Like father like son, Encounter the Cross, day 29
40 Days Lenten Journey
Saya tidak memiliki anak, karena saya tidak
menikah. Tetapi saya memiliki seorang keponakan yang sangat mirip dengan saya. Bahkan
suatu saat saya pernah memasang fotonya sebagai foto profil saya dan banyak
yang mengira bahwa itu adalah foto masa kecil saya.
Karena saya mengenal secara dekat keponakan
hanya pas liburan, maka tidak banyak yang bisa saya mengerti dari dirinya. Tetapi
dari yang sedikit itu saya bisa menyimpulkan bahwa keponakan saya ini mirip
dengan saya bukan hanya secara fisik, tetapi juga sifat-sifatnya. Terlebih sifat-sifat
yang buruk. Kalau sifat yang baik pasti dibawa oleh bapaknya.
Sebaiknya tidak saya sebutkan di sini apa saja
sifat-sifat buruknya. Khan kasihan dia kalau suatu hari nanti membaca catatan
pakdhenya, ternyata pernah mengumbar kejelakan dirinya. Khan tidak bagus. Cukuplah
diketahui kalau kejelekan dia mirip banget dengan kejelekan saya. Melihat polahnya,
saya seperti berdiri di depan cermin. “Itu gue banget!” kata saya dalam hati.
Rupanya gen dari orangtua saya sangatlah kuat,
bahkan sampai cucu-pun mirip. Dengan bercanda saya sering berujar bahwa
orangtua saya itu kurang kreatif. Memiliki anak tiga semuanya mirip. Bahkan sampai
keturunan ketiga juga masih mirip. Tetapi enaknya, menjadikan keluarga kami
mudah dikenali.
Ini cerita saya dengan keponakan. Padahal saya
ingin bercerita mengenai hubungan antara ayah dan anaknya. Sebenarnya akan
bagus kalau saya bercerita tentang saya dan bapak saya. Tetapi setelah saya
timbang-timbang, hmmm kayaknya belum saatnya. Nanti saja saya membuat tulisan
mengenai bapak saya. Kalau mengenai ibu, saya sudah beberapa kali menulis
tentang beliau.
Hubungan antara bapak dengan anak lelakinya itu
special. Saya harus menyebut demikian, karena kalau dibandingkan antara
hubungan seorang bapak dengan anak perempuannya itu berbeda. Entah mengapa bisa
demikian. Setidaknya saya merasakan dan melihat bagaimana bapak saya bersikap
terhadap saya (dulu) dan terhadap adik perempuan saya. Bahkan saya sangat
percaya, adik perempuan saya mengalami seorang bapak yang berbeda dengan apa
yang saya alami.
Sebenarnya tidak terlalu adil hanya
menyempitkan relasi seorang bapak dengan anak lelakinya. Akan lebih adil kalau menyebut
relasi orangtua dan anak-anaknya. Orangtua yang saya pahami adalah yang terdiri
dari seorang bapak/suami dan seorang ibu/istri. Karena pada saat ini banyak
sekali keluarga yang hanya memiliki orangtua tunggal. Entah hanya seorang bapak
saja atau ibu saja. Bahkan seorang psikolog Jerman, Alexander Mitscherlich
(1908-1982) pada tahun 1963 menerbitkan sebuah buku berjudul “Masyarakat tanpa
Ayah”. Hanya untuk menggambarkan betapa banyaknya keluarga yang sebenarnya sudah
tidak ideal lagi.
Baik atau buruk sebuah relasi antara orangtua
dengan anak-anaknya bisa kelihatan saat itu, tetapi kualitasnya hanya bisa diketahui ketika anak-anaknya sudah dewasa. Apakah
yang mereka lakukan mencerimankan apa yang diajarkan di dalam keluarga. Apakah mereka
memegang nilai-nilai yang secara hakiki ditanamkan sejak kecil atau tidak.
Sahabat, kalian pasti mengenal sosok Pak Ahok. Dalam banyak
kesempatan beliau selalu mengutip ajaran orangtuanya sebagai dasar segala
tindakannya. Bisa dikatakan bahwa dalam setiap kesempatan beliau akan berkata, “Bapak
saya mengajarkan…”. Hal ini adalah pertanda ada relasi yang sangat baik pada
masa yang silam, yang bahkan sangat membekas dalam diri anak-anaknya.
Nah, bagaimanakah relasi Yesus dengan
Bapak-Nya? Dalam banyak kesempatan, Yesus menunjukkan bahwa relasinya begitu
dekat, begitu intim. Pernah Yesus berkata bahwa barang siapa melihat Dia,
mereka melihat Bapa. Karena Dia dan Bapa satu. Hal ini menunjukkan betapa
dekatnya relasi yang terjalin.
Kita juga paham bahwa tidak semua orangtua
membeberkan rahasia mereka kepada anak-anaknya. Hanya mereka yang memiliki
hubungan sangat intim yang membuka semua rahasia mereka kepada anak-anaknya. Dan
dengan bangga Yesus berkata bahwa Bapak-Nya membeberkan semua rahasia
kepada-Nya. Hal itu juga pertanda lain betapa cinta yang menjadi landasan relasi
mereka itu sangatlah intim. Hal ini pula yang membuat Yesus sangat yakin untuk
melakukan semua kehendak Bapa-Nya, bahkan sampai mati.
Sebagai penutup cerita, saya ingin menyampaikan
apa yang sudah sangat biasa kita dengar. Misalnya, “anak siapa sih ini, kok
lucu banget”, “anak ini kok nakal sekali, apa di rumah tidak diajari sopan
santun!”, dan ujaran-ujaran serupa. Bahwa orangtua dimuliakan atau dipermalukan
oleh tindakan anak-anaknya.
Kalau kita menyebut diri “anak-anak Tuhan”,
tentu Tuhan akan dipermuliakan kalau tindakan-tindakan kita juga baik. Tetapi kalau
sebaliknya, maka cercaan yang akan diterima. Misalnya, “ngakunya anak Tuhan,
tetapi kok begitu…?” Mungkin perlu sekali lagi menyadari hubungan mesra kita
dengan-Nya. Sehingga kita bisa membanggakan “Orangtua” kita.
Salam
Hong Kong, 29 Maret 2017
Comments