Siapakah Dia?
Beberapa tahun yang lalu saya berjumpa dengan teman semasa SMA. Sebenarnya kami tidak pernah satu kelas. Jauh di kemudian hari kami saling kenal karena berbagai faktor. Tetapi yang mau saya ceritakan adalah apa yang disampaikannya kepada saya. Dia berkata begini, "Ris, dulu aku sering berdoa supaya kamu terjatuh."
Wah, tentu saja saya kaget. Mengapa dia berdoa sejahat itu padahal kami tidak saling mengenal. Maka saya tanyakan alasannya. Jawabannya lebih mencengangkan saya. "Kamu itu sombong sekali, jalan ga pernah noleh-noleh, ga pernah nyapa teman-teman, tapi lurus begitu saja, maka saya akan senang kalau kamu tersandung dan jatuh."
Kemudian saya mencoba mengingat-ingat masa itu, masa kelas 1 SMA. Mengapa kawan saya ini bisa beranggapan bahwa saya sombong. Ternyata, oh ternyata, bukan karena saya sombong, tetapi karena saya minder. Iya karena saya minder, maka leher saya menjadi kaku. Saya tidak memiliki keberanian untuk menyapa teman-teman yang cantik-cantik, gagah-gagah, putih-putih, saya tidak berani sama sekali. Maka jalan saya lurus, pandangan agak membungkung, dan tidak banyak bercakap.
Pengalaman ini adalah pengalaman kecil saja tetapi memiliki arti yang besar. Seseorang bisa salah menilai karena memang kurang mengenal dengan baik. Bisa jadi kawan saya tadi, kalau sudah mengenal saya dengan baik akan berkata, "memang kamu sombong!" Atau, "Ohhh, ternyata kamu baik tho..." Mengenal dengan baik sebelum memberi penilaian sangatlah penting. Atau, penilaian kita akan semakin akurat kalau emmang kita mengenal dengan baik siapa yang kita nilai.
Kemarin saya membahas soal mata yang harus banyak melihat, telinga yang harus banyak mendengar, dan mulut yang sedikit berbicara. Di tengah itu ada kerja otak yang menimbang dan memutuskan sebuah tindakan. Semakin banyak data yang diterima oleh otak akan semakin membantu otak bekerja dengan baik. Semakin sedikit data yang diterima oleh otak ya semakin sedikit pula bahan yang bisa dipakai untuk membuat keputusan dan penilaian.
Siapa Yesus menurut kamu?
Pertanyaan ini mungkin sudah sering kita dengar. Mungkin saat kita ikut rekoleksi atau retret, kita sering ditanya, siapkah Yesus itu menurutmu. Jawaban atas pertanyaan itu bisa bermacam-macam, tergantung sedikit atau banyaknya penegnalan akan Yesus.
Jika yang ditanya memiliki pengenalan akan Yesus cukup banyak, menjalin relasi secari pribadi dengan Yesus cukup dekat, maka jawabannya akan berbeda dengan orang yang tidak menjalin relasi pribadi dengan Yesus yang hanya mendengar sepintas saja.
Lihatlah contohnya dari apa yang dialami oleh para murid. Awalnya Yesus bertanya, orang-orang menilai Yesus itu siapa. Jawabannya beraneka ragam. Ada yang menganggap Yesus itu Elia baru, Yohanes yang bangkit, atau salah satu dari para nabi. Jawaban mereka tentu saja berdasar pengalaman kedekatan mereka dengan Yesus.
Kemudian Yesus bertanya kepada para rasul, "menurut kamu sendiri, siapakah Aku ini?" Dan kita terkejut bahwa para murid memiliki jawaban yang berbeda. Dan kita tahu jawaban para murid benar. Karena mereka mengenal Yesus cukup dekat. Mereka bergaul dengan Yesus cukup dekat.
Bagaimana dengan kita? Yang sudah tidak hidup sejaman lagi dengan Yesus? Kalau kita ditanya, siapakah Yesus menurut kita? Apakah kita akan menjawab seperti yang tertulis di dalam buku-buku, atau kita mencontoh jawaban dari khotbah para pastor?
Ada sebuah cerita seorang yang sudah meninggal. Dia dinyatakan akan masuk surga, maka dia menuju ke gerbang surga. Di pintu gerbang dia bertemu dengan Santo Petrus pemegang kunci surga. Oleh Santo Petrus dia ditanya, "Siapakah Yesus menurut kamu?" Kebetulan bapak tadi adalah pengajar agama. Dia hafal betul kisah ketika Yesus menanya para murid perihal diri-Nya. Maka dia spontan menjawab, "Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan; Elia, ada pula yang mengatakan: seorang dari para nabi." Kemudian Santo Petrus menyela, "Tetapi, menurut kamu sendiri, siapakah Yesus itu?" Spontan pula guru agama tadi menjawab, "Dia adalah Mesias!"
"Ahh, Anda tidak lulus!" jawab Santo Petrus.
"Mengapa" tanya guru agama tadi.
"Karena Anda mencontek jawaban saya!"
Sahabat, itu hanyalah sebuah cerita. Tetapi bisa jadi benar dan memang mengandung kebenaran. Kalau kita ditanya siapakah Yesus menurut kita, tentunya menurut apa yang kita kenal secara pribadi, bukan sekadar menurut apa yang kita baca.
Bahwa untuk mengenal diperlukan membaca itu benar, tetapi harus disertai dengan pengenalan secara pribadi. Harus ada relasi yang akrab bahkan intim antara kita dengan Yesus. Kalau ternyata kita memebri jawaban yang lain, misalnya: Yesus adalah Sahabatku. Sejauh mana aku memang bersahabat dengan Yesus? Atauakah itu hanya sebuah jawaban gagah-gagahan saja?
Atau saya menjawab Yesus itu adalah Guruku. Apakah aku mendengarkan ajaran-Nya, atau saya berlaku seenak saya sendiri? Relasi kita dengan Yesus bisa berbentuk macam-macam. Bisa sebagai sepasang sahabat, bisa seperti guru dan murid, bisa seperti sepasang kekasih, bisa juga seperti presiden dengan rakyatnya. Relasi kita bisa dekat dan mesra, bisa juga jauh dan berjarak. Tergantung kita mau memilih yang mana.
Kalau saya ditanya, saya kan menjawab, "Yesus adalah Dia yang mencintai saya seutuhnya." Sekarang saatnya saya membalas cinta-Nya itu. Bagaimana dengan Anda?
Hong Kong, 19 Februari 2014, 23:00
Comments
YESUS memang lah sahabat dia menghibur disaat saya sedih dia menolong saat saya susah Dia selalu ada saat saat saya butuh kan dia selalu menjaga ku
saya belum bsa tuk menjawab seperti jawaban romo karna saya masih sering jatuh kedalam dosa