The true joy, Encounter the Cross, day 26
40 days Lenten Journey
Sahabat, setiap minggu berkunjung ke
rumah sakit, Kowloon Hospital. Hal ini
rutin saya lakukan setiap hari Selasa sebagai bagian dari pelayanan di paroki. Selain
itu saya juga melayani “panggilan darurat” dari beberapa rumah sakit di kawasan
di mana saya tinggal.
Di Kowloon Hospital ada dua pasien
yang tinggal di sana selama-lamanya. Penyebabnya adalah kesalahan dokter dalam
menangani mereka. Sebagai tanggung-jawab, pemerintah menanggung seluruh
pengobatan dan hidup, asalkan tetap tinggal di rumah sakit.
Dari dua orang itu, yang satu hanya
bisa berbaring di ranjang. Masih mengenali orang, tetapi tidak bisa berbuat
apa-apa. Yang satu bisa duduk di kursi roda. Bisa melakukan banyak hal, tetapi
harus di kursi roda.
Suatu hari, David, pasien yang duduk
di kursi roda, memberitahu saya dengan wajah ceria bahwa ada donator yang akan
menyumbang dia kursi roda yang baru. Kursi roda itu juga bukan manual tetapi
elektrik, sehingga dia bisa bepergian dengan lebih jauh. Dan dia mengungkapan
betapa gembira hatinya karena dengan kursi roda itu dia bisa ke Gereja, bisa
ikut perayaan Ekaristi. Mata saya basah karena haru mersakan kegembiraan dan
mendnegar harapannya bisa ke Gereja ikut perayaan Ekaristi. Sebuah kegembiraan
yang jarang saya jumpai pada orang-orang yang setiap minggu ke gereja.
Kegembiraan yang sama saya tanggkap
dari seorang buta yang disembuhkan oleh Yesus. Dia sungguh gembira karena
mendapat dua karunia luar biasa dari Yesus. Pertama adalah karunia kesembuhan
dari buta. Sekarang dia bisa melihat wajah kedua orangtuanya, bisa melihat
indahnya bunga-bunga. Bisa memandang rembang petang yang mencerabutkan warna
jingga. Aneka keindahan dan kecantikan itu hanya bisa dinikmati dengan mata. Dan
kini dia bisa melakukannya. Kebahagiaannya sungguh tak terkira.
Hadiah kedua adalah dibukakannya
mata hatinya. Begitu mata fisiknya bisa melihat Yesus, mata batinnya langsung
mengenali siapa Yesus itu. Yesus adalah Mesias, Putera Allah. Dia sungguh
bersuka cita tiada terkira. Bahkan dia rela “berkelahi” dengan orang-orang
Farisi dan
Saduki atas keyakinannya tersebut.
Saduki atas keyakinannya tersebut.
Lalu saya melihat diri saya sendiri.
Mencoba meneliti dari ujung jempol kaki hingga pucuk rambut di kepala. Oh iya,
saya baru memeriksakan kondisi kepala, kondisi isi dada, isi perut, dan
sekitarnya. Puji Tuhan, semua masih di tempanya masing-masing. Kepala saya
masih memiliki otak di dalamnya dan kondisinya masih baik-baik saja, meskipun
bentuk kepala saya nggak karu-karuan. Maka saya tidak bisa memlontoskan kepala,
karena akan nampak benjol di sana-sini.
Kondisi mata saya juga tidak
senormal mata orang lain. Antara mata kanan dan kiri tidaklah seimbang. Yang kanan
minusnya 12, sedangkan yang kiri hanya 2. Tentu saja kondisi ini membuat kerja
otak juga tidak normal. Sebagian saraf yang harusnya menerima segala pesan dari
mata kanan, kurang bekerja karena tidak banyak asupan informasi.
Kondisi gigi juga sudah tidak
sempurna. Pernah patah karena “menghantam” bak truk. Saluran hidung juga tidak
lurus, membuat kondisi ujung dalam hidung tidak bisa selalu bersih. Hal ini
akan berimbas kepada flu dan pilek.
Turun ke bawah, langsung yang paling
bawah, telapak kaki saya itu tergolong flat. Rata! Jadi kalau salah memakai
sepatu akan membuat badan cepat capek. Apalagi kalau terlalu banyak berdiri,
maka tungkai dan betis akan pegal sekali. Maka dahulu kala, ketika masih
mengajar di sekolah, saya sering merasa capek sekali. Sepulang dari sekolah
harus tidur, harus merebahkan badan mengistirahatkan “kentol”.
Itu kondisi fisik. Bagaimana dengan
kondisi kebatinan saya? Kondisi psikologis saya? Ahh sebaiknya tidak saya bahas
di sini.
Yang hendak saya bagikan di sini
adalah, meskipun saya memiliki fisik seperti itu, saya merasakan kasih sayang
Allah yang sungguh luar biasa. Tuhan mempertemukan saya dengan banyak orang
yang juga mencintai saya. Dari mereka, saya mendapatkan jalan untuk membetulkan
apa-apa yang kurang pas. Misalnya, bisa memilih sepatu yang cocok untuk kondisi
kaki saya sehingga mengurangi efek lelah, dst. Juga mengenai mata dan gigi.
Tentu saja saya gembira sekali. Saya
yakin sekali Allah bekerja melalui orang-orang tersebut. Mereka dihadirkan oleh
Tuhan sebagai sarana bagi-Nya untuk menyalurkan rahmat. Dan saya yang menerima
rahmat itu sungguh dipenuhi suka-cita.
Masih ada pertanyaan lain yang
muncul. Apakah saya juga menjadi sarana penyalur rahmat? Apakah orang-orang
yang ada di sekitar saya juga akan mendapatkan kegembiraan, merasakan sukacita?
Mungkin saya harus memhon rahmat iman kepada Tuhan, agar saya pun bisa menjadi
alatnya yang baik, yang berguna menyalurkan rahmat Allah, sehingga setiap
pribadi yang saya layani juga merasakan suka-cita.
Salam
Selamat berhari Minggu.
Hong Kong 26 Maret 2017
Comments