Mana garam...mana garamm...

Ukuran ketajaman lidah tiap orang memang berbeda. Ada yg menyukai asin ada yg menggemari yg pedas. Ada yang suka asam tapi ada yg lebih memilih yg manis. Dalam kesemuanya itu, garam memegang peran yg penting. Takaran garam yg pas membuat segalanya sedap dan maknyus.
Nahhh, berkaitan dengan inilah Yesus berujar mengenai garam. Semua pengikut-Nya disebut garam dunia. Dia juga menyinggung soal garam yg tidak asin. Kalau garam itu tidak asin lagi maka tidak ada gunanya lagi selain dibuang.
Tentu saja saya tercengang dan kaget. Yesus menyebut saya garam. Tentu saya tidak bisa menjilatnya untuk membuktikan keasinannya. Bagaimanakah caranya agar kualitas garam dalam diri saya tidak hilang tetapi sebaliknya, mampu memberi daya sedap bagi sesama?
Saya menemukan ada empat hal yg mungkin dilakukan agar kualitas asin itu tetap terjaga dan berguna. Bahkan kalau saya malas sekalipun mungkin bisa melakukan satu hal pertama yang mendasar. Mari kita lihat satu persatu.

Pertama, mendasarkan hidup pada Yesus. 
Saya adalah seorang pengikut Yesus Kristus. Maka saya disebut orang Kristen. Nilai kekristenan saya bukan terletak pada simbol-simbol atau lambang yang saya kenakan. Bukan pula terletak pada pada ungkapan-ungkapan yang saya ucapkan. Bukan pada status WA, Line, WeChat, instagram, Twitter, FB, atau pada banyaknya tulisan berbau rohani yang saya buat. Bukan juga karena mulut saya berbuih-buih menyebut nama Tuhan. Nilai kekristenan saya terletak dalam hubungan pribadi saya dengan Tuhan. Semakin erat saya menjalin relasi pribadi dengan Tuhan, semakin saya mampu mencerap daya-daya yang hanya berasal dari-Nya.
Seperti rembulan di malam hari. Dia memancarkan sinar, bukan karena dia mengeluarkan sinar, tetapi karena dia telah mencerap sinar dari matahari dan kemudian memantulkannya. Juga seperti kunang-kunang di malam hari. Kita melihatnya memancarkan sinar berkelap-kelip. Bukan karena dia menghasilkan sinar, tetapi ada bagian tubuhnya yang mampu mencerap sinar matahari, dan pada malam hari berpendar terang.
Demikianlah pribadi yang memiliki kedekatan dengan Tuhan, dia akan mampu memancarkan cahaya yang dia serap dari Tuhan. Kita semua seperti rembulan dan Tuhan itu seumpama matahari. Kita mampu memendarkan cahaya karena kita mencerapnya dari Tuhan. Seperti yang dikatakan Santo Paulus, "aku tidak datang dengan kata-kata yang indah atau dengan hikmat untuk menyampaikan kesaksian Allah kepadamu. Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan." (1Kor 2:1-2)
Santo Paulus yang begitu hebat, mendapat semuanya dari Kristus. Dia telah mengosongkan dirinya sendiri agar kuasa Allah bekerja dalam dia, agar Roh Kudus sendiri yang bekerja. Dan kita melihat sendiri bahwa itu semua terjadi. Bahkan dia mengatakan semua yang pernah dimiliki itu seumpama sampah setelah dia mengenal Yesus. Betapa hebat kedekatannya dengan Yesus, sehingga dia hanya memancarkan cahaya dan keasinan yang dia serap dari Yesus Sang Matahari sejati.

Kedua, menjadi saksi Kristus.
Adalah hal yang wajar kalau sebagai pengikut Kristus saya harus juga menjadi saksi-Nya. Sebab iman akan Dia bukanlah sesuatu yang hanya saya simpan dalam hati, yang hanya sendiri yang tahu. Iman itu juga harus saya ungkapkan. Tentu saja bukan dengan cara yang norak, tetapi secara halus tetapi tegas sehingga orang tahu. 
Simbol-simbol keagamaan bisa kita kenakan, tentu saja secara wajar. Jika berlebihan hanya akan menjadi sebuah aksesoris tanpa makna. Yang mesti kita kenakan adalah sebuah prinsip yang dengan teguh kita pegang. Contoh sederhana, jika kita ditawari untuk ikut serta melakukan hal yang buruk, kita harus tegas menolak. Di situlah kita bisa menjadi saksi Kristus.

Ketiga, jalan hidup seorang Kristen.
Relasi pribadi dengan Kristus dan tuntutan menjadi saksi, tidak bisa dikesampingkan dengan jalan hidup seorang Kristen, seorang pengikut Kristus. Apa maksudnya. Hidup di tengah masyarakat yang sangat majemuk sangatlah tidak gampang. Ada arus yang begitu kuat yang merap menarik kita ke sana ke mari, sehingga kita hanyut tak tentu arah. Terkadang, karena takut kehilangan relasi pertemanan dan takut dikucilkan, saya memilih menutup mata terhadap nilai-nilai dan prinsip yang saya pegang. Saya memilih aman meskipun bertentangan dengan suara hati. Hal itu berkitan dengan sikap keluar. Bagaimana dengan sikap ke dalam diri?
Sikap ke dalam diri juga sama. Nilai-nilai dan prinsip hidup yang kita timba dari pergaulan dengan Yesus haruslah menjadi dasar semua tindakan. Contoh, kalau kita dipergunjingkan orang lain, difitnah, tentu sangat menyakitkan. Sikap apakah yang harus kita lakukan? Secara manusiawi kita akan marah. Tetapi kalau kita menempuh jalan yang ditunjukkan oleh Yesus, kita tidak memilih jalan marah atau bahkan balas dendam. Kita akan memilih jalan mendoakan dia/mereka. Kita memilih jalan untuk tetap tersenyum kepada mereka. Berdoa bagi orang-orang yang menyakiti hati kita. Itulah salah satu jalan yang harus ditempuhnoleh pengikut Yesus. Jalan yang harus ditempuh agar keasinan kita sungguh bekerja dan membuat asin komunitas.

Keempat, melayani yang menderita.
Relasi dengan Yesus yang sangat mendalam tidak akan ada gunanya jika tidak diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Relasi rohani mestimdiwujudkan dalam relasi jasmani yang kelihatan. Yesus mengataatakan bahkan kalau kita memberi makan orang yang miskin, kita sama dengan memberi makan Yesus. Kalau kita memberi jaket sesama yang kedinginan, kita sama dengan memberi jaket Yesus sendiri. Melayani sesama, terlebih yang menderita adalah perwujudan sejati sebuah relasi pribadi yang mendalam antara pengikut Yesus dengan Yesus sendiri.
Tantangannya banyak sekali. Misalnya, "kita sendiri saja susah, mana mungkin membNtu sesama!" "Saya sendiri membutuhkan pertolongan, bagaimana mungkin saya menolong orang lain!" Dan masih banyak lagi alasan-alasan yang kerap kita ungkapkan. Itu hanyalah tembok kenyamanan yang membuat kita enggan melompat keluar. 
Dalam kenyataannya, kita hanya memerlukan telinga yang tebal, hati yang lapang untuk mendengarkan mereka, ada bersama mereka, mengasihi mereka dengan tulus. Beata Teresa dari Kalkuta tidak memulai karya dengan uang melimpah. Dia memulai karya dengan cinta yang melimpah. Dia melakukan setiap hal yang kecil sekalipun dengan cinta yang besar. Tentu ini bisa kita contoh. 

Jika kita sungguh melakukan hal itu, yakinlah garam yang ada dalam diri kita akan dirasakan oleh sesama. Cahaya yang ada di dalam diri kita akan memncar, seperti rembulan di malam hari. Sehingga kLau kita pergi meninggalkan komunitas orang yang merasakan dampaknya. Mereka akan berteriak, "mana garam... Mana garamm..."

Hong Kong, 09 Februari 2014, 10:18pm


Comments

Ketut Astiti said…
Terimakasih renungannya, Mo Waris. Sangat gamblang dan mampu membuka mata agar mampu menjadi garam dan terang dalam hambar dan gelapnya kehidupan ini. Terimakasih, Mo. Mohon doanya,Mo..., agar kami semakin hari semakin giat mewartakan Kasih ALLAh dengan suka cita penuh.

Popular Posts