be Perfect, Encounter the Cross, day 11
40 Days Lenten Journey
Sebenarnya, seperti apa sih menjadi manusia
yang sempurna itu? Iya, menjadi manusia sempurna, seperti apa sih? Mungkin akan
seperti ini: berkecukupan secara materi, berpenampilan menarik, berotak
cemerlang, memiliki banyak bakat, baik hati, rendah hati, suka menolong, (rajin
menabung…) dst, bisa Anda tambah sendiri. Apakah seperti itu yang disebut manusia
sempurna?
Maka tepatlah kalau dikatakan “tak ada manusia
yang sempurna”. Karena di mata orang lain, kita selalu memiliki kekurangan. Atau
bahkan menurut anggapan kita sendiri, kita memiliki banyak kekurangan dan
teramat jauh dari kata sempurna. Nah, jika dalam kenyataan tidak manusia yang
sempurna, bagaimana seseorang bisa menjadi sempurna? Bagaimana manusia bisa
mengupayakan dirinya menjadi sempurna?
Itulah sebabnya Yesus tidak memakai manusia
sebagai ukuran kesempurnaan. Yesus memakai “Bapa-Nya” sebagai ukuran
kesempurnaan. Dan Yesus sangat kreatif serta cerdik dalam menggunakan pilihan
kata. Dia menyebut Bapa-Nya itu sebagai Bapa kita juga. Maka kesannya menjadi
kebih dekat dan mungkin iuntuk dilakukan. Jadilah
sempurna seperti halnya Bapamu yang di surga sempurna adanya.
Tetapi persoalan utama belum terjawab,
bagaimanakah menjadi manusia sempurna itu? Karena ukuran kesempurnaan adalah
Bapa di surga, maka harus diuraikan terlebih dahulu segala aspek kesempurnaannya.
Atau kita urai sedikit apa yang menajdi latar belakang hingga muncul perintah
untuk menjadi sempurna ini.
Pertama, perintah menjadi sempurna itu adalah
kesimpulan akhir dari perintah mengasihi tetangga atau sesama. Kisah ini sudah
menjadi perintah lama yang bisa kita baca dalam Kitab Imamat 19:18. Konteksnya adalah
menjaga keutuhan komunitas, yaitu Bangsa Israel. Maka Musa memerintahkan agar
mereka tidak menuntut teman sebangsa dan membals dendam. Lebih dari itu mereka harus
mengasihi seperti halnya mengasihi diri sendiri.
Nah, Yesus membawa perintah ini ke tingkat yang
lebih tinggi yaitu mencintai musuh. Hanya dengan itu mereka mampu menjadi
anak-anak Allah. Yaitu memiliki kasih yang melebihi batas. Bahkan batas perkawanan
sekalipun.
Lebih lanjut Yesus memberi gambaran yang sangat
jelas, yaitu soal berlaku kasih dalam hidup sehari-hari. Misalnya dalam memberi
salam. Kalau kita hanya memberi salam kepada orang yang mengsihi kita, sedang
kepada orang yang melukai hati kita, kita membuang muka, apakah lebihnya kita
dengan orang-orang jahat dan pendosa? Wuihhh, kata-kata Yesus ini sungguh mak-jleb. Nembuh rongga jantung sampai
punggung. Telak banget.
Tuhan memberi hujan kepada semua orang, tidak
membedakan mereka jahat atau baik, putih atau hitam, wangi atau tengik, semua
diberi merata. Demikian juga Yesus mengharapkan agar cinta kasih kita juga
diberikan merata, tidak pilih-pilih.
Nahhh, dari sini sudah menjadi jelas “menjadi
sempurna” itu rupanya berkaitan dalam bersikap. Bukan sempurna dalam
penampilan, dalam mengumpulkan harta. Tetapi kesempurnaan dalam mencintai. Kesempurnaan
dalam mengampuni dan mendoakan, terlebih mereka yang telah melukai hati kita.
Maka mari kita mulai berlatih menjadi sempurna,
berlatih mencintai dan meaafkan. Mari kita tengok orang-orang yang ada di
sekitar kita, mulai dari lingkaran terdekat. Karena hanya mereka yang sungguh
dekat dengan kita yang mampu menyakiti dan menusuk sangat dalam. Mari kita
mulai membawa mereka dalam doa-doa kita. Karena kalau kita hanya mendoakan
orang-orang yang baik pada kita, apa bedanya dengan para pendosa? Mereka juga
berdoa, juga mendoakan orang yang baik terhadap mereka. Lalu jangan lupa
memberi salam. Jangan lagi membuang muka kalau berjumpa dengan mereka yang
tidak menyenangkan. Sebagai penutup, mari kita memuji Tuhan bersama pemazmur.
Berbahagialah
orang-orang yang hidupnya tidak bercela,
yang hidup menurut Taurat TUHAN.
Berbahagialah
orang-orang yang memegang peringatan-peringatan-Nya,
yang mencari Dia dengan segenap hati,
yang juga tidak
melakukan kejahatan,
tetapi yang hidup menurut jalan-jalan yang ditunjukkan-Nya.
Engkau sendiri
telah menyampaikan titah-titah-Mu,
supaya dipegang dengan sungguh-sungguh.
Sekiranya hidupku
tentu
untuk berpegang pada ketetapan-Mu!
Maka aku tidak akan
mendapat malu,
apabila aku mengamat-amati segala perintah-Mu.
Aku akan bersyukur
kepada-Mu dengan hati jujur,
apabila aku belajar hukum-hukum-Mu yang adil.
Aku akan berpegang
pada ketetapan-ketetapan-Mu,
janganlah tinggalkan aku sama sekali.
(Mazmur 119;1-8)
Salam
Hong Kong, 11 Maret 2017
* summer tafsiran Injil diambil dari Daniel J. Harrington, SJ., Editor, SACRA PAGINA, The Gospel of MATTHEW
Comments