena melihat, mendengar, merasa, maka semuanya menjadi. Menjadi kisah yang tak berkesudahan. Tentu saja cinta tidakmbisa dilihat, tidak bisa didengar, tidak bisa diraba, tidak bisa dikecap, tidak bisa dibaui. Tetapi dia ada. Kita merasakan kehadirannya.
Cinta yang tidak kelihatan ini telah mengubah banyak orang. Dia memberi kekuatan karena cint adalah energi yang luar biasa. Cinta memberi inspirasi, sehingga kita bisa melkukan karya-karya yang luar biasa. Cinta, adalah segala-galanya. Maka tidak mengherankan kalau St. Yohanes berkata, "Allah adalah CINTA, dan CINTA itu adalah kurban." Kurban itu selalu "sakit", maka siapa yang mau bersentuhan dengan cinta harus rela sakit. Jatuh cinta ya berarti sakit.
Lihatlah, betapa mbulet dan berbelitnya penjelasan ini. Saya katakan bahwa cinta berawal dari indera, tetapi ternyata cinta sendiri tidak mampu diinderI. Haiyaaa.... pusinglah kita. Lantas bagaimana sebenarnya memahami cinta itu?
Cinta itu soal hati. Apa yang dilihat oleh mata, dirasa oleh hati. Apa yang didengar oleh telinga dirasa oleh hati. Hati juga merasa apa yang disentuh, dikecap dan dibaui oleh indera. Hati menjadi kunci menangkap cinta. Marilah kita mengambil satu contoh yang kelihatannya sederhan?
Adalah sepasang anak manusia. Mereka duduk berhadapan di sebuah tenda kaki lima yang menjual mie ayam. Mereka memesan satu porsi mie ayam dengan dua sendok. Ceritanya sepiring berdua. Mie ayam itu bukanlah yang sangat istimewa. Harganya hanya 5 ribu rupiah. Kaki lima itu juga ada di pinggir kuburan cina. Kurang elitlah tempatnya. Tetapi sepasang anak manusia tadi menikmati mie ayam dengan mata berbinar-binar. Setiap suapan senantiasa diakhiri dengan senyuman dan kerdipan mata. Entahlah, atau memang ada debu atau mereka sedang sakit mata. Intinya mereka sangat bahagia. Mie ayamnya sederhana, rasanya biasa saja, tempatnya tidak elok, bahkan banyak aroma tidak sedap; tetapi suasana makan itu menjadi luar biasa karena ada hati yang bergemuruh didera cinta.
Sebaliknya di sebuah restoran mahal. Ada pelayan yang mondar-mandir melayani memakai dasi kupu-kupu. Di sana ada juga sepasang anak manusia. Memilih duduk di pojok. Ada sebatang lilin menerangi meja mereka, sehingga suasana menjadi remang-remang. Yang laki-laki gagah luar biasa pun pula yangbperempuan cantik jelita. Mereka diam, duduk berhadapan tetapi mata mereka redup. Tidak nampak cahaya suka cita. Terkadang ada kilatan, tetapi bukan kilatan suka cita cinta. Makanan yang dipesan berharga mahal sekali. Si laki-laki tidak mau kehilangan muka, maka dia pesan makanan termahal. Mereka juga memesan anggur termahal. Semua serba termahal, tetapi hati mereka tidak ikut di sana. Si laki-laki hanya memikirkan kemolekan tubuh perempuan di depannya. Si perempuan terus berpikir soal isi dompet si pria. Mereka nampak tersenyum, tetapi tidak nampak kegembiraan. Hati tidak ada di sana meskipun mereka saling berkata "sayang". Cinta tidak hadir karena yang menguasai isi kepala adalah nafsu belaka.
Cinta yang sejati bukan karena apa yang dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, tetapi apa yang dirasa oleh hati. Cinta yang sejati adalah ketulusan, kejujuran, dan keterbukaan. Dia tidak menyombingkam diri, dia juga tidak iri hati dengan apa yang dimiliki orang lain. Dia selalu bisa bersyukur dengan apa yang dia alami.
Memang bermula dari indera
Sahabat, kalian mungkin jengkel. Tadi saya mengatakan bahwa cinta tidak bisa ditangkapmdengan indera. Padahal saya memberi judul, cinta bermula dari indera. Sungguh, cinta itu bermula dari indera. Tetapi tidak berhenti hanya di indera. Apa yang ditangkap oleh indera diolahnoleh hati. Di sinilah cinta menuntun kita kepada sumber cinta sejati.
Tadi saya menyinggung bahwa "Allah adalah cinta." Allah adalah sumber cinta sejati. Orang akan sungguh bisa mencintai kalau mendapatkan sumber cinta itu dari Sang Cinta sendiri. Kalau tidak, maka hanya nafsu saja yang ada. Segala cinta hanya bisa ada jika Sang Maha Cinta memang menganugerahkan. Jika tidak itu bukan cinta, tetapi hasrat yang dibungkus oleh cinta.
Untuk mendapatlan cinta Allah, org mesti mencintai Allah. Tidak ada jalan lain. Cinta Allah tidak bisa dibeli, tidak bisa dipinjam. Cintanya hanya bisa dimiliki kalau kita mau mendekat, mulai berkenalan, dan menjalin relasi dengan Allah. Tidak ada jalan pintas. Tidak ada kisah cinta satu malam. Yang ada adalah usaha saling memberi dan menerima.
Dari indera kita mendapat semua. Telinga mendengar bahwa "Allah adalah Cinta." Mata melihat ungkapan cinta dalam keindahan alam, dst. Indera menangkap getar cinta dari Allah dan mengirimnya ke dalam hati. Hati yang terbuk akan menyambutnya dengan suka cita. Tetapi hati yang tertutup tidak akan mampu menangkap getar Cinta itu.
Efata
Ada kisah seorang yang tuli dan gagap. Dia dibaw kepada Yesus. Kemudian Yesus memasukkan jarinya ke telinga orang tersebut serta meludah. Kemudian sambil menengadah ke langit Yesus menarik nafas dan berkata, "efata". Seketika itu juga dia bisa mendengar. Karena dia bisa mendengar, maka dia mulai bisa berkata-kata. Karena dia bisa berkata-kata, maka dia mulai memuji Tuhan. Mengapa dia bisa memuji Tuhan, karena hatinya tidak tuli dan tidak bisu. Hatinya terbuka.
Efata, terbukalah. Ucapan Yesus itu ditujukan untuk membuka telinga orang yang tuli, maka dia bisa mendengar. Setelah bisa mendengar, orang itu berkata-kata. Ternyata bukan hanya itu yang terjadi. Kegembiraan orang yang baru disembuhkan oleh Yesus itu juga dialami oleh para penduduk. Merek juga turut bersuka cita. Mereka bersama-sama bersorak memuji Tuhan. Mereka bersorak karena hati mereka juga terbuka akan kehendak Tuhan. Mereka tidak hanya menginginkan kesembuhan fisik, tetapi mereka juga mengharapkan sesuatu yang lebih besar, yaitu rahmat Allah.
Efata. Terbukalah, dan mereka semua melihat dan mengalami kasih Allah. Di sini saya merasakan nuansa cinta yang begitu besar. Orang-orang yang membawa si tuli dan gagap ini, adalah rombongan orang-orang yang sedang "mencari kekasih". Telinga mereka tidak tuli dan lidah mereka juga tidak kelu. Tetapi mereka juga merindukan "sesutu" yang lain. Ketika Yesus berkata "terbukalah" sesungguhnya bukan hanya telinga si tuli yang dibuka, tetapi juga telinga semu orang itu. Mereka sekarang mampu mendengar suara kasih Allah. Hati mereka yang terbuka juga menangkapnya. Maka mulut mereka sontak berseru, " Ia menjadikan segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yg bisu dijadikan-Nya berkata-kata." (Markus 7:37)
Seruan efata ini sungguh bukan hanya ditujukan kepada mereka, tetapi juga kepada kita, kepada Anda dan saya. Mungkin terutama kepada saya. Bahwa Allah sudah mengulurkan cinta, tetapi saya enggan menerimanya. Allah sudah menyampaikan ungkapan cinta yang paling mesra, tetapi saya tidak mau mendengarnya. Saya hanya melihat yang menggembirakan mata, bukan yang membahagiakan hati. Saya hanya mau mendengR apa yang indah-indah saja. Maka sebenarnya saya tuli, buta dan bisu. Maka, kata "efata" juga ditujukan kepada saya, agar saya bisa melihat, bisa mendengar, dan akhirnya bisa memuji Allah.
Selamat merayakan hari kasih sayang sahabat terkasih. Ungkapan kasih sayang yang terbaik adalah pujian kepada Tuhan. Jika kita bersama orang-orang yang kita cintai bisa bersama bersorak memuji Tuhan.
Hong Kong, 14 Februari 2014, 00:20
Comments