Diutus berdua(dua)
Sahabat, sudah tiga bulan lewat beberapa hari kami, Romo Heru Purwanto dan saya, menjalani perutusan di tanah Hong Kong. Kali ini bukan saat yang pas untuk berbagi kisah senang dan menyenangkan, bukan saat yang tepat untuk berbagi saat-saat sedih dan menyedihkan. Saya ingin berkisah mengenai perutusan kami. Kami diutus berdua(dua).
Mengapa ada kata dua yang berada di dalam tanda kurung mengikuti kata dua? Tentu itu hanya akal-akalan saya saja. Saya ingin merasakan perutusan seperti yang dialami oleh para murid. Mereka oleh Yesus diutus berdua-dua. Sementara kami diutus berdua. Diutus berdua ternyata memiliki makna yang sangat mendalam. Itu sudah saya rasakan meski kami baru menjalani perutusan ini selama tiga bulan lewat beberapa minggu. Ini beberapa hal yang saya alami.
Pertama, melakukan segala sesuatu berdua. Ya itu sudah pasti. Namanya saja diutus berdua, tentu melakukan semuanya berdua. Ke sekolah berdua, ke gereja berdua, ke pasar berdua, makan di food court berdua, tersesat berdua. Semuanya berdua. Saya membayangkan, apakah pasangan suami istri juga seperti ini. Ingin beli ayam goreng saja nanya, mau yang harga berapa. Mau naik bis ngitung dan nanya, mana yang lebih cepat tapi lebih murah, mana yang enak buat tidur, hahahahaha. Karena semua berdua, susah senang berdua, kalau ada kekeliruan ya tertawa berdua, kalau ada keuntungan ya bersyukur berdua.
Kedua, saling mendukung dan melengkapi. Kami berdua memiliki perbedaan usia yang terpaut cukup jauh, sekitar 20 tahun. Hahahahaha, jangan menebak-nebak dan jangan melirik ktp saya, hehehehehe. Romo Heru Purwanto adalah senior saya. Beliaulah yang dahulu mengutus saya untuk bekerja di antara umat KKI di Melbourne. Beliau juga yang menerima kaul kekal pertama saya. Dari sini bisa dilihat betapa seniornya beliau dan betapa mudanya saya. Hal ini sangat menguntungkan bagi kami berdua,mterutama saya. Karena beliau sudah senior dan berpengalaman, maka untuk urusan-urusan yang penting, beliau selalu di depan. Sedangkan untuk hal-hal yang agak kacau, saya bisa di depan. Meski demikian, kami selalu mengkomunikasikan apa yang kami lakukan.
Melihat beliau yang senior dan tetap penuh semangat, mau tidak mau semangat saya juga terpacu. Melihat pasangannya masih muda (boleh ditambah banget) beliau juga menyesuaikan untuk tampil muda. Yang nampak adalah semangatnya yang masih menyala. Saya banyak belajar dari beliau, belajar dari pengalamannya, belajar dari bagaimana menyikapi suatu permasalahan, belajar mendengarkan kisah-kisahnya, dll. Saya tidak tahu, apakah ada yang beliau pelajari dari saya, hehehehehe.
Ketiga, karena kami diutus berdua, maka kami saling menjaga. Itu suatu keharusan, karena kami hanya berdua, kalau tidak saling menjaga bisa bahaya. Saya merasakan, beliau menjaga saya yang muda ini. Setidaknya dengan kehadiran beliau saya merasa aman untuk melakukan banyakmhal, karena ada beliaunyang mendampingi. Saling menjaga ini juga berkaitan dengan upaya saling mendukung. Beliau memiliki kesukaan yang berbeda dengan saya. Tetapi beliau menghargai kesukaan saya, dan tentu saya mengormati kegemaran beliau. Saya suka hiking, beliau suka mancing. Saya suka menulis beliau suka membaca. Saya suka ke pasar beliau suka ke perpustakaan. Tetapi biasanya semua kami jalani bersama. Yang belum kami lakukan adalah memancing.
Sahabat, itu sedikit kisah mengenai perutusan kami. Jangan dibandingkan dengan perutusan yang dialami oleh para murid. Para murid dalam perutusannya diberi kuasa untuk menyembuhkan, dan mengusir setan. Sedang kami kerap masih berjibaku dengan setan. Bahkan beberapa kali juga jatuh sakit. Mungkin kami tidak sekuat para murid.
Para murid juga diberi perintah untuk membawa bekal seminim mungkin. Pakaian juga jangan sampai membawa dobel. Makanan juga sekadarnya. Sedangkan kami membawa pakaian beberapa koper, makanan juga banyak, bahkan kami juga membawa uang. Padahal para murid dilarang membawa uang. Mungkin hal ini bisa dimengerti, karena para murid diutus berjalan kaki, sedang kami terkadang naik taksi.
Terlepas dari semua perbedaan itu, perutusan yang kami alami tetap sama seperti perutusan yang dialami oleh para murid. Kami diutus untuk menjadi saksi Kristus. Para murid hampir semua menjadi martir demi menjadi saksi Kristus. Sedangkan kami belum tentu menjadi martir, dan tidak harus menjadi martir untuk bisa menjadi saksi Kristus. Kami hanya perlu menunjukkan dalam hidup kami bahwa kami mencintai Kristus.
Bahwa kami masih sering jatuh bangun dalam mencintai Kristus, itu adalah proses. Para murid juga jatuh bangun. Ini saya ungkapkan bukan untuk membela diri, tetapi untuk menumbuhkan kesadaran agar tidak putus asa.
Sahabat, ternyata perutusan berdua(dua) ini bukan hanya milik para murid dan kami. Anda semua juga diutus berdua-dua. Diutus untuk menjadi saksi bahwa Kristus itu sungguh hidup. Anda yang berumahtangga, Anda diutus di dalam keluarga Anda. Anda juga diutus di dalam komunitas, diutus menjadi saksi.
Karena Anda semua merupakan utusan, maka mestinya memiliki sikap-sikap dasar sebagai utusan. Sikap dasar yang pertama adalah memiliki kasih dan rela berbagi kasih serta damai. Yesus menyuruh para murid memberi salam damai pada rumah/kota yang mereka singgahi. Salam damai itu bukan sekadar ucapan, tetapi sebuah sikap.
Jika pemberian kasih dan damai itu diterima, maka kita boleh tinggal di sana. Jika pemberian kasih dan damai itu ditolak, kita tidak perlu marah. Kita cukup pergi meinggalkan kota tersebut. Hal ini sebuah ajaran sederhana untuk tidak memaksakan diri. Terkadang kita terpancing untuk memaksa orang lain bertobat, menjadi seperti diri kita. Padahal hal itu tidak perlu. Jika memang kasih dan damai yang kita berikan ditolak, kita pergi ke kota lain, membagi kasih dan damai di tempat lain.
Ada pertanyaan, apakah sikap ini tidak sama dengan sikap mencari enaknya saja dan tidak mau menghadapi kesulitan? Bukan sama sekali. Yesus meminta para murid untuk pergi ke kota lain membagikan kabar suka cita dan kabar pertobatan. Seperti Diri-Nya sendiri ketika dipaksa untuk tinggal di suatu kota, Yesus berkata, "juga di kota-kota lain Aku hatus mewartakan Injil." Tugas menjadi saksi jauh lebih penting, daripada sekadar 'mati konyol'.
Janganlah sikap ini dipertentangkan dengan semangat kemartiran. Mungkin dalam kesempatam lain bisa kita bahas soal kemartiran ini. Namun pada bagian ini yang ingin ditekankan oleh Yesus adalah upaya menyebarkan kabar suka cita dan pewartaan pertobatan. Janganlah sikap ini dihambat suatu penolakan dari sekelompok orang atau suatu kota. Di sini Yesus meminta para murid, juga kita saat ini, menjadi rekan sekerja-Nya dalam mewartakan kabar suka cita dan pertobatan. Agar makin banyak orang mendengar kabar pewartaan ini.
Untuk saat ini, di era digital, yang pewartaan sebenarnya tidak membutuhkan berkeliling ke seluruh dunia, yang dibutuhkan adalah keteladanan. Apakah aku bisa menjadi teladan? Apakah keluargaku bisa menjadi teladan? Apakah komunitasku bisa menjadi teladan? Dan seterusnya. Karena teladan itulah kabar sukacita dengan sendirnya akan tersebar.
Jika kita mampu menghadapi aneka kesulitan dengan tetap tegar, dan tidak berpaling dari Tuhan, itu adalah sebuah kesaksian yang luar biasa. Dalam waktu singkat berita itu akan tersebar. Itu satu contoh. Pemimpin yang berani tegas melawan tindak korupsi, dalam waktu singkat menjadi terkenal, karena mereka bisa memberi kesaksian bahwa masih ada pemimpin yang jujur. Demikian juga keluarga kita. Di tengah maraknya perceraian, perselingkuhan, kalau kita berani setia dengan satu pasangan tanpa melirik yang lain, itu adalah sebuah kesaksian yang hebat. Mari kita lakukan.
Hong Kong, 5 Februari 2014, 11:26pm
Comments