Love one another… Encounter the Cross day 19-23
40 Days Lenten Journey
Hutang catatan harian masih banyak,
sementara tenaga untuk mencurahkan gagasan sangatlah terbatas. Maka tidak ada
pilihan lain, catatan yang mestinya tayang harian ini saya ganti, saya ropel,
sehingga satu catatan untuk 5 hari. Mohon dimaafkan atas kelemahan ini.
Peziarahan hari ke 19 diwarnai
dengan kisah Perempuan Samaria yang ngobrol dengan Yesus di pinggir sumur. Saya
sudah pernah membuat catatan mengenai ini cukup panjang, talk show di pinggir
sumur. Silahkan dibuka saja. Catatan itu saya buat pada 23 Maret 2014. Yahhh sudah
agak lama, semoga belum basi.
Sementara itu, peziarahan hari ke-20
agak istimewa. Hari itu Gereja merayakan Hari Raya Santo Yosef. Sebenarnya pesta
yang sesungguhnya adalah tanggal 19 Maret. Berhubung tanggal 19 adalah hari
Minggu, maka HR St. Yosef digeser menjadi hari Senin tanggal 20 Maret. Untuk ini
saya juga sudah pernah membuat tulisan. Mengenai seorang suami idaman. Catatan itu
juga dari tahun 2014 silam. Semoga belum basi.
Nampaknya saya sedang digempur
penyakit malas. Malas membuat catatan baru, maka catatan lama diunggah kembali.
Tetapi apa mau dikata. Keinginan begitu menggebu, tetapi daya baterei sudah hamper
habis. Terpaksalah persediaan lama dikeluarkan kembali. Daripada tidak ada sama
sekali, khan? Ini pembelaan diri yang sebenar-benarnya.
Forgiving
Mari kita melangkah pada peziarahan
hari ke-21. Kisah mengenai pengampunan dan mengampuni. Sampai berapa kali harus
mengampuni? Sampai tujuh kalikah? Atau sampai berapa kali? Cerita yang saya
yakin seyakin-yakinnya sudah kita kenal, bahkan hafal luar biasa.
Jawaban Yesus yang mengatakan bukan
7 kali tetapi 70 kali 7 kali, adalah gambaran mengenai pengampunan yang tak
berbatas. Entah sampai seberapa kali saudara kita berbuat salah, kalau dia
mohon ampun ya harus diampuni. Kita sudah paham konsepnya. Persoalannya bukan
terletak pada pemahaman, tetapi bagaimana menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Uangellll polllll!
Kenyataan yang sering kita jumpai,
kita mudah meminta ampun, tetapi dalam hal memberi ampun, kerap menerapkan
syarat. Sulit sekali memberi ampun tanpa syarat. Kalaupun mulut bisa berkata “aku
memaafkanmu”, tetapi hati masih nggerundel.
Kerapkali tindakan kita itu tak
ubahnya karyawan pertama yang ditagih utangnya oleh Sri Baginda. Utangnya begitu
besar. Bahkan kalau seluruh hartanya dijual, anak dan istri dijual, juga belum
cukup untuk melunasi hutangnya. Maka dia memohon ampun. Dan diampuni.
TETAPI, dalam bersikap kepada sesama
yang berhutang, meski jumlahnya kecil saja, dia juahat minta ampun. Jahat sejahat-jahatnya.
Dia lupa pernah berlutut mohon ampun agar dia dibebaskan untuk bisa melunasi
hutang, sekarang ketika saudaranya melakukan hal yang sama, dia dengan raja
tega menjebloskan saudaranya ke penajra. Huh! Dasar tidak tahu diri.
Mungkin kita akan memaki karyawan
itu. Tetapi sebenarnya, tindakan-tindakan kita tak jauh beda dengan dia. Maka,
seperti yang saya catat di atas, persoalan terbesar kita adalah “bagaimana
menerapkan ajaran Yesus ini dalam praktik sehari-hari”. Tentunya tanpa
berbelit, tanpa mbulet, tanpa ribet. Tetapi sederhana, mudah, dan simple. Halah
kayak proses peminjaman uang di bank saja. Tetapi ini benar. Meaafkan itu
sederhana. Hanya dibutuhkan kemauan dari hati. Memaafkan itu tidak perlu biaya.
Free! Alias gratis.
Sebaliknya kalau kita memendam marah
dan sakit hati berkepanjangan, lama-lama sakit hati itu akan menjadi sakit
fisik. Dan ketika itu terjadi, tidak ada lagi yang free alias gratis. Karena proses
penyembuhannya membutuhkan dana. Meski pakai BPJS toh tetap butuh dana bulanan.
Maka, sebelum hal itu terjadi, mari mulai memaafkan. Dimulai dari orang-orang
yang paling dekat. Pasangan dan kawan-kawannya.
Fulfilling
Peziarahan hari ke-22 ditandai
dengan kedatangan Yesus yang hendak menggenapi hukum. Mungkin, perjalanan hari
ini lebih filosofis-teoritis dibandingkan pastoral-praktis. Tetapi persoalan
menjalankan hukum, memenuhi tuntutan hukum yang begitu banyak, lepas dari
segala teori, adalah persoalan praktis sehari-hari. Bahkan dalam masayarakat
sehari-hari, persoalan pemenuhan hokum adalah persoalan harian. Hokum hendak
ditegakkan atau dilanggar? Itu pilihan dan persoalan yang berjalan seiringan.
Kembali kepada persoalan kedatangan
Yesus. Ada keraguan dari sebagian orang, apakah kedatangan Yesus itu akan
menghapus hukum lampau dari para nabi dan akan mengganti dengan hokum yang
baru? Ternyata tidak. Bahkan Yesus menegaskan, satu huruf atau bahkan satu
titik saja dari hukum itu tidak akan dia hapus.
Oh iya, pernyataan satu titik ini
harus dipahami dalam konsep huruf Ibrani bukan huruf latin/roman. Seperti halnya
tulsian China, tulisan Ibrani tidak menggunakan aksara tetapi menggunakan
karakter. Dalam satu karakter ada beberapa unsur, termasuk di dalamnya titik.
Bagaimanakah memenuhi atau
menggenapi hokum itu? Secara sederhana bisa dilakukan dalam du acara. Pertama menjalankan
hokum sesuai yang diperintahkan. Misalnya “dilarang berjalan di sebelah kanan’,
maka penggenapannya adalah berjalan di sebelah kiri. Jangan makan daging, maka
menggenpinya dnegan tidak menyantap daging. Sangat simple dan sederhana.
Cara kedua adalah melengkapi
unsur-unsur yang kurang dari hokum. Contoh, jangan makan daging. Perintah ini
hanya berarti bagi masyarakat yang setiap hari makan daging. Tetapi bagi
kebanyakan orang di kampong-kampung, daging itu suatu kemewahan. Sehari-hari
yang menjadi makanan adalah nasi dan sayur mayur. Maka hukum ini belum
sempurna.
Yesus tidak melihat satu demi satu
dari ribuan hokum yang ada. Dia menggenapi keseluruhan hokum dengan hukum baru,
“CINTA KASIH”. Mencintai Allah di atas segala-galanya, dan mencintai sesama seperti
diri sendiri. Hokum kedua ini nilainya setara dengan hokum pertama. Bahkan hokum
pertama terwujud dalam hukum kedua. Namun jangan dibalik. “saya hanya mau
menjalankan hokum kedua tanpa hukum pertama”.
Bingung dengan kalimat ini? Nggak usah
bingung. Abaikan saja!
Maka, kalau kita hendak memenuhi peraturan,
kita jalankan saja apa yang dimaui oleh Yesus. Mencintai allah di atas
segalanya dan mencintai sesama seperti diri sendiri. Nah, problemnya adalah “siapa
itu sesama”. Siapa dia? Bagaimana mencintai? Ada banyak cerita yang
menginspirasi. Misalnya kisah Orang Samaria yang baik hati. Tetapi, memulainya
dengan pengampunan akan lebih terasa. Mencintai sesama seperti diri sendiri itu
dimulai dengan mengampuni sesama, seperti halnya kita yang mengharapkan
pengampunan dari sesama.
The Truth and the lies
Kebenaran dan mereka yang selalu
mengelilinginya. Seperti sebuah judul cerita kartun. Hehehehe. Tetapi cerita
peziarahan di hari ke-23 ini sangatlah menarik. Yesus baru saja membuat
mukjizat dan orang-orang mempertanyakan kuasa yang Dia miliki. Bahkan ada yang
menuduh bahwa Yesus menggunakan kuasa gelap untuk mengusir kegelapan. Ah lucu
saja.
Mengapa selalu ada sekelompok orang
yang tidak bisa menerima segala tindakan baik dari Yesus? Mungkin mereka
terjerat virus “CEMBURU” atau “IRI HATI”. Mengapa Yesus selalu membuat hal baik
sedangkan mereka tidak. Bisa jadi mereka cemburu dan iri hatinya karena Yesus
selalu bisa membuat banyak hal. Dan rasa cemburu serta iri hati selalu mengitari
“kebenaran”.
Lantas, bagaimanakah mematahkan
mereka yang beriri hati dan bercemburu buta itu? Yesus memakai logika
sederhana. Logika lurus yang teramat sederhana. Misalnya, atas tuduhan bahwa
Yesus mengusir setan dengan kuasa setan, Yesus menjawab, “jika setan tampil
melawan setan, maka hancurlah si setan.” Tidak mungkin kuasa gelap melawan
kuasa gelap, karena akan hancurlah kerajaan gelap tersebut. Siapa tidak bersama
Yesus, maka dia melawan-Nya. Itu logika yang sederhana dan lurus.
Logika sederhana itu biasa berkaitan
dengan sikap dan perilaku yang sederhana pula. Saya sendiri kerap kesulitan
untuk bersikap simple, sederhana dan apa adanya. Kerap kali hal yang sederhana
itu mesti ditampilkan dalam hal-hal yang kelihatan wah dengan paparan rumit dan
berbelit. Persis seperti catatan ini. Ahhh jadi malu.
Penutup
Perjalanan ziarah selama 5 hari ini
memang sulit dirumuskan dalam satu tema seperti halnya pada perjalanan ziarah
pra paskah sebelumnya. Meski demikian saya menemukan satu kata kunci untuk
memahaminya. Yaitu CINTA.
Kisah perempuan Samaria yang
berjumpa dengan Yesus, Yusuf yang memutuskan untuk mengambil Maria sebagai
istri, kemampuan untuk memaafkan dan memenuhi tuntutan hukum, serta bersikap
sederhana sesuai dengan kaidah Kebenaran, hanya mungkin dilakukan kalau
memiliki CINTA. Mencintai Tuhan di atas segalanya dan mencintai sesame seperti
diri sendiri.
Dan untuk ini sebenarnya yang
dibutuhkan adalah praktek nyata, bukan sekadar berteori yang ngladrah ndak
tentu arah. Seperti yang sudah saya singgung, mencntai sesame itu akan manis
rasanya kalau dimulai dengan memaafkan sesama.
salam
Comments