The Righteousness, Encounter the Cross, day 10
40 Days Lenten Journey
Apakah kamu orang baik? Bagaimanakah
kamu tahu bahwa kamu orang baik? Apakah ukuran yang kamu pakai untuk mengetahui
bahwa kamu adalah orang baik? Hmmm apalagi ya, oh iya, apakah kamu suka menjadi
orang baik? Apakah kamu suka berbuat baik? Perbuatan baik apa yang suka kamu
lakukan?
Di atas itu sebenarnya
pertanyaan untuk diri sendiri. Pertanyaan untuk mengukur kualitas diri sendiri,
bukan orang lain. Dan setiap orang bisa melakukan. Ukuran yang dipakai
sederhana saja, yaitu kaidah umum atau common
senses. Ada banyak ungkapan untuk menggambarkan. Misalnya, kalau kamu tidak
mau dicubit, ya janganlah mencubit orang lain. Apa yang tidak ingin orang lain
lakukan padamu, ya janganlah kamu lakukan kepada orang lain. Ukuran yang kamu
kenakan kepada orang lain untuk mengukur akan dikenakan kepadamu. Dst.
Baiklah, daftar itu masih
bisa diperpanjang kalau mau. Tetapi yang menjadi persoalan bukanlah tindakan
baik itu. Yang menjadi persoalan adalah, apakah aku akan tetap melakukan
tindakan baik itu walau tidak ada yang melihat? Apakah aku masih menjadi orang
yang sama kalau sendirian saja, kalau toh aku melakukan hal buruk tidak ada
yang tahu? Siapakah aku jikalau tidak ada yang melihatku?
Itulah kualitas diri yang
sesungguhnya. Kebaikan yang sesungguhnya adalah ketika seseorang melakukan
hal-hal baik walaupun tidak ada seorangpun yang melihat. Tetap melakukan
tindakan baik meskipun tak ada seorangpun yang mengucapkan selamat. Terus berbuat
baik meskipun tak ada yang memedulikan. Itulah kualitas yang sesungguhnya.
Di sinilah tantangannya. Banyak
orang kecewa karena perbuatan baiknya tidak diindahkan orang. Tak ada yang
mengucapkan terimakasih atau memberi pujian. Mereka kecewa lalu berhenti
berbuat baik. Di sini kita tahu tanpa mengadili, sejauh mana tingkat kebaikan
itu?
Ada cerita menarik
tentang Santa Theresia Lisieux. Dia suka melakukan banyak hal baik tanpa
diketahui oleh para suster yang lain. Misalnya, dia suka merapikan buku-buku
doa di kapel. Juga merapikan mantol-mantol di kapel. Oh iya, kala itu mereka
tidak memakai alat pemanas ruangan. Maka kalau musim dingin tiba mereka memakai
kain seperti mantol untuk membalut badan.
Kain itu hanya di pakai di ruang doa. Banyak suster meletakkan kain-kain
itu dengan kurang rapi, juga sama halnya kalau menata buku-buku.
Theresia melihat hal
tersebut dan dia merapikannya. Harapannya cuman satu, esok hari ketika para
suster datang, mereka menjumpai mantol dan buku-buku rapi tersusun dan enak
memakainya. Dia tidak mengharapkan para suster mengucapkan terimakasih
kepadanya, dan ia juga tidak ingin seorangpun tahu bahwa dia melakukan hal
tersebut.
Contoh yang diberikan
oleh Theresia ini baik kalau mulai kita lakukan. Berbuat baik meski tidak
diketahui orang lain. Dan tidak perlu mengumumkan perbuatan baik kita di muka
umum seperti memasangnya di beranda FB atau yang lain. Namun sebaliknya, kalau
ada orang yang memasang perbuatan baiknya di halaman rumahnya, janganlah cepat
menghakimi bahwa dia kurang baik.
Sebagi penutup, mari kita
bermazmur, berseru kepada Tuhan jikalau kita mengalami kesusahan. Mazmur 130.
Dari
jurang yang dalam aku berseru kepada-Mu, ya TUHAN!
Tuhan, dengarkanlah suaraku!
Biarlah
telinga-Mu menaruh perhatian
kepada suara permohonanku.
Jika
Engkau, ya TUHAN, mengingat-ingat kesalahan-kesalahan,
Tuhan, siapakah yang dapat tahan?
Tetapi
pada-Mu ada pengampunan,
supaya Engkau ditakuti orang.
Aku
menanti-nantikan TUHAN, jiwaku menanti-nanti,
dan aku mengharapkan firman-Nya.
Jiwaku
mengharapkan Tuhan
lebih dari pada pengawal mengharapkan
pagi,
lebih dari pada pengawal mengharapkan
pagi.
Berharaplah
kepada TUHAN, hai Israel!
Sebab pada TUHAN ada kasih setia, dan
Ia banyak kali mengadakan pembebasan.
Dialah
yang akan membebaskan Israel
dari segala kesalahannya.
Salam,
Hong Kong, 10 Maret 2017
Comments