Preparing for Christmas, day thirteen.
PREPARE HIM ROOM
Preparing for Christmas
Daily Meditation with St. Therese Lisieux
Day 13
Friday 2nd week of Advent
9 Desember 2016
Bacaan:
Yesaya 48:17-19
Matius 11:16-19
Kutipan Injil:
“Dengan apakah akan Kuumpamakan angkatan ini? …”
Matius 11:16
Refleksi:
BEBAL!
Suatu saat saya ditanya, “apakah yang membuatmu menjadi tidak sabar,
atau bahkan bisa marah?” Pertanyaan yang sedikit sulit dijawab. Tetapi biasanya
saya menajdi sangat tidak sabar bahkan jengkel dan bisa marah kalau menghadapi
orang yang ‘lambat’ dalam berpikir dan bebal.
Saya pernah menjadi seorang guru selama beberapa tahun. Tantangan
terberat saya adalah mengajari seseorang sehingga memahami sesuatu. Kalau
bertemu dengan kelompok murid yang sangat cepat menangkat, saya seperti
mendapat energy tambahan untuk terus memberi dan memberi. Tetapi kalau berjumpa
dengan kelompok murid yang lambat sekali memahami, bahkan kerap salah mengerti
apa yang saya berikan, yang muncul adalah kelelahan dan di situ saya menjadi
tidak sabaran. Tak jarang muncul kemarahan.
Saya membayangkan hal yang sama bisa terjadi pada diri Yesus. Ketika
menghadapi orang-orang yang bebal, yang tak mau mendengar dan memahami apa yang
disampaikan orang lain, yang hanya mau menuruti kehendak udelnya sendiri; pasti
Yesus juga akan jengkel dan tak jarang marah.
Tengok saja apa yang diungkapkan Yesus.
“Dengan apakah akan Kuumpamakan angkatan ini? Huh! Mereka ini
seumpama anak-anak yang duduk di pasar dan berseru kepada teman-temannya:
woeyyy, kami telah meniup seruling bagimu, tetapi kamu tidak menari, kami
menyanyikan kidung duka, tetapi kamu tidak berkabung.”
Kejengkelan. Itulah yang saya rasakan dari ungkapan Yesus. Jengkel
terhadap orang-orang yang tidak terbuka hati dan pikirannya. Orang-orang yang
hanya menuruti isi nafsu mereka sendiri. Yang tak sedikitpun terbuka akan
kemungkinan lain, bahwa Allah bisa melakukan banyak hal di luar yang mereka
angankan.
Bahkan Yesus membandingkan penerimaan orang-orang tersebut terhadap
Yohanes Pembaptis dan terhadap diri-Nya juga.
Yohanes sedikit eksentrik pada jamannya. Hidup di padang,
menyendiri. Berpakaian yang yang lazim, kulit onta. Makanannya juga tak lazim,
yaitu belalang dan madu hutan. Lantas orang-orang itu melihat Yohanes sebagai
orang gila.
Lalu bagaimana pandangan mereka terhadap Yesus? Tak jauh beda. Yesus
makan dan minum. Berkumpul dengan orang-orang berdosa. Singgah di rumah
pemungut cukai. Menerima perempuan yang oleh masyarakat dianggap sebagai
pelacur, dan masih banyak lagu. Mereka memandang Yesus sebagai pelahap dan
pemabuk.
Mereka memang sontoloyo. Kalau tidak cocok dengan pikiran mereka,
langsung dicap kafir, haram, sesat, bidah, dll. Sekali lagi, mereka tidak
pernah terbuka hati dan pikirannya bahwa Allah bisa melakukan banyak hal di
luar apa yang bisa dipahami oleh manusia.
Hanya orang sakit yang membutuhkan dokter. Kalau kemudian Yesus
adalah dokter atas sakit jiwa-jiwa, atas dosa-dosa; maka sudah sepantasnya
kalau Dia bergaul dengan para pendosa, sehingga para pendosa itu bisa terbebas
dari jerat dan belenggu dosa dan kemudian beralih kepada kehidupan yang lebih
pantas sebagai anak-anak Allah.
Ini saya ngomel-ngomel saja, padahal saya sendiri juga 11/12 dengan
mereka. Orang Hong Kong bilang, cha em to. Yahh kurang lebihlah. Karena dalam
kepala saya masih tersedia cukup banyak amunisi untuk menuduh, menghakimi,
untuk mengkritik mereka yang tidak sepaham dengan saya, yang saya anggap
pendosa, yang saya anggap kurang baik; semua langsung saya hakimi. Bahkan saya tidak
bertanya apa yang terjadi dengan mereka.
Jadi malu. Karena hikmat Allah dibenarkan oleh perbuatannya, bukan
oleh apa yang dikatakannya. Kalau kata-kata saya berbual-bual seperti sumber
air di waktu hujan, seperti sabun cair yang tertimpa air mengalir; namun taka
da tindakan nyata mengungkapkan iman, mengungkapkan kecintaan kepada Tuhan,
sebenarnya sama saja.
Saya harus lebih rendah hati, membuka diri, mengosongkan budi, untuk
menerima kehendak Ilahi, yang kerap kali tak terperi, agar seluruh diri, bisa
diperbaharui lagi, dan lagi, dan lagi, hingga akhirnya nanti, tiba saat untuk
menyatukan seluruh pribadi, bersatu utuh dengan-Nya di sanggar yang Maha Suci.
Saya harus berhenti berpikir bahwa saya sempurna bak orang suci. Saya
harus mulai menerima setiap kelemahan dan keterbatasan diri. Karena dengan
itulah aku diajar untuk lebih tinggi lagi lagi. Saya juga harus mulai menerima
kekurangan orang lain, karena dengan itulah aku ditunjukkan siapa diriku yang
sesuangguhnya, tak lebih dari mareka. Kelemahan dan kekurangan adalah jalan
bagi Allah memberi kekuatan.
Kutipan dari St. Theresia Lisieux:
Sekarang tidak ada lagi yang mengejutkan saya. Saya tidak lagi
memusatkan diri pada kelemahan-kelemahan saya dan terus meratapinya. Sebaliknya,
melalui kelemahan saya itulah saya dimuliakan. Dan setiap hari saya akan mulai
menemukan kelemahan baru dalam diriku.
(Manuskrip C, 15)
Doa:
Tuhan, terima kasih bahwa Engkau menunjukkan hal-hal baru bagiku
setiap hari, yaitu kelemahan dan kekuranganku. Terimakasih karena dengan itu
aku Kau mampukan melihat keagungan-Mu yang tiada tara.
MoRis HK
Hong Kong 9 Desember 2016
Comments