Preparing for Christmas, day 22!


PREPARE HIM ROOM

Preparing for Christmas

Daily Meditation with St. Therese of Lisieux


Day 22

4th Advent Sunday

18 December 2016


Refleksi: 

St. Joseph


Hari ini Gereja merayakan minggu Advent ke-4. Artinya, perayaan Natal sudah dekat. Segala persiapan akhir mestinya sudah dilakukan. Namun tak jarang yang hari-hari ini lebih sibuk dengan urusan liburan natal dan segala pernak-perniknya. Banyak orang melupakan “Christ” ketika mereka menyambut “Christmas holiday”. Semoga kita tidak.

Masa Advent digunakan oleh Gereja untuk menyiapkan kita menyambut kedatangan Yesus. Gereja memperkanalkan kita dengan dengan tokoh-tokoh yang terlibat dalam karya besar ini. Dimulai dari persiapan jauh hingga persiapan dekat.
Pada minggu pertama kita mulai diperkenalkan dengan rencana Allah ini. Bahwa apa yang akan terjadi seperti halnya dahulu kala pada jaman Nuh. Sungguh-sungguh ajakan untuk melihat ke belakang karya keselamatan Allah. Bahwa Allah memiliki rencana untuk manusia, sebuah rencana keselamatan.
Kemudian pada minggu kedua dan ketiga kita dibawa semakin dekat. Di sana dimunculkan tokoh Yohanes Pembaptis yang datang sebagai pendahulu. Kedatangannya sudah diramalkan oleh Nabi Yesaya. Dan dia datang untuk mempersiapkan jalan bagi Tuhan. Dia mengajak orang untuk bertobat, meluruskan jalan yang kelok dan meratakan jalan yang berlobang.
Lalu pada minggu keempat ini kita diperkenalkan dengan tokoh-tokoh inti yang berkaitan langsung dengan proses kelahiran Yesus. Dan tokoh yang kerap dilupakan, diperkenalkan pada hari ini. Dia adalah Santo Yusuf. Banyak orang tidak melihat peran pentingnya, padahal keberadaannya sangat diperlukan.

Keberadaan Santo Yosef ini bukan sekadar pelengkap penderita. Dia sungguh penting demi kelangsungan rencana Allah. Baiklah kita berandai-andai kalau misalnya Santo Yusuf, atau Yosef, atau Joseph, atau Jose. Terserahlah wong orangnya sama.
Seandaianya dia menolak Maria yang waktu itu sedang hamil bukan karena dirinya? Apakah yang akan terjadi? Sederhana. Maria akan dihakimi sesuai Undang-Undang yang ada, dilempari batu sampai mati.
Mungkin kita akan berpikir, “ah, khan gampang saja bagi Allah, Dia bisa cari lelaki lain.” Memangnya semudah itu? Tiba-tiba Allah dapat lelaki pengganti. Trus apa dia mau menerima Maria yang sedang hamil?
Mungkin kita akan berpikir, “ah, khan gampang saja bagi Allah, Dia bisa memengaruhi orang tersebut agar menerima Maria. Dia khan Allah.” Ah, seandainya Allah dictator, nggak ada cerita Yesus jadi manusia untuk menebus manusia yang berdosa. Persoalannya adalah, Allah menghargai kebebasan manusia. Dan karena itulah dia disebut manusia, bukan robot.

Kita kembali kepada Yusuf tanpa beradai-andai. Penulis Injil menceritakan bahwa dia adaah seorang yang baik. Dia tidak akan mempermalukan Maria. Dia akan “menceraikannya”. Kata ini agak sensitip. Karena mereka belum menikah, bagaimana mungkin menceraikan?
Begini. Kita berpikir positif. Kalau waktu itu Maria sudah hamil, apa yang dipikirkan oleh Yusuf? Pasti Maria melakukan itu dengan pria lain, yang mungkin lebih dicintai dan mungkin lebih pas jadi suaminya. Bukan dia yang sudah lumayan tua itu.
Menceraikan berarti memberikan Maria sah secara hukum kepada pria yang melakukan itu. Jadi Maria tidak dipermalukan, dan tidak perlu menerima hukuman adat. Tetapi Yusuf juga perlu memikirkan caranya agar tidak menjadi gossip, agar tidak menjadi tuduhan yang bukan-bukan. Di atahu, bahwa bukan dialah orangnya, tetapi bagaimana melakukan keputusannya sehingga semua aman, semua damai tanpa kerusuhan.

Pada saat memikirkan itulah malaikat Allah datang kepadanya. Dia menceritakan sebagian saja, bahwa Maria hamil bukan karena ulah seorang lelaki. Tetapi karena kuasa Allah. Maka, Yusuf harus menerima dia dan membawanya ke rumahnya, kemudian nanti kalau bayi itu lahir, harus diberi nama Yesus.
Yusuf tidak protes. Tidak menuntut penjelasan yang lebih terperinci. Tidak meminta apa yang ada di luar jangkauan pemikriannya. Dia percaya sepenuhnya kepada Allah. Lebih dari itu dia taat kepada Allah. Bolehlah kalau kita menyebutnya sebagai ketaatan iman.

Kisah selanjutnya bisa kita baca dalam Kitab Suci. Bagaimana Santo Yusuf mengambil Maria sebagai istrinya dan kemudian peristiwa kelahirannya yang dramatis. Perjalanan panjang ke Betlehem, kesulitan mencari penginapan, dll.
Apa yang bisa kita pelajari dari kisah Santo Yusuf ini?
Ketaatan iman. Itulah tanggung jawab sebagai pengikut Yesus. Taat kepada Allah yang kita ikuti. Tetapi bagaimana mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari secara nyata dan bukan hanya di awang-awang saja? Sebaiknya kita melirik sebentar apa yang disampaikan oleh Yesus.
Santo Paulus menulis bahwa seorang katolik adalah orang yang dipanggil untuk menjadi milik Yesus Kristus dan dipanggil untuk menjadi kudus.
Halah, ini juga ngawang-ngawang, nggak mendarat, susah dipahami. Apa artinya menjadi milik Kristus itu? Bagaimana bentuk panggilan itu? Undangan itu? Apa memakai TOA? Apa memakai surat berperangko yang kita tinggal mengirim balik? Atau bagaimana?
Menurut Santo Paulus, Allah memanggil kita, mengundang kita melalui suara halus di dalam hati. Untuk mendengarnya, kita harus mengheningkan diri, meneduhkan hati, agar suara halus itu terdengar, dan kita bisa membalasnya, menjawabnya.
Kita dipanggil untuk memiliki “ketaatan iman”, seperti yang dicontohkan oleh Santo Yusuf. Mari kita pahami logika sederhana ini agar lebih mudah berlaku taat.
Jika Yesus adalah Tuhan, jika kita adalah pemgikut-Nya, jika kita menyebut diri sendiri sebagai orang katolik, kemudian kita harus percaya kepada-Nya, dan lebih dari itu taat kepada-Nya.
Bagaimana kita taat kepada Yesus?
Kita taat kepada ajaran Gereja. Kita taat kepada perintah Allah (10 perintah Allah, dan 5 perintah Gereja). Kita taat menjalankan sakramen-sakramen. Kita taat untuk menerima Kristus di dalam hidup kita, bukan hanya dalam perayaan meriah di Gereja. Mari kita siapkan baik-baik “ruang” bagi Dia. PREPARE HIM ROOM. Sehingga ketika ketika Dia datang dan mengetuk, kita bisa membukan pintu dengan riang dan mempersilahkan Dia masuk.
Waktunya sudah tidak lama lagi. Jangan sampai kita terlena oleh hal-hal yang tidak penting. Mari nyalakan lampu agar terang ruang hati. Perhatikan dengan saksama jika masih banyak jelaga di sana. Atau jangan-jangan kasur untuk Yesus juga belum tersedia. Segera cari atau belikan jika perlu. Jangan berlambat. Seperti Santo Yusuf yang segera bangun dan mengambil Maria sebagai istrinya.

Hal lain yang bisa kita pelajari dari Santo Yusuf hari ini adalah, cinta itu membutuhkan kepercayaan. Cinta tanpa kepercayaan adalah omong kosong. Santo Yusuf mencintai Maria, maka dia percaya kepadanya. Dia percaya bahwa Maria tidak melakukan sesuatu yang buruk. Ini yang bisa kita pelajari untuk mengecek kondisi percintaan kita. Apakah kita percaya kepada pasangan kita? biasanya kita menuntut pasangan kita untuk percaya kepada kita. sebaliknya, apakah kita bisa memercayai pasangan kita?
Eh, jangan berteriak, “pasangan saja tidak punyaaaa, bagaimana bisa percaya?” Kalau itu ya urusan lain. Cari dulu pasangan!

salam

Comments

Popular Posts