Preparing for Christmas, day twelve.
PREPARE HIM ROOM
Preparing for Christmas
Daily Meditation with St. Therese Lisieux
Day 12
Thursday 2nd week of Advent
8 Desember, HR Santa Maria dikandung tanpa noda
Bacaan:
Kejadian 3:9-15, 20
Effesus 1:3-6, 11-12
Lukas 1:26-38
Kutipan Injil:
Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di
hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang
anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus.
Lukas 1:30-31
Refleksi:
JANGAN TAKUT!
Semalam saya nonton bareng dengan kelompok Evangelisasi paroki Santa
Teresa. Film yang kami tonton berjenis kartun, judulnya INSIDE OUT. Berkisah
mengenai perasaan yang ada dalam diri manusia, kebahagiaan/kegembiraan,
kesedihan, rasa jijik, marah dan takut. Setelah film selesai, dilanjutkan
dengan sesi tanya jawab; salah satu pertanyaan yang muncul adalah, “apakah semua
orang katolik hanya memiliki kegembiraan dan tidak mengalami kecemasan dan
ketakutan?”
Tentu saja takut adalah perasaan manusiawi. Setiap manusia pasti
memiliki perasaan takut. Namun ketakutan berlebihan tentu tidak diperlukan.
Apalagi kalau kita percaya akan DIA yang melampaui apa yang bisa kita bayangkan
sebagai sesuatu yang mendatangkan ketakutan. Halah mbulet!
Baiklah lebih sederhana. Setiap orang pasti pernah takut. Terkadang
takut kepada sesuatu yang sepele sifatnya. Takut kecoa, takut gelap, takut naik
pesawat terbang, takut sendirian, dan masih banyak takut yang lain. tentu rasa
takut ini harus disembuhkan. Ada terapi yang bisa membantu orang-orang yang
memiliki phobia seperti ini.
Bagaimana dengan ketakutan Maria? Bagaimana dengan ketakutan banyak
orang katolik yang lain? bagaimana dengan ketakutanku?
Maria takut karena tidak tahu apa yang akan terjadi. Dia mungkin
tidak sepenuhnya takut, tetapi juga khawatir dan tidak paham, tidak mengerti
akan salam yang baru dia terima.
Sedangkan ketakutan umat katolik yang lain, saya tidak akan bahas,
saya tidak mau suudzon. Biarlah mereka menemukan ketakutan mereka sendiri dan
menyelesaikannya. Saya hanya mau membandingkan ketakutan Maria dengan
ketakutanku.
Mari kita lihat sekali lagi peristiwa yang membuat Maria merasa
takut. Bayangkan dia sedang sendirian di rumah. Pintu depan terkunci, sementara
dia sedang beberes dapur. Tiba-tiba, ‘cling!’ muncul dihadapannya sosok yang
asing. Lagu menyapanya, ‘Hai Maria, Tuhan menyertaimu, engkau mendapatkan kasih
karunia Allah’. Apa Maria tidak kaget dan takut. Sukur-sukur malaikat itu tidak
dilempar lemper.
Lalu Maria membatin, ingat MEMBATIN. Apa makna salam itu. Ehhh,
tiba-tiba malaikat itu melanjutkan. “Jangan takut, Maria!”
Sebenarnya Maria tidak takut-takut amat. Hanya bingung saja, siapa orang ini yang tiba-tiba datang ke
rumahnya menyapanya dengan sapaan aneh. Lha ini malah ditambahi dengan
keterangan yang membingungkan. “Sesungguhnya engkau akan mengandung dan
melahirkan anak laki-laki.”
Lah, khan aku belum menikah? Tanya Maria polos. Wajar khan dia tanya
begitu. Karena mana mungkin tiba-tiba bisa bulp, hamil, kalau tidak ada pihak
lain yang ikut andil peran. Lagi-lagi malaikat itu memberi keterangan yang
absurd. “Roh Kudus akan mengambil peran”.
Lagi-lagi keterangan yang sulit dipahami. Anehnya, Maria tidak
menolak keterangan yang sulit dicerna akal itu. Dia menerimanya sebagai seorang
anak, seorang hamba. “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, terjadilah
padaku menurut perkataanmu itu.”
Kata-kata Maria ini bukan pemanis buatan. Sungguh lahir dari hati
yang berserah. Karena memang sejatinya dari kecil dia sudah diajar untuk
mencari kehendak Allah. Sangat berbeda jauh dengan diri saya meski mengucapkan
kata-kata yang sama.
Baiklah saya bandingkan dengan ketakutan-ketakutan saya. Takut tidak
mendapat signal internet. Tuhhh sangat duniawi. Takut dicap ini dan itu oleh
umat. Nahhh masih mencari penghormatan, masih gila hormat. Dan seterusnya yang
sejenis dengan itu.
Intinya, ketakutan saya lebih berpusat kepada diri saya sendiri dan
bagaimana saya memenuhi hasrat dan kebutuhan. Entah kebutuhan material atau
kebutuhan tambahan semisal penambah rasa percaya diri dan harga diri. Toh
sifatnya masih aku-sentris.
Bagaimana saya belajar dari Maria?
Maria tidak melihat segala hal dari sudut pandang kebutuhannya
semata. Dia melihat sesuatu yang lebih besar, meski dia tidak paham. Maria
melihat dari kacamata rencana Allah. Kalau memang ini rencana Allah, biarlah
semuanya ini terjadi.
Sementara saya masih mencoba bernego, kalau bisa rencana Allah itu
sesuai dengan kebutuhanku. Rencana Allah harus menyesuaikan diri. Lhah kalau
begini siapa yang Allah dan siapa yang manusia?
Sebelum semakin panjang, baiklah saya menutup catatan ini. Maria
mampu mengatasi ketakutannya dengan meletakkan semuanya dalam kerangka rencana
Allah. Baiklah kalau saya juga belajar darinya. Bukan memaksa Allah
menyesuaikan diri, tapi mencoba melembutkan hati agar mampu mengikuti gerak
lincah Sang Ilahi. Biarlah perlahan namun pasti, saya bisa menjawab ‘YA’ seperti
Maria.
Doa:
Ya Allah, semoga saya mampu belajar dari Bunda Maria, berkata “YA”
untuk menjawab rencanamu.
MoRis HK
Hong Kong, 8 Desember 2016
Comments