The Pursuit, Encounter the Cross, day 4
40 Days Lenten Journey
Pernah nggak
kalian, pas badan capek, pikiran kusut, hati galau, terus tiba-tiba jadi kayak
orang yang bijak bertanya kepada diri sendiri, “apa sih yang kamu cari?”
Mestinya pernah
ya. Atau mungkin orang lain yang bertanya. Misalnya, “gek seng kok golek’i ki
yo opo tho le/nduk?” apa sih yang kamu cari? Mending kalau kita tahu apa yang
dicari. Dalam banyak kasus, meski jiwa raga remuk redam lemah lunglai kusut
masai pun tak tahu apa yang dicari. Apa nggak ngenes?
Biasanya sih
yang dicari itu yang menyenangkan, yang enak, yang memenuhi kebutuhan, yang
(mungkin) berguna, dan sejenisnya. Dan kebanyakan bersifat sementara. Artinya,
ya bersifat sekarang dan di sini. Jarang sekali yang sudah dengan sangat gambling
memahami apa yang dicari yang berkaitan dengan kehidupan yg bersifat kekal. Bahkan
kebanyakan tidak memedulikannya.
Secara sederhana
dipahami bahwa orang akan mencari apa yang dibutuhkan. Abraham Maslow, seorang
ahli psikologi, pada tahun 1943 mengemukakan pendapat mengenai tingkat-tingkat
kebutuhan manusia. Yg berada di bagian bawah adalah apa-apa yang berkaitan
dengan kebutuhan fisik dan psikologis. Makanan, tempat tinggal, dan sejenisnya.
Kemudian ketika segala kebutuhan itu terpenuhi, maka naiklah kepada kebutuhan
akan keamanan. Kebutuhan akan rasa aman baik secara fisik maupun batin. Lalu kebutuhan
berikutnya adalah kebutuhan akan kasih saying, kebutuhan penghargaan dan
pengungkapan diri.
Secara umum, apa
yang diungkapkan oleh Maslow ini bisa kita aminkan. Apa yang kita upayakan saat
ini, apa yang kita kejar sampai babak belur, pastilah berkaitan dengan apa yang
kita butuhkan. Kemudian kita bisa mengukur, sampai di tingkat manakah kebutuhan
kita?
Namun kalau
menelisik seluruh kebutuhan yang dipaparkan Maslow, ada satu kebutuhan yang
sepertinya belum masuk. Yaitu kebutuhan akan kehidupan kekal. Mungkin seseorang
yang paham dalam bisa psikologi akan mampu menjawabnya, namun saya belum mampu
melihatnya. Maka baiklah kita beranjak dari Maslow. Kita menengok kepada Yesus
saja ketika Dia berjumpa dengan Levi.
Levi ini seorang
pegawai pajak. Sehari-hari berurusan dengan uang. Dia dibenci oleh orang
kebanyakan karena dianggap sebagai pendosa. Nah, ketika Yesus lewat depan
kantornya, Levi ini malah diajak pergi oleh Yesus. Diajak untuk ikut
dengan-Nya. Herannya Levi ini lha kok ya nurut. Dia tinggalkan segalanya dan
mengikuti Yesus. Rupanya dia menemukan apa yang mungkin selama ini sangat
diharapkannya, apa yang sungguh dia cari.
Kebutuhan akan
persatuan dengan Allah. Levi bisa meninggalkan segalanya karena dia diajak
langsung oleh Yesus, “ikutlah Aku!”. Siapa yang tidak mau kalau diajak Dia yang
adalah Jalan kehidupan itu? Siapa yang tidak jenggelak beranjak pergi, kalau
diajak berjalan di jalan kebenaran?
Maka nyanyian
pemazmur sungguh mencerahkan, memberi inspirasi. Ajarlah aku akan
jalan-jalan-Mu, ya Tuhan. Agar aku berjalan di jalan kebenaran.
Persoalannya,
Tuhan tidak akan dating ujug-ujug dan mengajar saya, dan juga Anda. Dia memkai
banyak cara dan sudah tersebar di berbagai tempat. Tinggal kita meniatkan diri
memungut satu persatu. Itu juga kalau mau, kalau tidak ya sudah. Selesai.
Bagi saya
mengenal jalan-jalan Tuhan itu tak ubahnya mengenal Tuhan sendiri. Dan jalan
paling gampang mengenal Tuhan adalah membacai kisahnya, riwayatnya,
cerita-ceritanya yang tertulis indah dalam Kitab Suci. Tentu tidak cukup hanya
membaca, harus merenungkannya, mengendapkannya, menyimpannya dalam hati agar
itu menjadi milik pribadi.
Lalu kita juga
perlu belajar dari orang-orang yang telah terlebih dahulu berjalan di
jalan-jalan Tuhan ini. Ada banyak kisah orang Kudus yang bisa kita teladan suri
hidupnya. Ada banyak ajaran mereka yang bisa kita pakai sebagai sarana mengerti
jalan-jalan Tuhan. Maka menyempatkan diri membaca buku-buku rohani sangatlah
berguna.
Hal lain adalah
menyempatkan diri, menarik diri dari keramaian dunia, menyepi barang dua tiga hari,
kalau sungguh-sungguh nggak bisa ya sehari saja; menyepi, retret, membiarkan
Tuhan sendiri yang berbicara, yang mengajar.
Ah, sudah
cukuplah cerita saya hari ini yang agar terlambat. Mohon dimaafkan, karena
masih mencari ini dan itu yang belum juga ketemu.
Salam
Hong Kong 4
Maret 2017
Comments