The prayer, Encounter the Cross, day 7
40 Days Lenten Journey
Ada beberapa pertanyaan praktis yang kerap
dimunculkan ketika seseorang berbicara tentang doa. Biasanya, hal mendasar yang
ditanyakan adalah bagaimana kita mesti berdoa. Tentu saja ada banyak jawaban
yang hebat yang bisa diberikan. Entah mengutip ajaran para guru doa yang
kesohor, maupun jawaban amatiran. Para guru doa itu misalnya para santo santa
yang terkenal dengan hidup doanya. Sedangkan
jawaban amatiran itu yaaa misalnya saya.
Sebenarnya, topik doa/berdoa itu tidaklah
sangat special. Karena telah dilakukan oleh semua orang yang mengaku diri ber-Tuhan.
Karena bagi mereka yang tidak ber-Tuhan, mungkin mereka tidak memiliki kosa
kata doa/berdoa. Mungkin mereka memiliki kosa kata berharap.
Menurut saya, berdoa yang paling baik itu
adalah seperti yang dilakukan oleh anak-anak yang belum mampu membaca. Mereka tidak
membaca teks-teks doa. Mereka mengungkapkan apa yang ada dalam hati mereka. Mereka
tidak dijebak oleh rumusan-rumusan indah. Tetapi oleh desakan hati yang
gelisah.
Saya mencoba sekuat tenaga mengingat doa-doa
yang saya lakukan di masa kecil, di masa belum mampu membaca. Ternyata ingatan
saya tidak mampu menembusnya. Sudah terlalu banyak keropos dalam
dinding-dinding memory yang yang membuat sebagian ingatan itu hilang. Mungkin juga
akibat dari kenakalan-kenakalan saya, sehingga ingatan-ingatan indah masa
kanak-kanak itu tergerus sirna.
Tetapi saya memiliki banyak carita mengenai
anak-anak yang berdoa dengan polosnya. Anak-anak yang dengan polos berseru, “Yesus,
mengapa Engkau tidak mau turun dari Salib itu? Aku ingin memeluk-Mu.” Mungkin kita
tertawa mendengarnya, tetapi itulah suara hatinya yang ingin memeluk Yesus yang
tersalib itu. Mungkin kita tak akan pernah berpikir untuk berkata seperti itu.
Berikutnya adalah doa yang diajarkan oleh Yesus
sendiri. Yesus mengajarkan sebuah doa karena para murid meminta. “Tuhan,
ajarlah kami berdoa. Dan sebelum Yesus memulai, Dia mengingatkan, “Janganlah
bertele-tele, berbuaih-buih, tak perlu segala kata indah yang menari-nari
puitis itu.” Eh, Yesus nggak ngomong begini sih, tetapi intinya, dalam doamu
buatlah sederhana, padat dan jelas isinya. Tidak perlu melakukannya seperti
orang munafik. Begitu pesan-Nya.
Lalu mulailah Yesus mengajar doa yang kita
kenal sebagai “Doa Bapa Kami”. Doa sederhana namun sangat mendasar. Yang menggambarkan
hubungan terdalam manusia dengan Tuhannya. Dan sebenarnya, kalau seseorang
memahami doa ini, dia tak akan membutuhkan yang lainnya lagi. Karena semuanya
sudah ditanggung-Nya, setiap hari.
Namun kebanyakan dari kita selalu merasa
kurang. Misalnya, “berilah kami rejeki pada hari ini.” Kalau Tuhan sudah
memberikan rejeki yang cukup untuk hari ini, setiap hari, apakah yang perlu
dirisaukan lagi? Karena manusia ingin lebih. Mereka berseru, berilah kami
rejeki hari ini yang cukup untuk hidup seribu hari lagi. Lha, kalau demikian
khan jatah 999 orang lain terampas karena kita minta, Karena mereka juga
membutuhkan rejeki mereka untuk hari ini juga.
Ada pula hal yang sulit dilakukan meskipun
selalu kita ucapkan, yahh karena sudah satu paket. Pertama adalah, “jadilah
kehendak-Mu di atas bumi ini seperti di dalam surga.” Kita lancer mengucapkannya
tetapi berat sekali menerimanya. Menerima keputusan dari kehendak Tuhan. Yang kerap
kita lakukan adalah menyodorkan proposal kepada Tuhan, agar Tuhan berkenan
memberikan apa yang menjadi kehendak dan rencana kita. Maka yang sering terjadi
adalah, “jadikanlah kehendakku di atas surga seperti yang aku rancangkan di
atas bumi.” Kita merasa pantas menyuruh Tuhan, menjadikan Tuhan sebagai tukang
pemenuh kebutuhan. Lha kalau begitu yang menjadi Tuhan itu kita atau Dia?
Kedua adalah soal memaafkan. “Ampunilah
kesalahan kami seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami.” Wuihhh,
ini dalam sekali dan berat sekali. Mungkin kita kerap tidak sadar
mengucapkannya. Lha kalau hati kita berat mengampuni, bagaimana Tuhan akan
mengampuni kita, lha ukurannya adalah apa yang kita lakukan.
Yesus ini memang hebat sekali. Dia mengajar
dengan cara yang halus. Maka kalau kita sungguh mengharapkan pengampunan dari
Tuhan, mau tidak mau kita harus mengampuni sesama yang melakukan kesalahan pada
kita. Ini sulit. Tidak perlu dibahas di sini, contohnya buanyak sekali. Karena
pada dasarnya orang itu suka menyimpan rasa sakit. “Enak saja mengampuni, dia
telah melukai hatiku, meyakitiku, membuatku menderita. Huh, aku tak akan
memaafkannya, mengampuninya. Enak saja!”
Mereka itu tidak sadar, dengan sikap semacam
itu, mereka menyimpan nyeri yang tak berujung di dalam hati. Menyimpan sekat
yang mempersempit aliran damai merambat di dalam hati. Mereka memelihara racun
yang ujung-ujungnya kanker dan stroke. Padahal pengampunan itu free charge! Gratis.
Tetapi tetap tidak mau melakukannya.
Sudahlah, lebih baik kita mulai belajar
melakukan saja. Belajar berdoa seperti anak kecil yang mengungkapkan apa yang
menjadi isi hatinya. Tak terbatas pada sekat-sekat kata yang tersusun rapi di
buku-buku doa. Yang kedua, masuk ke dalam kamar dan mulai membuka hati untuk
bercakap mesra dengan Yang Kuasa. Oh iya, ini terakhir, jangan berseru kepada
Tuhan, “Tuhan jangan masukkan kami ke dalam pencobaan, karena kami bisa masuk
sendiri.” Jangan katakana itu.
Salam
Hong Kong, 7 Maret 2017
Comments