OmDo (omong doang)

"Omong doang lu." 
Pasti sakit rasanya kalau kita disebut "omdo" atau omong doang, atau NATO alias no action talk only. Bisanya cuman ngomong tapi ga ada kerjanya. Hati kita pasti sakit dan kita akan membuktikan bahwa kita tidak omdo, bahw kita ini ada kerjany?
Berbicara soal omdo, rasanya orang yang banyak ngomongnya itu saya. Kerjanya belum tentu ada. Apakah saya melakukan apa yang saya katakan, juga belum tentu. Maka, sebenarnya berat banget nulis soal omdo ini, karena jelas-jelas ini membuka borok diri sendiri, membuka aib diri sendiri.
Bagaimana tidak omdo kalau kerjanya cuman ngomong, cuman nulis, cuman khotbah. Maka selain OmDo, ada juga istilah lainnya, "gajah diblangkoni" artinya, "bisa khotbah tetapi tidak bisa menjalani." Sungguh julukan yang menyakitkan, karen isinya adalah sindiran juga olok-olok. Sangat menyakitkan.
Rasanya tulisan saya selama tiga hari ini temanya sama, jangan banyak bicara. Hati-hati menggunakan mulut, jangan asal njeplak. Apa yang kita ucapkan harus selaras dengan apa yang ada di hati. Kalau mulut saya mengatakan, "Yesus kekasih jiwaku", maka memang dalam kenyataannya hatus demikian. Bukan hanya lantang di mulut sedang di hati senyap-senyap saja. Inilah omdo. Saya bisa ngomong tetapi ternyata berat nian menjalani.

Iman dan perbuatan
Iman adalah kepercayaan kita kepada Tuhan. Iman itu menjadi bermakna kalau disertai dengan tindakan. Iman tanpa perbuatan adalah pepesan kosong. Tidak ada artinya. Bagaiamana wujud iman atau beriman itu? Bisa dimulai dari yang sederhana, hingga pada yang paling rumit. Mari kita lihat hal yang sederhana saja.
Aku percaya kepada Tuhan yang maha kuasa. Kemudian ada bencana, apakah yang harus aku lakukan? Apakah aku diam saja karena aku percaya bahwa Tuhan akan menyelamatkan semunya? Atau aku percaya bahwa Tuhan juga memakai aku untuk ikut serta membantu meringankan korban bencana. Aku percaya bahwa Tuhan juga memakai tangan-tangan kecilku untuk meringankan derita sesamaku. Bantuan yang kita berikan bisa berwujud banyak hal. Mulai dari kebutuhan pokok hingga penanganan kejiwaan.
Saya ingin memberi contoh yang bukan bencana, bagaimana seseorang ingin mengungkapkan rasa terimakasih dengan apa yang dia bisa dan dia punya. Ini tentang teman saya sewaktu di SMA, waktu itu dikenal anak yang agak nakal. Lepas SMA kami berpisah. Saya masuk biara dan dia menekuni bidang kesukaannya, musik dan seni.
Sekian tahun kemudian kami bertemu dan dia berkisah. Dia telah menikah dan memiliki anak. Anaknya lahir dalam keadaan yang tidak biasa. Di sudah kehabisan uang untuk biaya pengobatan. Sampai akhirnya dia bertemu dengan seorang ibu, perancang busana yang memiliki kepedulian kepada anak-anak yang menderita hidrocepalus. Mungkin saya salah mengeja, tetapi ini adalah anak-anakmyang kurang gizi dan mengalami pembesan pada kepala.
Nah, anak teman saya ini bukan sakit demikian, tapi sakit yang lain. Ibu itu menolong kawan saya tadi, membatu proses pengobatan anaknya hingga tuntas. Tentu saja teman saya ingin berterimakasih, tetapi dia tidak tahu harus bagaiman? Dia tidak memiliki uang. Maka dia hanya bisa melukis mural, atau lukisan di tembok. Dia gambari seluruh dinding ruang bermain yang di miliki ibu itu dengan gambar cerita. Karena ibu ini juga memiliki semacam panti. Maka ada banyak anak di sana. Dia menggambar seluruh tembok dengan cerita anak sebagai rasa syukurnya.
Sahabat, cerita ini semoga memberi gambaran bahwa apa yang ada di dalam hati harus terungkap dalam perbuatan. Kalau saya bersyukur, ungkapan syukur itu hatus kelihatan. Kalau saya percaya, kepercayaan saya itu juga harus kelihatan. Maka ada ungkapan, "cinta itu seperti batuk, kalau datang tidak bisa disembunyikan."
Maka, iman haruslah terwujud dalam perbuatan. Kalau saya mengimani Tuhan yang maha kasih, maka iman saya harus kelihatan dalam hidup sehari-hari bahwa saya juga memiliki kasih, bersedia membagikan kasih. 

Konsekuensi beriman
Iman hatus diwujudkan dalam perbuatan. Karena kalau tidak iman itu ibarat iman pepesan kosong. Saya berteriak-teriak mengimani Tuhan tetapi tindakan saya tidak mencerminkan orang yang mencintai Tuhan. Maka iman itu memiliki konsekuensi, ada tanggungjawab yang harus ditanggung.
Kalau kita beriman kepada Yesus, maka kita harus menjalani apa yang Yesus mau. Yesus mengatakan bahwa orang yang mau mengikuti Dia harus siap menyangkal diri dan memanggul salib. Konsekuensi dari mengimani atau mengikuti Yesus adalah memanggul salib. Bukan berarti memanggul kayu salib setiap hari, tetapi siap menderita dan menghadapi kesulitan karena aku percaya kepada Yesus.
Hal ini juga tidak sama dengan, ikut Yesus pasti menderita. Tidak sama. Ungkapan Yesus tadi harus dimengerti demikian, karena aku ikut Yesus, maka ku tidak takut menderita. Karena Dia telah lebih dahulu menderita untuk aku, meskipun aku masih berdosa.
Maka, kalau kita berkata percaya kepada Tuhan, terus ada kesulitan sedikit kita menjerit tidak karuan, mungkin ada yang tidak beres dengan iman kepercayaan kita. Mungkin kita tidak sungguh-sungguh beriman. Mungkin kita percaya bahwa Tuhan itu seperti pembantu yang selalu meringankan kesulitan kita, atau seperti doraemon yang senantiasa menyediakan kebutuhan kita. Siap menyangkal diri dan memanggul salib harus sungguh terwujud. Kalau tidak, yahhh nanti kita disebut OmDo.

Hong Kong, 19 Februari 2014, 11:45pm

Comments

Popular Posts