A Choice, Encounter the Cross day 2
Encounter the Cross
40 Days Lenten Journey
Banyak dari kita yang tahu sosok Mark Zuckerberg, sang pendiri Facebook dan almarhum Steve Job.
Keduanya dikenal sebagai seorang yang jenius dan kreatif. Keduanya juga mirip
dalam sisi penampilan. Mereka kerap kali berpenampilan sederhana, dan itu-itu
saja. Mark identic dengan celana jeans dan kaos oblong warna abu-abu. Sedangkan
Steve Job identic dengan celana jeans dan kaos yang menutup leher warna hitam.
Sewaktu Mark ditanya, mengapa dia suka dengan kaos
tersebut, jawabannya sangat sederhana. Dia tidak mau repot dengan pilihan di
pagi hari yang menyita pikiran. Dia memilih untuk tidak mau repot dengan urusan
kecil dan menggunakan pikrinnya untuk hal yang lebih besar.
Pengalaman serupa saya alami setiap minggu. Di
pastoran di mana saya tinggal memiliki juru masak yang libur setiap hari Rabu. Awalnya
saya senang. Setiap hari Rabu saya memiliki pilihan untuk makan apa yang saya
mau. Pergi ke warung membeli apa yang saya suka. Tetapi lama kelamaan hal ini
tidak menyenangkan lagi. Terkadang karena banyaknya pilihan, saya malah bingung
dan tidak bisa memilih. Pada akhirnya yang saya buat hanya merebus mie instan. Lebih
enak kalau ada juru masak, tinggal duduk dan menikmati apa yang dihidangkan.
Memilih adalah bagian dari hidup yang tak mungkin bias
dihindarkan. Dari melek mata hingga ingin tidur lagi, beraneka pilihan
dihidangkan dan membutuhkan kejelian untuk memilihnya. Ada yang memilih karena
sudah terbiasa demikian. Ada yang memilih karena kesukaan. Namun tak sedikit
yang memilih karena nilai guna yang lebih tinggi.
Ada pilihan yang gampang. Ada pilihan yang sulit. Namun
banyak pilihan yang gampang-gampang sulit. Kelihatan gampang namun sulit
dilakukan. Tricky! Karena yang lebih menentukan bukanlah apa yang dipilih,
tetapi kesetiaan untuk bertanggungjawab atas apa yang dipilih. Maka sebuah
pilihan haruslah menyadarkan akan adanya konsekuensi yang mengikuti di
belakangnya.
Jika pilihannya adalah antara hidup dan mati, maka
pilihan akan mudah jatuh kepada hidup. Yang sulit bukanlah memilih hidup,
tetapi bertanggungjawab atas pilihan itu. Bagi saya, persoalan baru muncul
ketika sebenarnya saya tidak memahami benar apa yang terbaik untuk saya. Apa yang
sungguh-sungguh bermakna dan berguna, bukan semata apa yang menyenangkan.
Pilihan demi pilihan itu pada akhirnya akan berujung
kepada self denial. Halah apalagi
ini. Saya suka memakai kata ini dalam khotbah, tetapi agak repot
menjelaskannya. Dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “penyangkalan diri”.
Konteksnya adalah ujaran dari Yesus, bahkan kalua kita mau mengikuti Dia dengan
setia, kita mesti menyangkal diri. Apa maksudnya?
Biasanya saya menghubungkan self denial dengan self
discovery. Penyangkalan diri adalah sebuah usaha untuk bisa menekan diri
yang sejati. Bagaimana bisa begitu? Mari kita menengok agak ke belakang. Ahhh,
bukan apa yang di belakangmu, tapi ke belakang, kepada awal mula penciptaan
manusia.
Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Itulah
diri manusia yang sebenar-benarnya. Serupa dan segambar dengan Allah. Tetapi diri
yang seperti itu dalam perjalanan waktu tersamar oleh ke-aku-an yang besar,
kehendak yang menggelora yang menghanguskan gambar istimewa yang ada. Yang tersisa
hanya diri gosong dipanggang nafsu. Maka sulit sekali mengenali gambar Allah
sebagai true self.
Nahhh…., di sinilah makna self denial itu, penyangkalan diri itu. Usaha melawan aneka gejolak
nafsu tak menentu untuk bisa menemukan kembali nilai diri yang bermutu. Kalua gambar
diri yang sejati adalah gambaran Allah sendiri, maka mesti dikoyakkan aneka cover
yang menghalangi gamabr Allah merekah indah. Proses pengoyakan itu menyakitkan.
Seperti koreng yang sudah mongering yang mengelupaskan kulit-kulit ari dan
menyisakan kulit baru. Kok bisa menggambarkan koreng ya? Ndak tahulah, mungkin
karena saya sering korengan, maka ungkapan koreng meluncur begitu saja.
Sepertinya catatan ini sudah makin membingungkan. Maka
baik kalua saya akhiri. Perjalanan masih panjang, masih hari kedua dari 40 hari
yang dijadwalkan. Semoga kita selamat sampai di tujuan. Karena hari ini hari
Kamis, tidak salah kalau memilih apa yang sedikit manis. Berlatih memilih dan
memilah agar berjumpa dengan diri sejati, yakni gambar Allah sendiri. Semuanya bisa
dimulai dengan memilih yang sederhana (simple),
bukan yang rumit-rumit dan berbelit.
Oh iya, sebelum beranjak pergi, saya kutipkan dulu
puisi dari Santa Theresia.
AKU menginginkan
kemanisan dan kemurnian
Untuk bersinar
di matamu
Tetapi segala
nilai yang Kuberikan padamu
Di atas
segalanya adalah Kesederhanaan belaka
(The Poetry, Ratu Surgawi kepada anaknya yang
terkasih)
Salam.
Comments