Comfort Zone, Encounter the Cross day 12
40 days Lenten Journey
Setiap orang memiliki “tempat yang
nyaman” untuk ditinggali. Ini tidak benar-benar sebuah tempat, meskipun bisa
jadi memang sebuah tempat. Ini berupa apa saja yang sifatnya memberi kenyamanan
dan kita enggan meninggalkannya. Seperti guyonan, “udah PW nih, males pindah”. PW itu singkatan dari Posisi Wuenak. Artinya sudah nyaman
banget, maka enggan pindah.
Pekerjaan juga bisa menjadi comfort zone. Ada orang yang tahan
bekerja di satu tempat, satu posisi, selama puluhan tahun. Mereka tidak bisa
dipindah. Karena sudah terlalu nyaman, sudah tertanan dan mengakar. Bahkan ketika
hendak dipindah ke tempat yang lebih baikpun akan kesulitan, karena sudah
terlalu nyaman.
Dalam sejarah keselamatan, Allah
memiliki rencana yang Indah. Dimulai dengan kisah penciptaan. Namun segala
rencana indah itu hancur berantakan karena manusia tidak taat dan memilih
berdosa. Akhirnya manusia diusir dari taman.
Kemudian mulailah Allah membuat
perjanjian dengan Abram (nanti setelah perjanjian, Abram menjadi Abraham). Allah
meminta Abraham keluar dari zona nyamannya. Abraham diminta pergi dari rumah keluarganya,
dari kampong halamannya, dari segala yang membuatnya betah untuk tinggal.
Untuk itu Allah akan memberkati
Abraham dengan menjanjikan tiga hal. Pertama keturunan yang besar sehingga dia
bisa menjadi bangsa yang besar. Kedua, nama Abraham akan masyur. Dan yang
ketiga, Abraham akan menjadi berkat bagi yang lain. Bukan hanya itu, Allah juga
berjanji akan memberkati orang-orang yang memberkati Abraham.
Abraham mendengarkan permintaan
Allah ini. Dia pergi dari tanah kelahirannya menuju suatu tempat yang akan
ditunjukkan Tuhan kepadanya. Dia keluar dari kenyamanannya untuk mendengakan
Tuhan. Dan kemudian dia sungguh menjadi berkat bagi yang lain karena dia
mendengarkan Tuhan.
Hal yang sama kembali disuarakan
oleh Tuhan. Kali ini di atas Gunung Tabor. Yang mendengarkan adalah Petrus,
Yohanes dan Yakobus. Mereka diminta mendengarkan Yesus yang adalah kesukaan
Allah Bapa. “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah DIA!”
Pengalaman di atas Gunung Tabor itu
adalah pengalaman mistik yang luar biasa. Dan setiap orang niscaya memiliki
pengalaman “puncak” ini. Meski mungkin hanya sekali dalam hidup. Pengalaman dijamah
Allah, pengalaman didengarkan oleh Allah, sehingga Allah terasa begitu dekat,
begitu hangat mendekap.
Mungkin pengalaman dalam suatu
retret. Mungkin pengalaman ketika pertama kali menerima komuni suci. Atau pengalaman
kembali lagi membersihkan diri melalui pengakuan dosa, setelah sekian lama
lalai. Atau pengalaman di kala sendirian saja bertelut di gereja memberihan
seluruh hati kepada Tuhan.
Setiap orang memiliki pengalaman
puncak ini. Apakah pentingnya pengalaman ini sehingga Yesus perlu mengingatkan
kita kembali? Pengalaman ini penting sebagai penguat di kala menghadapi beban
berat.
Yesus perlu memberikan pengalaman
puncak itu kepada tiga murid-Nya sebagai persiapan akan sengsara-Nya. Ketika saat
itu terjadi, iman para murid niscaya akan tergoncang. Yesus berharap, dengan
pengalaman puncak itu mereka mampu menenangkan saudara-saudara yang lain.
Satu hal yang juga perlu dicatat
adalah, Yesus tidak menghendaki para muridnya terus tinggal di puncak Tabor.
Yesus menyentuh mereka, menyadarkan mereka, mengembalikan mereka kepada
realitas alami. Pengalaman puncak itu hanya sesaat saja. Namun diharapkan
memiliki dampak yang besar. Setelah pengalaman puncak itu, para murid diajak
pergi.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita
siap meninggalkan kenyamanan kita apabila Tuhan menghendaki kita pergi? Apakah kita
rela kalau seandainya Tuhan meminta kita meninggalkan “puncak Tabor’ dan
kembali ke realitas shari-hari?
Mari kita bermazmur Mazmur 33:
Sebab firman TUHAN
itu benar,
segala sesuatu dikerjakan-Nya dengan kesetiaan.
Ia senang kepada
keadilan dan hukum;
bumi penuh dengan kasih setia TUHAN.
Oleh firman TUHAN
langit telah dijadikan,
oleh nafas dari mulut-Nya segala tentaranya.
Ia mengumpulkan air
laut seperti dalam bendungan,
Ia menaruh samudera raya ke dalam wadah.
Biarlah segenap
bumi takut kepada TUHAN,
biarlah semua penduduk dunia gentar terhadap Dia!
Sebab Dia
berfirman, maka semuanya jadi;
Dia memberi perintah, maka semuanya ada.
TUHAN menggagalkan
rencana bangsa-bangsa;
Ia meniadakan rancangan suku-suku bangsa;
tetapi rencana
TUHAN tetap selama-lamanya,
rancangan hati-Nya turun-temurun.
Berbahagialah
bangsa, yang Allahnya ialah TUHAN,
suku bangsa yang dipilih-Nya menjadi milik-Nya sendiri!
TUHAN memandang
dari sorga,
Ia melihat semua anak manusia;
dari tempat
kediaman-Nya Ia menilik
semua penduduk bumi.
Dia yang membentuk
hati mereka sekalian,
yang memperhatikan segala pekerjaan mereka.
Seorang raja tidak
akan selamat oleh besarnya kuasa;
seorang pahlawan tidak akan tertolong oleh besarnya kekuatan.
Kuda adalah harapan
sia-sia untuk mencapai kemenangan,
yang sekalipun besar ketangkasannya tidak dapat memberi keluputan.
Sesungguhnya, mata
TUHAN tertuju kepada mereka yang takut akan Dia,
kepada mereka yang berharap akan kasih setia-Nya,
untuk melepaskan
jiwa mereka dari pada maut
dan memelihara hidup mereka pada masa kelaparan.
Jiwa kita
menanti-nantikan TUHAN.
Dialah penolong kita dan perisai kita!
Ya, karena Dia hati
kita bersukacita,
sebab kepada nama-Nya yang kudus kita percaya.
Kasih setia-Mu, ya
TUHAN, kiranya menyertai kami,
seperti kami berharap kepada-Mu.
Salam,
Hong Kong 12 Maret 2017
Comments