Preparing for Christmas, day 20!
PREPARE HIM ROOM
Preparing for Christmas
Daily Meditation with St. Therese of Lisieux
Day 20
Friday 3rd week of Advent
16 December 2016
Kutipan Injil:
Ia adalah pelita yang menyala dan yang bercahaya dan kamu hanya mau menikmati seketika saja cahayanya itu.
Yohanes 5:35
Refleksi:
Light and Love
Dalam berbahasa, ada dua macam cara yang biasa dipakai untuk mengutarakan
gagasan. Pertama dengan bahasa yang sederhana, ringkas, apa adanya. Yang kedua
dengan bahasa yang indah, banyak kembangan-kembangan kata, meliuk-liuk. Yang pertama biasanya kurang elok, tapi mudah dipahami. Yang kedua elok dan enak
didengar tapi sulit dipahami.
Misalnya kita ambil contoh cara berbahasa Pak Anies dan Pak Ahok. Yang satu
berbicara sangat tertata, rapi, bagus, meliuk-liuk, enak didengar tapi sulit
dipahami apa maksudnya. Yang satu ‘to the point’. Bahasanya sederhana, terkadang
agak ‘keri’ di telinga kalau mendengar, tapi sangat mudah dipahami apa maksudnya. Seperti saat mendengar mereka berdebat tadi malam.
Demikian juga dengan bahasa para penginjil. Injil Yohanes, suka
bercerita dengan bahasa-bahasa yang indah, yang meliuk-liuk, yang enak didengar, banyak dikutip,
tetapi amat sulit dipahami apa maknanya. Misalnya, aku adalah roti hidup yang turun dari surga. Aku adalah air hidup yang... dan masih banyak lagi. Berbeda dengan Injil Markus yang singkat
padat, jelas.
Seperti hari ini, Injil Yohanes bercerita mengenai cara Yesus memuji
Yohanes Pembaptis. Bahasa yang dipakai adalah bahasa-bahasa indah dengan
metafora-metafora yang tidak bisa dimengerti begitu saja. Mari kita perhatikan
ketika Yesus bercerita mengenai Yohanes Pembaptis.
“Ia adalah pelita yang
menyala dan yang bercahaya dan kamu hanya mau menikmati seketika saja cahayanya
itu.”
Saya mengandaikan Anda semua mengenal apa itu pelita, pernah
melihatnya, pernah memakainya. Bagi yang tidak pernah melihat pelita, tentu akan kesulitan mengkap arti dari perkataan ini. Pelita, kalau di kampong saya namanya, “ublik”. Yang
berkelap-kelip di malam hari. Kemudian pelita itu diberi pelindung, (di kampong
saya disebut ‘semprong’) untuk menahan gempuran angin dan kotoran (jelaga). Nah, apa
maksudnya perkataan : Yohanes adalah ublik yang berkelap-kelip?
Lalu, orang-orang yang ada di sekitar Yohanes hanya menikmati sinarnya
saja? Apakah badan Yohanes seperti fosfor yang mengeluarkan cahaya di waktu
malam? Bukan.
Cahaya pelita hanya bisa dilihat pada waktu malam, atau kalau
sekitarnya gelap. Kalau Yohanes adalah seperti pelita yang bernyala, berarti
keadaan sekitarnya sedang gelap. Bisa juga dipahami, Yohanes itu sosok yang berani menyuarakan
kebenaran ketika yang lain takut mengungkapkan.
Tetapi orang-orang di sekitarnya hanya menikmati saja, tidak berani
ikut menjadi pelita yang bernyala. Karena menjadi pelita berarti terbakar, panas,
dan sakit. Semua hanya ingin berdiri di sekitar cahaya untuk menikmati sinar
dan kehangatannya belaka.
Ada cahaya lain yang bercahaya, yang mampu dinikmati dan dirasakan
oleh orang-orang sekitar. Yaitu cahaya cinta. Mungkin cahaya ini tidak bisa
dilihat, tapi bisa dirasakan. Kalau cahaya pelita hanya bisa dilihat di dalam
gelap, cahaya cinta bisa dilihat di dalam terang. Tidak percaya?
Perhatikanlah wajah orang-orang yang sedang jatuh cinta, yang sedang
diliputi api cinta asmara, wajahnya akan berseri-seri seolah memancarkan sinar lampu petromaks.
Kita bisa merasakan ‘panasnya’ dan pesonanya.
Itu juga yang hendak dikatakan oleh Yesus. Hidup Yohanes itu
diliputi cinta yang begitu besar kepada Tuhan. Dia adalah seorang utusan yang berusaha
sekuat tenaga menjalankan semua amanah tersebut. Sinar yang memancar dari dirinya bersumber dari cinta yang dia terima dari Allah.
Itu pula yang yang dikerjakan oleh Yesus. Cinta yang mendasari
semuanya. Cinta Allah Bapa kepada manusia yang berdosa. Maka Allah mengirim
Yesus ke dunia, untuk menyelamatkan manusia. Karena Cinta Yesus yang begitu
besar kepada Bapa-Nya, memampukan Dia melakukan semuanya sampai wafat. Semuanya karena cinta.
Membicarakan cinta ini, saya menjadi agak mengkeret. Rasanya gimana, gitu. Karena kemudian
akan ada yang bertanya, “bagaimana dengan cintamu?” Apakah sudah cukup menyala hingga
menghangatkan orang-orang di sekelilingmu? Apakah pelita hatimu sudah
berkedap-kedip sehingga mampu memberi penerangan di kegelapan malam? Sehingga membantu orang berjalan di setapak yang tepat?
Dan saya tidak berani menjawabnya. Karena setelah saya raba-raba,
kok masih anyep-anyep saja. Bahkan kedap-kedipnya juga belum terlihat cemerlang. ya memang aneh, di mana-mana itu tidak ada kedap-kedip yang cemerlang. Sepertinya
saya harus mencari dahan kering dulu untuk membakar dan menyalakan cinta ini, agar
memercik, menyala, menerangi dan memberi kehangatan.
salam
Comments