Prayer is Life, Encounter the Cross day 8
40 Days Lenten Journey
Manusia dan Tanda
Hidup itu penuh dengan tanda-tanda. Manusia
diharapkan cerdas membaca tanda-tanda. Mulai dari nelayan hingga ilmuwan,
petani hingga politisi, diharapkan mampu membaca tanda-tanda yang ada di
sekitar mereka. Kalau bukan tanda alam, ya tanda-tanda yang diciptakan oleh manusia.
Dahulu kala menusia membaca tanda di langit untuk menentukan
arah. Mereka juga merasakan hembusan angina untuk mengukur kecepatan. Sekarang
manusia juga harus belajar membaca tanda arah, semisal kompas dan peta untuk
menentukan arah.
Alam memberi tanda dan manusia merasakan. Kepekaan
akan tanda-tanda akan menolong manusia dalam banyak perkara. Kemampuan membaca
dan menafsirkan tanda-tanda alam juga menghindarkan manusia dari berbagai mara
bahaya. Mereka yang tinggal di pegunungan, belajar membaca tanda-tanda dan
perilaku binatang di hutan. Mereka yang tinggal di pesisir pantai membaca
tanda-tanda angin dan ombak untuk memulai pekerjaan.
Hidup doa dan Tanda
Dalam kisah perbincangan dengan orang-orang
yang meminta tanda, Yesus menegaskan bahwa kepada mereka tidak akan diberikan
tanda, selain tanda yang pernah diberikan kepada Yunus/Jonah berabad silam.
Kisah Yunus adalah kisah fenomenal. Ia hidup di kota besar metropolitan,
Ninive. Kota itu sudah berdiri kokoh ratusan tahun sebelum Masehi dan masih ada
hingga sekarang. Mungkin sekarang agak hancur karena perang dan diperparah oleh
penghancuran yang dilakukan ISIS.
Kisah yang legendaris, Yunus melaksanakan
perintah Tuhan untuk mewartakan pertobatan. Namun, ketika orang-orang bertobat,
Yunus malah kecewa karena Allah tidak jadi menghukum mereka. Yunus sewot karena
orang-orang Ninive bisa langsung bertobat dan Allah membatalkan rencana
hukuman.
Oh iya, ada kisah yang agak menggelikan ketika
Yunus sewot tidak karuan. Jadi, sambal menunggu apa yang akan terjadi atas kota
itu, Yunus pergi ke sebelah timur. Di sana dia membuat sebuah gubuk. Hatinya sebenarnya
jengkel karena Allah begitu baik. Ini seru, jengkel kok kepada Allah yang
begitu baik. Baiklah kita ikuti lanjutannya.
Kemudian muncullah keisengan dari Allah, Dia
membuat sebuha pohon jarak yang tumbuh di di dekat gubuk si Yunus. Dia sangat
sennag melihat pohon jarak itu. Di sana dia bisa berteduh di siang hari sambil
memandang jauh ke arah kota.
Lalu Tuhan membuat seekor ulat. Dalam sekejap
dia memakan habis daun-daun pohon jarak itu. Melihat itu marahlah Yunus. Marah begitu
hebat, bahkan seolah ingin mati saja rasanya. Melihat itu bertanyalah Tuhan.
“Yunus, kamu kenapa marah begitu?”
Dengan bersungut, Yunus menjawab, “Iya, karena
tidak ada lagi tempat aku bernanung.”
Terkekehlah Tuhan mendengar jawaban Yunus. Yoalah,
Nusss… Nuss. Lha kmau itu lho, hanya gara-gara pohon jarak daunnya dimakan ulat
saja kok marah begitu hebat sampai mau mati. Memangnya kamu yang menghidupkan
pohon itu? Memangnya kamu yang menciptakan ulat itu? Begitu saja sudah
mendongkol sepertiikan tongkol. Lha AKU ini, apa tidak lebih mongkok hatiku
melihat orang-orang Ninive itu? Mereka itu bisa mendengarkan pewartaanmu dan
bertobat. Padahal membedakan mana tangan kiri dan mana tangan kanan saja mereka
tidak tahu.
Lalu TUHAN Allah pergi meninggalkan Yunus.
Sebenarnya, kisah ngambegnya Yunus ini kurang
menarik. Lucu sih iya, tetapi kurang menarik. Yang menarik adalah bertobatnya
Raja Ninive. Bukan hanya dia sendiri yang bertobat, dia juga mengajak seluruh
rakyatnya bertobat, juga hewan peliharaannya. Dia tidak bertanya kepada Yunus
yang memberi warta akan adanya bencana. Dia tidak mencobai Tuhan dengan meminta
tanda. Raja itu percaya dan kembali (baca bertobat) kepada Tuhan. Itulah satu-satunya
jalan, kembali kepada Tuhan. Mungkin masih segar dalam ingatan kita upacara
pengolesan abu pada hari Rabu lalu. Sembari mengoles abu, imam berkata, “bertobatlah
dan percayalah kepada Injil.”
Salah satu tanda bahwa kehidupan doa yangs ehat
adalah kalau dalam doa tidak meminta sebuah tanda. Banyak orang dalam doanya
mereka meminta tanda. Bahasanya sih keren, meminta petunjuk kepada Tuhan. Biarlah
Tuhan sendiri yang menentukan. Misalnya, “Tuhan, kalau dia memang jodohku
tunjukkanlah tandanya.” Lhah ini namanya mencobai Tuhan.
Doa adalah sebuah relasi personal dengan Tuhan.
Sebuah relasi dengan seorang pribadi yang Maha Agung. Seorang pribadi yang
jauhhhhh lebih bijaksana dari Salomo. Kalau dulu ratu dari Selatan datang
kepada Salomo untuk mendengarkan petuah, Yesus jauh lebih besar dari Salomo. Apa
kita mau datang dan mendengarkan petuah dariNya? Atau kita sibuk meminta tanda
kepada-Nya?
Doa itu hidup itu sendiri. Karena relasi dengan
Allah tidaklah terputus hanya soal kebutuhan belaka. Relasi yang mesti terus
dijalin waktu siang dan malam, di waktu susah dan senang, sehat dan sakit,
serta dalam untung dan malang.
Kemarin saya memberi gambaran mengenai doa yang
diungkapkan oleh anak-anak. Doa yang polos yang keluar dari hati yang tidak
terpaku pada teks-teks yang indah memesona. Doa itu menjadi sungguh bermakna
karena nyata, dirasa dan memberi makna. Doa itu bukan sekadar kata-kata yang
dirangkai bak mantera. Bukan juga sekadar kesempatan tatkala kita duduk bersila
di hadapan-Nya. Tetapi keseluruhan hidup sepanjang masa.
Kalau orang-orang Ninive itu bertonbat hanya
karena mendengar pewartaan Yunus, apakah kita tidak akan bertobat kalau Yesus
jauh lebih besar dari Yunus. Apakah kita masih akan berkata, “kapan Tuhan
memintaku bertobat seperti Yunus meminta orang-orang ninive bertobat?”
Mungkin perlu saya gunakan kata-kata dari kampong
saya, “dengkulmu amoh!” masihkah tak kau dengar seruan Yesus? Yang terus
bergema di dalam hatimu, memintamu kembali. Pulanglah, nak. Jalanmu telah
tersesat jauh.
Salam
Hong Kong, 8 Maret 2017
Comments